Major League Soccer (MLS), salah satu liga di Amerika Serikat ini bukanlah divisi tertinggi sepakbola Paman Sam. United Soccer League (USL) dan North America Soccer League (NASL) tidaklah berdiri di bawah mereka. Kedua liga itu berdiri terpisah meski sejak 2013, beberapa peserta USL adalah tim cadangan dari MLS. Tapi jelas MLS adalah liga terpopuler di Amerika Serikat. Hanya kesebelasan MLS yang bisa bermain di CONCACAF Champions League. Bukan NASL ataupun USL!
Sejak David Beckham didaratkan LA Galaxy pada 2007, MLS menjelma menjadi kekuatan sepakbola Amerika Serikat. Sejak itu pula regulasi ‘designated player’ atau dikenal sebagai ‘marquee’ di beberapa negara lain seperti Australia dan Indonesia diberlakukan oleh pihak liga. Dengan regulasi tersebut, kesebelasan-kesebalasan MLS dipersilahkan mendatangkan pemain bintang. Gaji mereka juga akan dihitung dalam batasan yang telah diberlakukan.
Beckham, Bradley Wright-Phillips, Bastian Schweinsteiger, hingga Carlos Vela bisa bermain di Amerika Serikat karena peraturan ini. ‘Designated player’ bukan satu-satunya daya tarik MLS. Baru mengemas ulang liga pada 2007, MLS masih dalam masa pertumbuhan. Setiap tahunnya, kesebelasan-kesebelasan baru muncul mewarnai MLS.
Merusak Liga Lain
Foto: Sports Made In USA
Ekspansi ini sebenarnya sudah dilakukan sebelum Beckham mendarat di Los Angeles. Lebih tepatnya sejak 2004 ketika kesebelasan Meksiko, Guadalajara, membuka cabang di Negeri Paman Sam dengan membetuk Chivas USA. Tapi kedatangan Beckham adalah gerbang dari pertumbuhan pesat MLS. Beckham mengangkat nilai jual MLS dan membuat keselasan lain ingin ikut serta di MLS.
Montreal Impact, Minesotta United, FC Cincinnati, dan Orlando City adalah beberapa klub yang pindah liga mengisi jatah ekspansi MLS. Cincinnati dan Orlando meninggalkan USL. Sementara Montreal dan Minesotta pergi dari NASL.
Ini salah satu alasan mengapa MLS dibenci oleh NASL. Sebelum Beckham datang ke MLS, NASL adalah liga paling populer di Amerika Serikat. Mereka bisa dibilang sebagai liga yang memperkenalkan sepakbola pada publik sampai dapat mendatangkan legenda Brasil, Pele, untuk main di New York Cosmos. Tapi karena MLS, NASL kini tengah vakum dari sepakbola dan beberapa kesebelasan utama mereka termasuk Cosmos, ingin membentuk liga baru.
Akan Diikuti 30 Kesebelasan
Foto: Socccer Stadium Digest
Tanpa kehadiran NASL yang sejatinya masih bisa mendatangkan pemain-pemain ternama seperti Marcos Senna, Joe Cole, dan Emmanuel Ladesma, MLS semakin menggila. Hanya diikuti 10 kesebelasan pada 2003, liga tersebut memiliki 24 peserta pada 2019.
Jumlah itu sudah termasuk banyak dalam sebuah liga sepakbola. Sebagai perbandingan, Liga MX di Meksiko hanya memiliki 18 kesebelasan. Namun, itu tidak menghalangi MLS untuk kembali melakukan ekspansi. Mereka memasang target untuk mengisi liga dengan 30 peserta pada musim 2022, dan enam peserta baru tersebut akan ditentukan di awal 2020.
“Sepakbola profesional di Amerika Serikat dan Kanada sedang mengalami kemajuan pesat. Dalam 15 tahun terakhir, MLS sukses membuka pasar yang lebih luas lewat sepakbola dan kami percaya masih ada daerah yang bisa berkembang melalui hal ini,” kata Komisaris MLS Don Garber.
Dari empat tempat yang dibuka, dua di antaranya sudah diisi. Inter Miami FC akan mulai mewarnai MLS pada 2020. Austin FC akan menyusul mereka setahun kemudian di MLS 2021. Untuk sementara, St.Louis dan Sacramento disebut akan mengisi dua tempat yang tersisa. Andai kata keduanya masuk menjadi kesebelasan ke-29 dan 30 MLS, ekspasi ini juga tidak akan berhenti. Pasalnya beberapa kesebelasan lain seperti Las Vegas Lights juga diincar oleh MLS.
“Saya rasa kami sudah membuktikan bahwa Las Vegas adalah kota sepakbola. MLS juga menaruh minat kepada kami,” kata Presiden Lights FC Brett Lashbrook. “Las Vegas dan Charlotte adalah dua tempat di mana sepakbola hidup. Mereka masuk ke dalam diskusi. Begitu juga dengan Detroit,” aku Garber.
Tetap Elit Meski Sesak
Foto: Sports Illustrated
Entah sampai kapan MLS akan melakukan ekspansi. Mereka mungkin mematikan liga lain seperti NASL. Akan tetapi, mereka juga efektif menghidupkan sepakbola di sana. Semakin banyak kesebelasan yang tampil di MLS, pemain-pemain bintang akan kian menjamur di Amerika Serikat. Akhirnya sepakbola terus meningkat di sana.
Masalah dana juga tak akan jadi masalah mengingat MLS menggunakan sistem franchise. Tanpa dana yang cukup, sebuah kesebelasan tidak akan diizinkan tampil di MLS. Tanpa stadion yang memadahi, mereka juga akan ditolak oleh MLS. Stadion itulah alasan Lights FC masih bermain di USL meski pernah ditawari menjadi peserta MLS pada 2015.
Liga dengan sistem daerah membuat 30 atau 32 peserta juga tidak terlalu mempengaruhi jadwal setiap kesebelasan. Mereka dibagi sama rata ke dua daerah. Artinya pada 2019, tiap daerah diisi 12 kesebelasan. Pada 2021 saat Austin FC bergabung, masing-masing daerah diisi 14 kesebelasan. Itu masih termasuk sedikit di dunia sepakbola.
Memang ada masanya salah satu daerah memiliki peserta lebih banyak, karena ekspansi dilakukan perlahan. Namun hal itu tak mempengaruhi sistem MLS yang akan tetap memilih empat besar dari masing-masing daerah ke fase play-off. Pada akhirnya, hanya satu piala yang diperebutkan oleh semua kesebelasan.
Beberapa mungkin mendapat gelar hiburan sebagai juara Kanada atau kesebelasan terbaik di musim reguler. Tapi hanya MLS Cup yang jadi alat ukur kesuksesan mereka. Berapa juga kesebelasan yang mengikuti MLS, liga ini akan jadi yang paling elit di Amerika Serikat.
Hanya mengejar satu piala, memiliki keuangan yang stabil, dan setiap tim punya bintang masing-masing. Hal itu tidak dimiliki oleh liga lain di Amerika Serikat. Bintang di USL tak merata. Keuangan di NASL tidak terjamin. Hanya MLS yang layak menjadi liga paling elit di Amerika Serikat!