Sudah menganggur sejak dilepas West Ham United pada akhir musim 2017/2018, Patrice Evra masih berbuat onar. Saat Olympique Marseille bertemu dengan Paris Saint-Germain (PSG) di pekan ke-29 Ligue 1 2018/2019, Evra menunjukkan sikap homofobia di sosial media miliknya.
“Dasar Paris banci, biarkan laki-laki sejati yang berbicara,” kata Evra menyiram bensin ke api rivalitas Le Classique. Marseille yang pernah dibela Evra selama setahun kalah di 1-3 pertandingan tersebut. Namun, masalah bagi mantan kapten Manchester United itu baru muncul setelah pertandingan.
Evra dilaporkan ke pihak kepolisian oleh dua aktivis hak asasi kaum gay. “Bagaimana Evra menggunakan kata ‘banci’ dan ‘laki-laki sejati’ adalah bentuk dari homofobia di sepakbola. Perlakuan yang tak bisa diterima dari mantan kapten tim nasional Prancis,” ungkap Etienne Deshoulieres, pengacara dari pihak aktivis.
Setelah laporan ini muncul, Evra melakukan klarifikasi dan mengatakan bahwa ia mencintai semua orang. Akan tetapi, satu insiden itu sudah cukup bagi pengurus sepakbola Prancis untuk mempertimbangkan hukuman untuk perlakuan homofobik.
Menurut laporan Tahun 2016, Prancis memang bukan negara yang dipenuhi kaum LGBTQ. Sekalipun sudah melegalkan pernikahan sesama jenis sejak 2013, laporan itu mengatakan bahwa di Prancis, hanya 24% warga negara mereka yang mengidentifikasikan diri sebagai LGBTQ: 1% Lesbian, 13% Gay, 10% Biseksual.
Situs Rainbow-Europe juga melihat Prancis sebagai salah satu dari 10 negara yang paling ramah dengan kaum LGBTQ. Duduk di peringkat sembilan dunia, jauh di atas tetangga mereka Monako (45).
Namun menurut Guardian, ujaran kebencian terhadap kaum LGBTQ di Prancis memang meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Hal serupa juga terjadi di Britania Raya yang duduk satu peringkat lebih tinggi dibandingkan Prancis di Rainbow-Europe.
Melihat masalah yang jadi perhatian negara ini, badan liga profesional Prancis membangun kerja sama dengan International League against Racism and Anti-Semitism (LICRA) dan kelompok anti-diskriminasi. “Jika terbukti melakukan perlakuan berbau homofobik, mereka dapat didenda 25 ribu euro dan dikurung di penjara enam bulan,” jelas Frederic Portier, perwakilan pemerintah yang ikut membantu liga.
Boy de Teur selaku presiden badan liga profesional Prancis juga meminta wasit untuk peka. Siap menghentikan pertandingan apabila mendengar hal tersebut terjadi di tribun ataupun lapangan. Nantinya, pengurangan poin pun akan diberikan kepada kesebelasan terkait.
Prancis mulai memerangi homofobia di sepakbola setelah bertahun-tahun masalah ini muncul di atas lapangan. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?
Dari Era George Best
Foto: LA Galaxy
Pada 2019, mungkin sudah ada beberapa pemain yang mengakui bahwa mereka memiliki orientasi seksual berbeda dengan ‘norma masyarakat’. Robbie Rogers (eks-Leeds United) dan Thomas Hitzlsperger (eks-West Ham) misalnya. Tapi semua dilakukan setelah mereka pensiun.
Mantan penjaga gawang Columbus Crew, Matt Pacifici, mengikuti jejak Hitzlsperger dan Rogers setelah cedera mengakhiri kariernya di usia 25 tahun. “Bermain sepakbola adalah impian saya sejak masih berusia 4 tahun,” buka Pacifici.
“Saya tidak tahu apakah bisa keluar ke publik [sebagai gay] atau tidak. Saya tidak tahu lingkungan sepakbola dan takut ada pihak yang homofobia. Sadar bahwa posisi saya tidak memiliki garansi. Jadi saya tidak ingin merusak kesempatan dengan menarik perhatian di luar sepakbola,” lanjutnya.
Homofobia di sepakbola sudah ada setidaknya sejak George Best masih mewarnai lapangan hijau. Best saat mungkin dikenang sebagai legenda dan salah satu pemain terbaik yang pernah ada. Tapi saat dirinya masih bermain, ia adalah musuh publik.
