Pemilik 10 gelar juara La Liga sekaligus salah satu kesebelasan terbaik di Spanyol, Atletico Madrid, kembali melebarkan sayapnya di Benua Asia. Setelah menjalani kerjasama dengan Shanghai Shenhua dan menjual sebagian dari saham klub kepada pengusaha asal Tiongkok Wang Jianlin, Rojiblancos meninggalkan Negeri Tirai Bambu dan pindah ke Pakistan.
Atletico Madrid tidak mencari klub satelit atau pemilik saham baru di Pakistan. Melainkan membentuk akademi di negara penggila olahraga kriket tersebut. Dibantu pengusaha asal Pakistan, Mohamed Atta Tanseer, mereka mengirim dua pelatih akademi Daniel Limones dan Javier Visea untuk memantau talenta di sana.
Memantau sekitar 600 anak-anak, Visea dan Limones kabarnya akan mengadakan latihan sebanyak tiga kali dalam seminggu di Kota Lahore, daerah paling padat penduduk kedua di Pakistan setelah Karachi. “Mereka tidak tertutup dan selalu ingin belajar. Beberapa bahkan sudah mengikuti dan merupakan penggemar sepakbola,” kata Visea.
Langkah yang diambil Atletico Madrid bisa dikatakan berani. Mereka datang mengajarkan sepakbola di negara yang tidak terlalu tertarik pada olahraga tersebut. Bukan soal prestasi. Jika bicara prestasi, Indonesia juga bukan pasar yang tepat untuk sepakbola. Tapi buktinya Arsenal sampai Boca Juniors berani membuka akademi di Indonesia.
Sepakbola merupakan salah satu olahraga yang paling digemari di Indonesia. Itu menjadi kunci ketertarikan kesebelasan ternama dunia datang membuka akademi. Pakistan tidak terlalu peduli pada sepakbola. Liga profesional mereka, Pakistan Premier League hanya diisi 12 kesebelasan dengan saluran berbayar sebagai pemegang hak siar mereka. Tapi Atletico Madrid berani datang ke sana dan berusaha menumbuhkan kepekaan pada sepakbola.
Lihat Amerika Serikat dan India
Foto: Muambai Live
Namun jika belajar dari sejarah, mungkin langkah seperti inilah yang paling tepat. Lihat bagaimana Amerika Serikat jadi salah satu negara dengan liga sepakbola paling gurih di benua mereka setelah Major League Soccer (MLS) bertransformasi pada 2007. Berawal dengan nama besar David Beckham, MLS tumbuh dan menambah daya tarik sepakbola Amerika Serikat pada dunia.
Talenta-talenta dari Negeri Paman Sam akhirnya ikut bermunculan di Eropa. Christian Pulisic, John Brooks, Matt Miazga, De Andre Yedlin, dan lain-lain kini bermain di liga top Eropa.
Selain Brooks, tiga nama lain memulai karier sepakbola dari dalam negeri. Popularitas sepakbola perlahan mulai bersaing dengan American Football, bisbol, ataupun bola basket yang sudah lebih dulu populer di Amerika Serikat.
Hal yang sama juga bisa dikatakan untuk India. Sejak membentuk India Super League (ISL) pada 2013, sepakbola mulai tumbuh di sana. ISL menggunakan sistem yang sama dengan MLS. Mereka juga mendatangkan pemain bintang untuk menambah nilai jual ISL.
Mulai dari Elano, Alessandro Del Piero, dan Robert Pires di musim pertama. Hingga dihuni Chris Herd (eks-Aston Villa), Matt Mills (eks-Reading), Miku (eks-Rayo Vallecano), dan lain-lain pada musim 2018/2019.
Pemain seperti Armaan Kalra (Grasshopper Zurich), Swapnil Raj Dhaka (FK Sindjelic) mulai muncul. Kesebelasan ternama Eropa seperti Bayern Munchen kemudian datang membuka akademi. Bukan hanya menghidupkan sepakbola dan memancing talenta-talenta dari India untuk keluar, ISL berhasil membuat kriket dianggap membosankan di sana.
“Bermain sepakbola selalu menjadi impian saya. Namun kriket adalah olahraga terbesar di sini. Saya bermain kriket karena alasan itu. Saya beruntung bisa melihat sepakbola besar di India dan pindah jurusan. Jujur saja, kriket membosankan. Dulu selepas latihan kriket, kami juga mengisi waktu untuk main sepakbola,” ungkap bek andalan tim nasional India, Sandesh Jhingan.
Tidak Asing dengan Sepakbola
Foto: Football Counter
Hal yang sama bisa dilakukan Atletico Madrid di Pakistan. Mungkin saat ini sepakbola masih dipandang sebelah mata di sana. Namun sejatinya ada beberapa talenta asal Pakistan yang pernah mewarnai kompetisi-kompetisi terbaik Eropa. Zesh Rehman (Queens Park Rangers), Sami Malik (Hertha Berlin), Kamran Ali Iqbal (Valeranga), Etzaz Hussain (Molde), dan Adil Nabi (West Bromwich Albion), contohnya.
Talenta keturunan Pakistan, Ghayas Zahid, juga mewarnai Liga Champions 2017/2018 bersama APOEL. Namun sama seperti Hussain, Zahid lebih memilih bermain untuk tim nasional Norwegia ketimbang Pakistan.
Sepakbola Pakistan sedang dalam masa perbaikan setelah sempat dihukum FIFA karena kasus korupsi. Dengan bantuan Atletico Madrid, tinggal menunggu waktu melihat Pakistan menjadi seperti India atau Amerika Serikat. Faktanya, Pakistan memang sudah jadi incaran klub asal Spanyol sebelum Rojiblancos datang.
Rival sekota mereka, Real Madrid awalnya juga ingin membangun akademi di sana tapi gagal terlaksana. Atletico Madrid juga tidak hanya membangun satu akademi di Pakistan. “Setidaknya pada 2024, kami akan memiliki enam akademi di Pakistan. Lahore dan Karichi akan ada dua akademi. Kemudian Islamabad dan Rawalpindi akan didirikan masing-masing satu,” kata Direktur Akademi Atletico Madrid Syed Zahab Ali.