Derby selalu menyimpan cerita unik, mulai dari geografi, perbedaaan kelas, rivalitas antar sejarah atau hal menarik lainnya. Lalu bagaimana dengan derby yang bahkan tidak memiliki syarat di atas, bahkan kenyataannya mereka terpisah sangat jauh secara geografis, anda akan mengenal M23 Derby antara Brighton and Hove Albion dengan Crystal Palace.
Keduanya punya hubungan yang sangat unik, kedua kesebelasan terpisah sangat jauh. Crystal Palace yang bermarkas di London terpisah 124 km dengan jarak tempuh sekitar 3 jam. Bahkan lebih uniknya lagi kedua kesebelasan mengganti logonya dengan ikon yang identik, Crystal Palace dengan Burung Elang dan Brighton dengan Burung Camar.
Rivalitas yang bermula di Tottenham
Kedua tim sebenarnya tidak memiliki kepentingan atau rivalitas apapun yang membuat keduanya layak dijadikan sebuah Derby pada awalnya. Crystal Palace bahkan baru bertemu Brighton medio awal abad 20 dan tidak terjadi apapun, sebuah pertandingan yang biasa di divisi 3 Inggris. Namun semua berubah ketika memasuki musim 1975-1976.
Bermula dari Brighton yang dilatih oleh Peter Taylor sedangkan Crystal Palace yang dilatih Malcolm Alisson bertemu pada pertandingan Divisi 3 yang digelar di Goldstone Ground, kandang Brighton saat itu. Permasalahan bermula ketika supporter Brighton lebih banyak daripada biasanya, 26.000 penonton yang hadir membuat kepolisian waspada dan sempat terjadi intrik antar supporter Brighton dan Crystal Palace, Brighton menang 1-0 saat itu.
Pada pertandingan tersebut, Crystal Palace baru saja mengganti logonya dengan menonjolkan symbol Elang. Hal tersebut diadaptasi oleh para supporter Palace yang berteriak “Eagles” sebagai wujud kebanggaan mereka terhadap Elang yang menggambarkan mereka.
Tidak mau kalah, Brigton yang saat itu memiliki logo lumba-lumba di dada kiri mereka, melihat burung Camar yang memang sangat banyak di daerah Essex terutama Brighton. Para supporter Brighton kemudian berteriak “Seagulls” atau burung Camar, sebuah chants yang kemudian diadaptasi oleh petinggi klub dan mengubah logo lumba-lumba menjadi burung Camar sampai sekarang.
Tensi lebih memanas satu tahun setelahnya, tepatnya pada musim 1976-1977, Crystal Palace mengangkat Terry Venables sebagai pelatih, sedangkan Brighton memilih Allan Mullery. Bagi supporter Tottenham Hotspurs, keduanya bukan nama yang asing, mengingat Terry Venables dan Allan Mullery medio 1966 hingga 1969. Disinilah rivalitas yang akan menjadi derby M23 dimulai. Menurut Mullery, Venables tidak terlalu menyukainya karena ketika di Tottenham, Venables terkenal sebagai pemain yang tidak disiplin meskipun bertalenta, kebalikannya Mullery adalah sosok yang berwibawa dengan kepemimpinan dan disiplin yang cukup tinggi.
Brighton dan Palace bertemu dua kali di Liga Inggris Divisi Tiga saat itu, kedua pertemuan berakhir imbang dan penuh drama, rataan penonton keduanya hanya mencapai 20.000 bagi Brighton dan 17.000 bagi Palace, namun ketika keduanya bertemu penonton mencapai 30.000 tiap pertandingan .
Lalu pada gelaran Piala FA 1976-1977 kedua tim kembali saling bertemu, hasilnya serupa : imbang 2-2 di Goldstone Ground dan imbang 1-1 di Selhust Park. Hasil tersebut membuat pertandingan ketiga di tempat netral digelar, Stamford Bridge, kandang dari Chelsea ditunjuk untuk menggelar pertandingan tersebut.
Palace unggul melalui gol Phil Holder, sedangkan malang bagi Brighton, mereka sempat mencetak gol melalui Peter Ward yang dianulir wasit Ron Challis karena dianggap handsball, meskipun akhirnya Ron mengakui keputusannya keliru. Kesialan tidak berhenti sampai disitu, Brighton mendapatkan penalty di menit 78, Brian Horton yang maju sebagai eksekutor sukses menjalankan tugasnya namun dianulir karena ada pemain Birghton yang maju sebelum bola ditendang dan penalty harus diulang, sepakan Horton yang kedua mampu diantisipasi oleh Paul Hammon yang menjadi kiper Palace, skor 1-0 untuk kemenangan Palace menjadi hasil akhir pertandingan.
Allan Mullery kemudian berang berteriak ke arah supporter dan ke bangku cadangan Palace dengan kata-kata serapah dan ungkapan “kalian tidak pantas memenangkan pertandingan ini,” disinilah rivalitas memanas, , kejadian tersebut dikenang sebagai “Challis of the Palace”.
