Sang ayah jadi korban perang saudara Burundi saat dirinya masih berusia 10 tahun. Perang ketika itu sudah berjalan sekitar empat tahun dan Saido Berahino kehilangan satu-satunya sosok yang bisa ia percaya di sana. “Saya memutuskan untuk pergi ke Inggris seorang diri. Mencari Ibu dan saudara-saudara yang sudah lebih dulu berada di sana,” akunya.
Belum mampu menguasai Bahasa Inggris, tekad bulat Berahino mendaratkan dirinya di area Newtown, Birmingham. Ia harus menjalani tes DNA terlebih dahulu sebelum dapat menemukan keluarganya. Hidup sebagai imigran, pengungsi korban perang, penyerang kelahiran 4 Agustus 1993 itu hanya tahu sepakbola sebagai alat komunikasinya.
“Saya sama sekali tidak mengerti budaya Inggris dan bisa berbicara bahasanya. Sepakbola yang memudahkan saya untuk berkomunasi dengan sekitar. Mempelajari bahasanya lewat sepakbola,” kata Berahino. “Banyak hal terjadi di Burundi. Inggris memberikan kesempatan untuk hidup dan saya sangat berterimakasih atas hal itu”.
Bergabung dengan akademi West Bromwich Albion (WBA) pada usia 12 tahun, Berahino berhasil memikat hati tim nasional. Berlatih dengan akademi the Baggies -julukan WBA- selama lima tahun, ia pun dipanggil ke tim nasional U16 Inggris.
Kepala Pelatih Inggris U16 saat itu, Kenny Swain mengaku langsung jatuh cinta kepada talenta Berahino sejak pertama melihatnya bermain. “Pertama saya melihat dia, dirinya memiliki kontrol bola yang sangat bagus dan insting mencetak gol luar biasa,” kata Swain.
Perlahan, potensi Berahino mulai diakui banyak orang. Tampil di Piala Eropa U17 2010, ia mengantarkan Inggris ke tahta juara. Hanya mencetak satu gol sepanjang turnamen. Tapi juga mengalahkan ikut Prancis yang dibela Paul Pogba sebelum menekuk Saul Niguez dan kawan-kawan di partai puncak.
Ditangani oleh pelatih pemain muda terbaik di Inggris, John Peacock, talenta Berahino kian berkembang. Hanya tiga tahun setelah membawa Inggris jadi penguasa Benua Biru, Gareth Southgate pun mengandalkan Berahino di tim U21. Nakhoda yang kini berhasil mengantar Inggris ke semi-final Piala Dunia 2018 itu pun lebih mencadangkan Harry Kane agar dapat memberi ruang kepada Berahino di U21.
Pada satu titik kariernya, Saido Berahino dinilai lebih memiliki potensi menjadi penyerang utama Inggris ketimbang kapten the Three Lions saat ini. Sayangnya, hanya sampai situ saja puncak kariernya bersama tim nasional Inggris.
Foto: Ninety Minutes Online
Dikenal Sebagai Pembuat Onar
Tampil impresif di paruh pertama Premier League 2014/2015, Berahino merasa dirinya cukup layak membela tim senior Inggris. Sekalipun secara usia, dia juga masih diizinkan bermain untuk tim U21. Roy Hodgson yang menangani the Three Lions saat itu meminta penyerang imigran Burundi untuk memperlihatkan kualitasnya. Melengkapi kisah perjuangannya.
“Saya rasa Berahino memiliki kisah yang sangat menarik. Dia harus bisa memperlihatkan kualitasnya sebagai pemain senior. Jika memang ia bisa melakukannya, saya berani untuk memberikan kesempatan. Saya tahu betapa berharga sepakbola bagi dia,” kata Hodgson.
Berahino mengakhiri musim 2014/15 dengan mencetak 14 gol dari 38 pertandingan. Tapi itu tak cukup memikat hati Hodgson. Burundi datang memanggil Berahino. Sayangnya, ia masih keras hati dan merasa layak untuk membela the Three Lions.
Berkali-kali Berahino membuat West Bromwich Albion gerah. Manajer the Baggies, Tony Pulis bahkan sampai memperingatkan Berahino harus bersikap profesional. “Dirinya perlu membersihkan segala ulah dan hal-hal bodoh yang terjadi selama enam bulan terakhir,” kata Pulis.
WBA sadar bahwa Berahino memiliki talenta. Bahkan menyebut penyelesaian akhir yang ia miliki sekelas pemain-pemain di Liga Champions. Tapi, segala pujian yang ia dapat seperti membuatnya besar kepala. Mogok latihan, berkendara di bawah pengaruh alkohol, dirinya tak lagi seperti pertama datang dari Burundi.
Penampilannya inkosisten, sering membuat kesalahan mendasar, sampai harus dibuang ke tim cadangan oleh Pulis. Berahino akhirnya meninggalkan WBA di musim dingin 2017. Tapi dia sudah bukan lagi penyerang dengan masa depan cerah. Bahkan pernah 913 hari tidak mencetak gol.
Dikenang Sebagai Pahlawan
Foto: Sportsration
Masa-masa bulan madu Berahino dengan Inggris telah berakhir. Agustus 2018, ia akhirnya memutuskan untuk pulang dan membela tim nasional Burundi. Mencetak gol di debutnya sebagai pemain Burundi, Berahino mulai menemukan dirinya yang lama.
“Berahino mulai bersinar. Dia bisa memberikan dampak dari bangku cadangan dan terus berlatih keras. Saya sudah mengatakan kepadanya, baik sebagai pilihan utama ataupun pemain cadangan, ia perlu melanjutkan kerja keras itu,” puji mantan manajer Stoke City, Gary Rowett.
Posisi Berahino di Stoke City memang tertutup oleh teman seangkatannya di Inggris U17, Benik Afobe. Namun, melepaskan obsesinya kepada tim nasional senior Inggris terbukti jitu bagi Berahino. Puncaknya ada di kualifikasi Africa Cup Of Nations (AFCON) 2019.
Mengantarkan Burundi ke AFCON untuk pertama kalinya dalam sejarah, Berahino sekaligus mengubur mimpi penyerang milik Arsenal, Pierre-Emerick Aubameyang. Aubameyang dan Gabon memiliki peluang untuk mencatat mereka sendiri. Lolos ke AFCON tiga kali beruntun untuk pertama kalinya.
Hanya selisih satu poin sebelum partai kontra Burundi, the Black Panthers -julukan Gabon- lebih diunggulkan untuk lolos. Apalagi Aubameyang sudah kembali membela mereka. Tapi kenyataannya, Berahino dan Burundi yang lolos.
Saido Berahino menjadi arsitek gol Cedric Amissi pada pertandingan penentu itu. Mereka seharusnya bisa saja melangkah ke Mesir sebagai juara grup. Sialnya, gol bunuh diri Omar Ngandu membatalkan tiga poin Burundi.
Terlepas dari gol bunuh diri itu, hasil imbang 1-1 cukup untuk meloloskan Burundi dan Berahino merayakannya dengan sebuah pernyataan kuat. “Kecil tapi memiliki hati yang besar. Ingatlah namanya, BURUNDI!,” tulis Berahino di Instastory miliknya. Setelah 22 tahun ditinggal ayahnya, Saido Berahino yang sempat membuang peluang besar untuk menjadi pemain bintang kini resmi menjadi seorang pahlawan.