Kisah kebangkitan Southampton dari divisi tiga Inggris ke Premier League merupakan hal unik tersendiri. Apalagi saat masa-masa jayanya mereka menjadi kuda hitam dengan Luke Shaw, Adam Lallana, dan Rickie Lambert, dipanggil ke tim nasional Inggris.
Absen dari Premier League selama tujuh musim, the Saints kembali dengan momentum. Apalagi di saat bersamaan, musuh bebuyutan mereka, Portsmouth jatuh ke divisi empat Inggris, League Two. Seketika, Southampton dipastikan menjadi Raja Pesisir Selatan.
Namun, tak lama kemudian AFC Bournemouth dan Brighton & Hove Albion ikut mendapat tiket promosi. Pemegang hak siar tertinggi Premier League, Sky Sports mulai memberikan label ‘South Coast Derby’ tiap kali Southampton, Brighton, dan/atau Bournemouth bentrok. Padahal label itu sejatinya hanyalah milik Southampton dan Portsmouth.
Southampton dan Portsmouth memiliki cerita panjang dalam rivalitas mereka. The Saints lahir lebih dulu dibandingkan Pompey -julukan Portsmouth-, 13 tahun lebih tua. Tapi, the Pompey lebih sukses ketimbang Saints. Lebih parah lagi, Harry Redknapp yang membawa Portsmouth promosi ke Premier League, pindah ke Southampton pada 2004.
Awalnya, Redknapp disebut sebagai ‘Judas’ alias pengkhianat oleh publik Portsmouth. Namun setelah membuat the Saints terdegradasi ke divisi dua Inggris, Championship, Redknapp kembali menangani Pompey. Bukan hanya membuat klub rival terdegradasi, Redknapp juga memberikan Piala FA untuk Portsmouth pada 2007/2008.
Rivalitas antara Southampton dan Portsmouth yang sebelumnya hanya masalah prestasi dan predikat klub sepakbola utama di Kota Hampshire, naik level berkat ulah Redknapp. Harry Redknapp bukan lagi ‘Judas’ di mata pendukung Portsmouth. Dia adalah seorang ‘Agent’. Bagaikan Maria Hill dan Phil Coulson di Marvel Cinematic Universe.
Brighton dan Bournemouth tidak memiliki cerita seperti ini dengan Southampton. Brighton dan Bournemouth bahkan tak memiliki cerita yang bisa membuat keduanya jadi rival. Dari jarak saja sudah masalah. Stadion St.Mary milik Southampton dan Fratton Park, kandang Portsmouth hanya dipisahkan 30 kilometer. Seperti Stadion Lebak Bulus ke Benteng lama.
Sementara Jarak 108 kilometer memisahkan St.Mary dengan American Express, kandang Brighton. Jarak tempuh dari American Express ke Vitaly Stadium milik Bournemouth lebih jauh lagi, mencapai 156.4 kilometer. Jakarta dan Bandung pun lebih dekat daripada Vitaly Stadium dengan AmEx.
Label Rival Brighton dan Southampton Seperti Lelucon
Foto: ges2015.org
‘South Coast Derby’ antara Brighton dan Southampton dianggap sebagai lelucon oleh kedua suporter. Tak ada yang menanggapi keduanya sebagai pertandingan serius. Adu gengsi? Bagi suporter Brighton, Southampton bukanlah Crystal Palace. Bagi suporter the Saints, the Seagulls bukanlah Pompey.
Scott McCarthy dari We Are Brighton bahkan membuat rivalitas-rivalitas lainnya sebagai bentuk kekesalannya melihat label ‘South Coast Derby’ antara Southampton dan Brighton. “Jika pertandingan melawan Southampton disebut South Coast Derby, kita bisa menyebut Manchester United kontra Wolverhampton sebagai ‘Derby Klien Jorge Mendes‘,” tulisnya di Brighton & Hove Independent.
Brighton dan Southampton memang pernah sama-sama mengincar tiket promosi dari divisi tiga Inggris, League One 2010/2011. Manajer Southampton ketika itu, Nigel Adkins sempat berusaha memanaskan perebutan gelar dengan Brighton. “Coba saja kita lihat apa mereka [Brighton] bisa terus mengejar kami,” kata Adkins.
