Akhir Maret lalu, Inggris memang menang 5-1 atas Montenegro. Namun, yang menjadi sorotan dari pertandingan itu adalah serangan rasial yang diterima sejumlah pemain Inggris seperti Danny Rose, Raheem Sterling, dan Callum Hudson-Odoi.
Soal sanksi yang nantinya diterima Montenegro itu urusan UEFA dan FIFA. Namun, agar rasisme tak tumbuh di Inggris, FA sudah punya rencana untuk meningkatkan hukuman apabila ada klub Inggris yang (suporternya) rasis.
Ketua FA, Greg Clarke, mengungkapkan kalau FA tengah meninjau proses disipliner untuk memastikan klaim atas pelanggaran diinvestigasi lebih cermat. Clarke juga menyatakan kalau saat ini akan disiapkan pelatihan bagi match stewards untuk bagaimana mereka menangani isu diskriminasi.
“Ketika Raheem Sterling, Danny Rose, dan Callum Hudson-Odoi bicara dengan kedewasaan yang begitu besar dan fasih, kami harus mendengar. Kami harus merespons, dan kami tak boleh membiarkan mereka kecewa,” tutur Clarke dikutip dari Skysports.
Bicara dalam Konferensi Equal Game yang ditujukan untuk membantu menangkis diskriminasi, Clarke menjadikan pertandingan Montenegro vs Inggris sebagai sebuah contoh atas sesuatu yang terjadi di masyarakat, di seluruh Eropa.
“Tak ada dari kita yang bisa cukup naif untuk berpikir kalau rasisme tak terjadi di semua negara dan pertandingan. Lebih jelasnya, masalah ini perlu diselesaikan. Kami harus melakukan lebih di Inggris, dan lebih di Eropa, dan kami harus melakukannya bersama-sama. Itu adalah kepemimpinan kuat yang kami butuhkan untuk memastikan kami benar-benar memiliki permainan yang setara,” ungkap Clarke.
“Satu dari aturan pertama adalah mendengarkan orang yang terdampak dan memercayai mereka. Aku khawatir bahwa ada beban yang tidak pantas pada pemain untuk melaporkan insiden yang melibatkan mereka. Aku ingin melihat tinjauan dari insiden di lapangan juga.”
“Aku mengerti sepenuhnya bahwa ketika dua orang terlibat percakapan, seringkali ada kata yang digunakan untuk menyerang yang lain. Namun, itu bukan lagi masalah. Lapangan untuk kompetisi dipenuhi kamera, merekam dari semua sisi.”
Mengubah Protokol UEFA
Sementara itu, Presiden UEFA, Aleksander Ceferin, merasa malu ketika harus menghadiri konferensi yang mempromosikan keberagaman.
“Saya malu. Malu bahwa di 2019 kami harus mengadakan konferensi untuk mempromosikan keberagaman,” tutur Ceferin. “Amat mengkhawatirkan melihat pemimpin dunia dan politisi mengecilkan insiden rasisme dan diskriminasi.”
Clarke sendiri percaya ini adalah waktu yang tepat untuk menguji kembali tiga-langkah yang ditetapkan UEFA untuk menghentikan pertandingan ketika ada serangan rasial. Aturan UEFA saat ini membolehkan wasit menghentikan, menunda, atau menyudahi pertandingan saat ada serangan rasial. Akan tetapi, Clarke percaya kalau ini adalah waktunya untuk menurunkan ambang bawah yang membiarkan wasit untuk mempercepat proses tersebut.
Akan tetapi, hal ini justru jarang terjadi di pertandingan. Wasit seperti ragu-ragu karena ini merupakan aturan baru dan jarang dilakukan oleh wasit lain. Ini yang membuat Clarke meminta UEFA memerintahkan para wasit agar tak segan-segan menghentikan pertandingan.
“Protokolnya meminta wasit menghentikan pertandingan kalau terjadi perilaku rasis yang besar dan intens. Aku tak merasa kalau protokol ini sudah cukup bagus, dan kami harus mengambil kesempatan ini untuk meninjau ulang batasnya.”
Apa yang dilakukan Clarke ini memang ada alasannya. Inggris utamanya, diisi oleh sejumlah pemain kulit berwarna. Ini tak lepas dari wilayah Inggris yang tersebar di penjuru dunia, yang memungkinkan pemain kulit berwarna bisa membela timnas Inggris.
“Anak-anak muda yang berlaga di atas lapangan merepresentasikan klub dan negara kami tak hanya layak, tapi juga berhak, untuk memainkan sepakbola di lingkungan yang aman dan bebas dari serangan rasial. Seharusnya tidak ada penilaian apakah sesuatu itu berskala besar. [Karena] Rasisme tetaplah rasis,” tutur Clarke.
Apa yang diminta Clarke sebenarnya sudah mendapatkan lampu hijau dari Ceferin. Ia mengatakan akan meminta wasit untuk lebih berani dengan menghentikan pertandingan saat ada serangan rasial.
“Saat pertandingan dihentikan, atau tak dimainkan, aku pikir 90% orang-orang normal di stadion akan menendang idiot-idiot ini keluar,” tegas Ceferin. “Ini 2019, ini bukan 100 tahun yang lalu.”
“Kami akan bicara lagi pada para wasit dan meminta mereka untuk percaya diri, tak perlu takut untuk bertindak. Ini adalah masalah besar. Bukan cuma Balkans, tapi juga seluruh Eropa Timur. Imigran tidak terlalu banyak karena semua orang ingin pergi ke Eropa Barat karena alasan ekonomi, pekerjaan, dan hidup yang lebih baik.”
“Jadi dibutuhkan waktu. Tapi tentu saja Anda melihat Italia, salah satu negara dengan masalah terbesar atas rasisme, seksis, dan homofobia. Anda punya Inggris, di mana Anda punya masalah. Ini adalah masalah orang-orang intoleran, bukan masalah bangsa.”
Meskipun demikian Ceferin merasa kalau hukuman dari UEFA tak akan ditingkatkan, seperti mengeluarkan kesebelasan dari turnamen tertentu. Menurutnya, melarang pelanggar datang ke stadion, bertanding tanpa penonton, dan denda, sudah cukup keras.
“Kalau sudah kronis, kita bisa membuang klub atau timnas dari kompetisi. Semuanya mungkin, tapi itu pilihan terakhir.”