Gaya flamboyan dan hobi untuk berpesta, Best sering jadi incaran publik. “Georgie Best seorang bintang, ia berjalan seperti wanita, dan menggunakan bra,” teriak para suporter mengadopsi nada dari lagu ‘Jesus Christ Is Superstar’ yang dipopulerkan Andrew Lloyd Webber dan Tim Rice.
Terlepas dari judulnya yang seakan memberi pesan positif, lagu tersebut menceritakan hubungan antara Yesus dan Yudas Iskariot. Setidaknya menurut interpretasi Webber dan Rice, dan tidak ada di alkitab.
Setelah Best, giliran mantan pemain Chelsea, Graeme Le Saux yang menjadi target. Jarak antara Best dengan Le Saux sekitar dua dekade. Para suporter pun kian frontal meneriakan sikap homofobik dari tribun. “Le Saux menerimanya di pantat!,” teriak mereka. Padahal Le Saux sudah memiliki istri.
Menutup Diri Selama Bermain
Foto: Grimsby Telegraph
Sejak Amerika Serikat ikut melegalkan pernikahan sesama jenis, kepekaan dan perjuangan terhadap kaum LGBTQ meningkat. Bendera tiang sepak pojok, ban kapten, tali sepatu, hingga kostum tim menjadi alat perjuangan di sepakbola. Setidaknya untuk meningkatkan kepekaan dan memberikan dukungan kepada mereka.
Tapi setiap kali ada ajakan kepada pemain untuk keluar, menjadi contoh dan panutan bagi publik, tidak ada yang berani melakukannya. Presiden FA, Greg Clarke sempat mencoba mengajak pemain aktif yang merasa diri mereka gay untuk bertemu dengannya. Tapi tidak ada satupun yang muncul.
“Saya bertanya kepada mereka, kenapa tidak ada yang datang ke pertemuan. Kemudian semua jawabannya sama, mereka tidak mengenal satupun pemain yang merupakan seorang gay,” kata Clarke.
Satu-satunya pemain aktif yang berani mengakui bahwa dirinya memiliki ketertarikan pada sesama jenis hanyalah gelandang Cleethorpes Town, Liam Davis. Ia pernah mengantarkan timnya ke final FA Vase. Statusnya hanya pemain semi-profesional di divisi enam. Jadi, tekanan yang ditakuti oleh para pemain profesional tidak begitu berpengaruh kepada Davis.
“Tentu kondisinya berbeda karena saya ada di kompetisi semi-profesional. Tekanan di atas sana jelas lebih besar. Saya berharap suatu hari nanti akan ada yang berani maju. Tapi, bukan hak saya untuk meminta mereka maju,” kata Davis.
Namun tidak semua optimis seperti Davis. Robbie Rogers yang bisa dibilang memulai kepekaan terkait kaum LGBTQ di sepakbola pria merasa mengakui diri sebagai gay saat masih bermain adalah hal yang mustahil. “Sejak saya membuka diri ke publik, tidak pernah ada pemain lain yang datang dan mengatakan ‘terima kasih, saya juga gay’,” jelas Rogers.
Mantan pemain Botafogo, Douglas Braga, mungkin paling pas menjelaskan kondisi bermain sebagai seorang gay. “Kita adalah aktor. Kita memainkan sebuah peran di sini. Tidak bisa menjadi diri sendiri sekaligus memerankan seorang pesepakbola profesional,” kata Braga.
Diskriminasi dalam Anti-Diskriminasi
Foto: ESPN
Apapun yang dilakukan oleh pihak asosiasi, sikap homofobik akan selalu ada di sepakbola. Apalagi saat mereka sendiri melakukan diskriminasi dalam kasus anti-diskriminasi.
FIFA memberi denda 10 ribu euro kepada Meksiko karena ulah suporter yang homofobik. Sementara Montenegro didenda dua kali lipat karena rasisme. Padahal keduanya adalah diskriminasi.
Badan liga profesional Prancis siap memberikan 25 ribu euro untuk perlakuan homofobik. Padahal mereka pernah memberikan denda 50 kepada RC Lens karena masalah serupa. Kenapa tidak semua perlakuan diskriminasi memiliki hukuman yang sama?
Entah itu homofobik, seksis, anti-semitisme, Islamophobia, rasisme, atau bentuk diskriminasi lainnya. Selama diskriminasi tidak ada bedanya bukan? Kenapa dikotak-kotakkan? Bukankah semua bertujuan untuk menghapus kotak yang telah dibangun masyarakat agar sepakbola bisa dinikmati semua lapisan?