Sekitar empat bulan setelah ucapan itu keluar dari mulut Adkins, Brighton ada di puncak klasemen League One. Gelandang Brighton, Gary Dicker pun menaruh kembali genderang rivalitas yang ditabuhkan Adkins. “Ada di atas mereka memang memberi motivasi, sedikit. Tapi saya tidak pernah merasa harus lebih baik dari Southampton,” katanya.
League One 2010/2011 berakhir dengan kedua kesebelasan mendapatkan tiket promosi ke Championship. Brighton sebagai juara dan Southampton duduk di peringkat dua. Adkins kemudian membawa Southampton ke Premier League pada 2012/2013, meninggalkan the Seagulls yang duduk di peringkat 10 klasemen akhir Championship 2011/2012.
Tidak ada rasa bangga yang diperlihatkan kubu Southampton meninggalkan Brighton jauh di bawah. Tak ada rasa kesal pula dari Brighton ditinggal Southampton ke Premier League. Mereka tidak memiliki hubungan emosional untuk menjadi rival.
Adu Produktivitas Pemain Muda
Foto: Spojrzenie z kanapy
Beda cerita dengan rivalitas Brighton dan Southampton yang sejatinya hanya lelucon, kubu Bournemouth benar-benar ingin membentuk persaingan dengan the Saints. “Rivalitas kami mulai tumbuh. Dipandang sebagai rival oleh Southampton merupakan bukti bahwa klub ini [Bournemouth] telah mengalami peningkatan,” kata Manajer Bournemouth Eddie Howe.
Rivalitas antara Bournemouth dan Southampton memang dapat dilihat dari sisi lain. Bukan masalah prestasi dan posisi klasemen, tapi produktivitas pemain muda. Eddie Howe punya insting kelas dunia untuk mencium talenta-talenta muda.
Southampton sebagai salah satu akademi terbaik di Inggris juga sama. Sayangnya, setelah Shaw, Lambert, dan Lallana hengkang, jumlah pemain muda yang diorbitkan ke tim senior the Saints mulai menurun. Hingga Maret 2019, hanya tujuh pemain jebolan akademi yang diberi kesempatan main oleh Ralph Hasenhüttl. Itupun termasuk Matt Targett, James Ward-Prowse, Sam Gallagher, dan Jack Stephens yang sudah ada di tim senior sebelum 2018/19.
Jika terus seperti ini, bukan tidak mungkin talenta-talenta muda di Pantai Selatan mulai menengok ke Bournemouth. Pasalnya, Eddie Howe telah terbukti membuat Nathan Ake serta Joshua King kembali diperhitungkan setelah sempat disia-siakan Manchester United (King) dan Chelsea (Ake).
Howe juga mengisi skuat Bornemouth dengan potensi-potensi dalam negeri seperti Jodon Ibe, Lewis Cook, dan David Brooks. Berbeda dengan Southampton yang mulai menggusur talenta lokal untuk Jannik Vestergaard dan Pierre-Emile Höjbjerg.
The New Forest Derby
Foto: Roker Report
Benih rivalitas telah tertanam meski suporter Southampton tetap melihat Portsmouth sebagai rival utama mereka. Lebih penting lagi, partai Bournemouth dan Southampton mulai menghilangkan label ‘South Coast Derby’ dan disebut sebagai ‘The New Forest Derby‘. Perubahan nama itu penting untuk nilai rivalitas kedua klub.
Seperti partai Middlesbrough kontra Sunderland yang sebelumnya sempat disebut sebagai ‘North East Derby’ kini dikenal sebagai ‘Tees-Wear Derby’. Pasalnya North East Derby sudah lebih dulu digunakan Newcastle kontra Sunderland atau ‘Tyne-Wear Derby’.
Melepas label ‘South Coast Derby’ bukan hanya akan membuat partai Southampton kontra Bournemouth jadi lebih prestisius. Tapi juga tidak merusak nilai ‘South Coast Derby’ yang sesungguhnya antara Southampton melawan Portsmouth.
Memberikan label itu pada laga lain sama saja menguranggi tensi rivalitas. Apalagi jika disamatkan dengan Brighton yang tidak memiliki cerita apapun dengan Southampton.