Uniknya setahun setelah keduanya bertemu mereka mengganti julukan secara bersamaan, Palace mengganti julukan mereka sebagai “The Eagles”sedangkan Brighton mengganti julukan mereka dengan “The Seagulls”, rivalitas keduanya terus memanas hingga awal 80-an, semuanya menjadi semakin aneh.
Semua bermula ketika Allan Mullery yang dipecat oleh Brighton, masuk dalam kandidat sebagai Manajer dari Palace pada 1982, yang tentu saja ditolak mentah-mentah oleh para supporter Palace. Namun Jajaran manajemen tetap mengangkat Allan Mullery dan membuat supporter berang dan menghina Mullery dan Brighton secara bersamaan. Mullery kemudian mengundurkan diri pada 1984.
Tidak berhenti disitu, rivalitas memanas ketika pada 1985, pemain muda penuh talenta andalan Brighton, Gerry Ryan, ditackle keas oleh Henry Houghton yang merupakan pemain belakang Palace. Gerry Ryan mengalami patah tulang kering menjadi tiga bagian, dan membuat supporter Birghton berang dan kericuhan di Selhust Park pecah. Uniknya, Henry Houghton adalah saudara dari Manajaer Brighton saat ini, Chris Houghton.
Kemunduran Brighton
Brighton mengalami masa suram medio awal 90 an karena masalah finansial dan kendang mereka yang kerap berpindah-pindah, membuat mereka mondar-mandir dari divisi dua hingga tiga. Sedangkan Crystal Palace lebih baik, mereka memang tidak konsisten dengan promosi dan degradasi tiap musimnya, namun Palace bermain di divisi satu hingga Premier League. Intensitas keduanya sedikit berkurang seiring perbedaan divisi kedua kesebelasan.
Namun tidak perlu lama untuk memulai rivalitas kembali, medio awal 2000-an, Brighton mendapatkan suntikan dana segar yang membuat mereka bisa berkompetisi dan memiliki kendang sendiri yakni Falmer Stadium.
Dengan sarana dan kemampuan finansial yang sudah lebih baik, Brighton mampu menembus divisi utama atau Championship Division pada 2004-2005. Namun rivalitas memanas dua tahun sebelum itu.
Semua bermula ketika Brighton menunjuk Steve Coppell yang merupakan mantan pelatih Crystal Palace medio 80-an akhir dan mantan winger dari Manchester United. Coppell memang merupakan sosok yang penuh dengan kontroversi, sebenarnya Coppell merupakan jebolan akademi Liverpool, ia bahkan mengakui bahwa dirinya adalah supporter setia Liverpool. Namun keputusannya untuk memperkuat Manchester United di masa seniornya adalah hal yang membuat semua orang menghernyitkan dahi.
Dan benar saja, ketika menjadi Manajer Brighton, Coppell dianggap membandingkan ketika dirinya menjadi Manajer Palace, supporter Brighton turun kejalan dan melakukan protes kepada jajaran manajemen klub. Puncaknya ketika Palace menghancurkan Brighton di pertandingan League One dengan skor 5-0, lewat hattrick Andy Johnson. Brighton kemudian terdegradasi ke League Two di akhir musim.
Secara mengejutkan keduanya bertemu di Championship Division pada musim 2011-2012. Palace menang 1-3 atas tim tuan rumah sekaligus memecahkan rekor tidak terkalahkan di pertandingan kandang milik Brighton, musim berikutnya kedua kembali bertemu dalam intensitas yang lebih tinggi.
Semifinal Play off Championship Division 2012-2013, Brighton berhadapan dengan Crystal Palace untuk memperebutkan satu tiket ke Premier League. Di pertemuan pertama yang digelar di Selhust Park berakhir dengan 0-0, pertandingan kedua digelar di Falmer Stadium.
Di Falmer Stadium, Palace dijamu dengan sangat tidak ramah : bis terlambat, ruang ganti yang berantakan dan yang paling parah, kotoran manusia di kamar mandi dan toilet di ruang ganti pemain Crystal Palace di Falmer Stadium.
“Itu sangat menjijikkan bagi kami, saya rasa itu taktik dari pengurus stadion untuk mempengaruhi kami agar gagal di laga tersebut,” ucap Danny Gabbidon, mantan pemain Palace di The Times. Namun Palace tetap menang 0-2 lewat dwi gol Zaha dan membawa Palace promosi ke Premier League.
Maka bukan hal yang aneh ketika Zaha, winger Crystal Palace ditanya usai pertandingan menghadapi Brighton musim lalu, mengenai kebencian Zaha terhadap Brighton dari skala 1-10, Zaha dengan tegas dan cepat menjawab “11”.
Rivalitas unik kedua kesebelasan masih berlangsung hingga kini usai Brighton promosi pada musim lalu, namun Brighton kini dalam kondisi di ujung tanduk dari ancaman degradasi. Tentu akan menjadi kabar menggembirakan bagi fans Crystal Palace melihat rival mereka terperosok ke zona degradasi.