Derby Rhone-Alpes, Persaingan Historis dan Budaya Lyon dengan Saint-Etienne

Laga bertajuk Derby Rhone-Alpes atau Le Derby antara Olympique Lyonnais kontra Saint Etienne tidak pernah mengecewakan. Pertandingan ini disebut-sebut sebagai salah satu derbi bertensi tinggi di Ligue 1. Seperti pesaingan besar lainnya, Derby Rhones-Alpes meluas ke luar lapangan karena selalu menghadirkan performa gila-gilaan dari lapangan maupun bangku penonton.

Nama Derby Rhone-Alpes diramaikan oleh media-media Prancis. Alasan utama karena kedua kesebelasan tersebut berada di wilayah Auvergne-Rhone-Alpes. Meskipun Saint Ettiene tidak terletak di sepanjang sungai Rhone.

Meskipun Lyon dan Saint-Etienne berjarak sekitar 50 kilometer, kedua kota memiliki identitas sangat kuat dan dunia yang terpisahkan. Perbedaan yang memisahkannya adalah rivalitas lokal pada tingkat sejarah, budaya, dan olahraga.

Persaingan antara Lyon Saint-Etienne sengit untuk supremasi lokal yang telah memperlihatkan pertumbuhan besar dalam keseimbangan kekuasaan selama bertahun-tahun.

Pergantian Kekuasaan antara Olympique Lyonnais dan Saint-Etienne

Pertemuan antara kedua belah pihak datang pada tahun 1951. Satu tahun setelah Lyon berdiri dan langsung menjadi lawan berat bagi lawan-lawannya. Termasuk kendali yang lama dipegang oleh pemain-pemain berseragam hijau Saint-Etienne.

Persaingan Derby Rhone-Alphes pun dimulai pada 1960-an. Dilatari Lyon yang mendirikan residensi permanen di divisi pertama Prancis. Selain karena lokasi kedua klub yang berdekatan, ada perbedaan sosial dan budaya secara historis antara kedua kota tersebut.

Saint-Etienne merupakan kota industri sehingga disebut-sebut sebagai kalangan kelas pekerja. Sementara Lyon lahir di kawasan menengah ke atas.

Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, St Etienne telah menetapkan diri sebagai kesebelasan top lokal dan juga secara nasional. Benar-benar berupaya untuk membobol klub-klub elit Prancis pada saat itu. Di sisi lain, derbi ini mengadukan kesuksesan dan kebesaran pada masa lalu.

Keberhasilan Saint-Etienne di panggung nasional dan Eropa pada 1970-an, membawa kelegaan bagi mereka yang dilanda resesi. Keberhasilan itu juga yang membungkam bualan-bualan tetangganya yang kaya dan lama merasakan kelaparan dan kesuksesan di dunia sepakbola.

Selama abad ke-20, Saint-Etienne adalah klub sepakbola paling sukses di Prancis yang memenangkan 10 gelar antara tahun 1957 sampai 1981. Sebuah rekor gelar terbanyak yang bertahan hingga saat ini di Ligue 1. Selama rentang itu juga Saint Etienne memenangkan enam gelar Piala Prancis dan tampil baik di level Eropa.

Tetapi setelah gelar ke-10 pada 1981, warna hijau Saint-Etienne mulai memudar. Sebab kinerja klub menurun dan bahkan mengalami degradasi ke Ligue 2 pada 1984. Hal itu menyebabkan cengkramannya di sepakbola Prancis melemah.

Sementara itu, para saingan mereka mulai terbangun dari tidurnya. Terutama kedatangan Jean-Michel Aulas sebagai presiden Lyon. Pria yang perlahan tapi pasti membangun klub yang mendominasi sepakbola Prancis selama hampir satu dekade.

Lyon pun mulai merasakan kenaikan derajatnya di sepakbola Prancis pada awal milenium baru. Tepatnya ketika klub memenangkan juara Ligue 1 pertama mereka pada 2002. Gelar itu memulai serangkaian rekor nasional dengan tujuh gelar secara berturut-turut.

Di sisi lain, kendati Saint-Etienne telah memperoleh status legendaris berkat tahun-tahun kejayaan mereka. Tetapi faktanya, mayoritas pendukung klub lahir setelah era keemasan berakhir. Begitu pun dengan Lyon yang mendapatkan kesuksesan sejak pergantian milenium.

Saint-Etienne baru kembali ke divisi teratas pada 1986. “Senang melihat Verts (julukan Saint-Etienne) kembali musim ini. Itu menjamin enam poin untuk kita (Lyon),” kata Bernard Lacombe, mantan penyerang Lyon, seperti dikutip dari situs FIFA.

Padahal, Lacombe juga pernah memperkuat Saint-Etienne secara kontroversial. Ia merupakan pencetak gol terbanyak Lyon sepanjang masa dari musim 1969 sampai 1978. Tapi Lacombe justru pindah ke Saint-Etienne pada lanjutan karirnya setelah memperkuat Lyon.

Lacombe pun tidak pernah berhenti mendapatkan teror dan cemoohan dari pendukung Lyon. Alhasil ia tidak kuat bertahan lama di Saint-Etienne dan cuma bertahan satu musim di kesebelasan tersebut. Lacombe pun lebih memilih pindah ke Bordeaux pada 1979.

Catatan Pertemuan-Pertemuan Terakhir Musim 2018/2019

Di Liga Prancis, ada peraturan di mana pada laga-laga tertentu tidak boleh ada suporter tamu yang datang. Begitu pun pertandingan Derby Rhone-Alpes yang digelar pada 24 November 2018. Tidak ada satu pun pendukung St Etienne yang nongol di Stadion Groupama, kandang Lyon.

Alhasil, panggung tribun malam itu sepenuhnya milik tuan rumah Lyon. Pendukung Lyon yang memadati Stadion Groupama membentangkan koreo mewah dan berkelas sebelum dimulainya laga Derby Rhone-Alpes pada /11/2018. Pendukung Lyon membentangkan bendera raksasa bergambar zombie St Etienne yang berada pada sisi berbeda.

Ada retakan gempa bumi yang memisahkan antara zombie St Etienne dengan pendukung pendukung Lyon pada gambar tersebut. Ada pun tulisan L’appel de lyon face aux zombies morbides pada gambar tersebut. Artinya adalah Memanggil Lyon menghadapi zombie.

Sementara itu pada pertandingannya sendiri, Lyon berhasil unggul 1-0 atas St Etienne berkat gol Jason Denayer pada menit 62′. Pertandingan pun terasa panas karena Rafael da Silva diganjar kartu merah. Ia mendapatkannya karena melancarkan tekel dua kaki menggunting kepada Yann M’Vila.

Tidak perlu waktu sangat lama untuk menyaksikan kedua kesebelasan itu bertemu. Sebab Lyon dan Saint-Etienne kembali bertempur pada 21 Januari lalu. Hanya saja atmosfer di Stade Geoffroy-Guichard, kandang Saint-Etienne, pada saat itu tidak sepanas pertemuan sebelumnya.

Pertandingan berakhir dengan kemenangan 2-1 untuk Lyon. Lahir empat kartu kuning pada pertandingan ini. Kendati demikian, syal-syal pendukung Saint-Etienne bertulis anti-Lyonnais tetap dibentangkan dan menghiasi tribun penonton Stadion Geoffroy Guichard.

Sumber lain: Paddy Power