Sejak beberapa tahun ke belakang, Tottenham Hotspur bukan lagi dianggap sebagai rival Arsenal untuk berlomba siapa yang paling tinggi di klasemen pada akhir musim. Spurs kini dirasa sudah punya kemampuan untuk menantang gelar juara Premier League di setiap musimnya. Padahal, kalau melihat kualitas skuat yang ada, diperlukan kejelian dan kemampuan manajerial yang luar biasa untuk membawa Spurs hingga sejauh ini.
Mauricio Pochettino jelas memegang peranan penting dalam perjalanan Spurs. Pochettino memang mendapatkan warisan pemain bagus ketika mengambil alih Spurs pada 27 Mei 2014. Namun, fondasi Spurs yang ada saat ini sebagian besar adalah karena hasil tangannya sendiri.
Bagaimana tidak? Di musim pertamanya, ia mengorbitkan Harry Kane yang masih berusia 21 tahun ke tim utama. Hebatnya, di akhir musim Kane menjadi top skorer klub dengan 31 gol di semua ajang. Pochettino pun mendatangkan Eric Dier dari Sporting Lisbon, dan Dele Alli dari Milton Keynes Dons.
Hampir tak ada yang menyangka kalau Kane, Dier, dan Alli, akan menjadi kerangka tim di masa depan. Kane, misalnya, hanyalah pemain muda dari tim akademi. Sementara Dier, hanya anak-anak yang sedang sekolah di Portugal, dan kebetulan diterima di Sporting Lisbon. Sementara, Alli datang dari MK Dons yang merupakan tim semenjana.
Keberhasilan Pochettino mengorbitkan para pemain ini jelas memberikan keuntungan besar buat Spurs. Secara finansial, keduanya bisa dijual dengan harga di atas 30 juta paun, bahkan masih ada klub yang akan membelinya kalau pun ditawar 50 juta paun. Namun, keuntungan terbesar sebenarnya dirasakan oleh timnas Inggris, karena Spurs menjadi oase di tengah berjamurnya pemain asing di Premier League.
Liga Inggris mungkin merupakan liga terseru di dunia dengan persaingan ketat di tiap kesebelasannya. Namun, hal ini tak berlaku buat timnas Inggris yang tak pernah mengangkat trofi sejak 1966 silam. Penampilan di turnamen internasional pun seperti tak bergairah. Salah satu alasannya karena invasi pemain asing. Kesebelasan besar akan mendatangkan pemain ternama untuk mengangkat level permainan klub. Sampai ada pada masa di mana timnas Inggris dihuni para pemain dari kesebelasan level dua.
Pochettino sebenarnya bukan kali pertama memberikan jasa buat timnas Inggris. Sebelumnya, ia melakukan hal serupa di Southampton, yang merupakan salah satu produsen pemain hebat di Inggris. Kini, bersama Spurs, Pochettino lebih punya keleluasaan untuk menambah pemain impor dengan harga yang lebih mahal untuk menambah kualitas para pemain muda.
Di musim pertamanya, Pochettino berhasil mendatangkan Federico Fazio dari Sevilla sebagai tambahan apabila Dier tak berhasil. Poch juga membeli Benjamin Stambouli dari Montpellier andai Alli masih perlu waktu untuk berkembang.
Di musim keduanya, manajer berkebangsaan Argentina ini melakukan strategi yang sama. Ia membeli Kieran Trippier dari Burnley senilai 3,5 juta paun, tapi juga mendatangkan Toby Alderweirld dari Atletico Madrid senilai 11,5 juta paun. Untuk menunjang pergerakan Kane, Poch pun mendatangkan pemain Asia sensasional di Bundesliga, Son Heung-min senilai 22 juta paun dari Bayer Levekusen.
Dampak instan langsung terasa karena Spurs menempati peringkat ketiga. Sayangnya, St. Totteringham’s Day masih dirayakan karena Arsenal maju sebagai runner up di bawah Leicester City.
Pada musim 2016/2017, Spurs agaknya ingin segera ada peningkatan. Poch memaksimalkan talenta Inggris di klub dengan mempertahankan Kane, Harry Winks (yang juga diorbitkan Pochettino), Josh Onomah, Alli, Dier, Trippier, Danny Rose, dan Kyle Walker. Sementara pemain Inggris lainnya macam Alex Pritchard, Ryan Mason, hingga Tom Carroll, dilepas. Spurs fokus pada peningkatan kualitas dengan membeli Victor Wanayama (11 juta), Vincent Janssen (17 juta), dan Moussa Sissoko (30 juta).
Hasilnya? Tak ada lagi St. Totteringham’s Day karena Spurs menempati peringkat kedua.
Meski mengalami penurunan pada musim 2017/2018 dengan menempati peringkat ketiga, tapi tetap saja itu merupakan pencapaian fenomenal buat Spurs. Benar bahwa Spurs menghabiskan 112 juta paun untuk mendatangkan pemain, tapi jangan lupa juga kalau Spurs mendapatkan 76 juta paun. Ini artinya, Spurs menjual pemain yang sudah nyetel dan menggantinya dengan pemain baru yang harus beradaptasi.
Salah satu kehilangan terbesar adalah hengkangnya Kyle Walker ke Manchester City dengan nilai 50 juta paun. Namun, City mendatangkan wonderkid Ajax Amsterdam, Davinson Sanchez, serta Serge Aurier dan Lucas Moura dari Paris Saint-Germain meski dilakukan dalam dua bursa transfer yang berbeda.
Anehnya, kehadiran para pemain baru dan berpengalaman ini tak membuat pemain Inggris tersingkir. Sebaliknya, Serge Aurier harus berkompetisi bukan cuma dengan Trippier, tapi juga dengan Kyle Walker yang lain, yakni Kyle Walker-Peters, pemain berusia 21 tahun dari akademi.
Yang diuntungkan lagi-lagi timnas Inggris karena Inggris hampir sepenuhnya mengggantungkan harapan di pos fullback pada Trippier dan Rose. Walker-Peters sendiri belum dipanggil ke timnas. Di lini tengah, Sissoko memang punya peran penting. Namun, ia tetap masih harus berbagi bersama Harry Winks dan Eric Dier.
Kini, Poch punya sejumlah nama untuk diorbitkan dan berpeluang dipanggil ke timnas. Selain Walker-Peters, mereka adalah Timothy Eyoma, Luke Amos, George Marsh, Oliver Skipp, hingga Kazaiah Sterling. Selain menguntungkan buat Spurs secara finansial, pihak lain yang juga beruntung lagi-lagi adalah timnas Inggris. Pasalnya, para pemain muda ini selain mendapatkan atmosfer kompetisi yang ketat di tingkat teratas, juga punya masa depan yang masih sangat panjang. Andai mereka gagal bersaing atau terlalu hebat di Spurs, masih ada kesebelasan lain yang mau menampung; dalam kasus ini Kyle Walker yang ditransfer 50 juta paun dan jadi pemain inti di Man City.
Terima kasih, Poch!