Tak terasa musim kompetisi 2018/2019 akan segera berakhir. Bertemunya dua wakil Inggris, yakni Liverpool dan Tottenham Hotspur di laga final Liga Champions tentu menambah keseruan.
Bertemunya dua wakil dari Premier League ini merupakan pengulangan, karena beberapa musim lalu pernah juga terjadi. Kala itu Manchester United bertemu sesama wakil Inggris, Chelsea.
Namun seringkali publik bahkan pecinta sepakbola lupa, bahwa ada cerita dibalik kesuksesan klub-klub papan atas di suatu kompetisi seperti Premier League. Yaitu bagaimana klub-klub papan tengah yang seringkali menjadi feeder atau pemasok pemain bagi klub-klub papan atas ini.
Keberhasilan yang diraih oleh Liverpool dan Totenham Hotspur di musim ini tak bisa lepas dari kontribusi salah satu kesebelasan apan tengah mereka: Southampton Football Club.
Kesebelasan yang berasal dari kawasan pesisir selatan Inggris ini sejak dulu dikenal sebagai penghasil pemain-pemain hebat, baik karena akademi yang mereka miliki, maupun jaringan scouting yang baik. Sejak kembalinya mereka ke Premier League pada musim 2012/2013. Southampton mampu berjalan ke arah yang benar.
Meskipun demikian, banyak yang menyayangkan keputusan direksi Southampton untuk menjual pera pemain andalannya. Terbukti, meskipun berhasil mempertebal pundi-pundi klub, The Saints kini nampak kesulitan menembus papan tengah seperti beberapa musim lalu.
Dan pada laga ini, akan ada sedikit perasaan nostalgia, baik antara pelatih, pemain, maupun fans Southampton yang menyaksikan laga final Liga Champions musim ini. Siapa saja mereka?
Pelatih: Mauricio Pochettino (Spurs)
Kedatangan Pochettino pada Januari 2014 untuk menggantikan Nigel Adkins, terbukti mampu mengangkat performa Saints dari papan bawah. Bahkan pelatih kewarganegaraan Argentina tersebut hanya mengalami 5 kekalahan saja (2 kandang, 3 tandang). Di Akhir musim 2013/2014, Southampton mampu selamat dari jurang degradasi dengan finis di urutan 14 klasemen.
Selama menangani Saints, tangan dingin Pochettino mampu memberikan pengaruh yang besar bagi klub yang saat itu baru semusim promosi dari Divisi Championship. Southampton mampu duduk di peringkat ke-8 klasemen akhir Premier League 2014/2015.
Pochettino dipuji oleh banyak pandit sepakbola karena fokusnya dalam mengembangkan pemain lokal dari akademi muda klub dan berani untuk mempromosikan pemain muda ke dalam tim inti.Hal itu pula yang membuat sosok murid kesayangan Marcelo Bielsa ini direkrut Tottenham Hotspur untuk musim 2014/2015.
Pencapaiannya bersama Spurs melaju ke final membuat dirinya berpeluang menjadi pelatih Argentina ketiga yang memenangi gelar Liga Champions setelah Luis Carniglia dan Helenio Herrera di awal era 60-an.
Virgil van Dijk (Liverpool)
Kontribusi Virgil untuk membawa Celtic memenangi double trophy dan terpilih di dalam PFA Scotland Team Of the Year saat itu bersama Celtic membuat Southampton merekrutnya pada musim 2015/2016. Kala itu Virgil adalah dutch-connection yang dibawa oleh pelatih baru mereka, Ronald Koeman.
Kemampuan menangani bola-bola atas dan juga kekuatan fisiknya membuat lini belakang Southampton sulit ditembus. Kerjasama dirinya dengan pemain lain seperti Jose Fonte, Ryan Bertrand, dan Cedric Soares bisamembuat Southampton menjadi tim peringkat ke-3 dengan kebobolan paling sedikit, yakni 41 gol.
Virgil bermain selama 3 musim bagi The Saints dan sempat memperkuat Southampton untuk berlaga di kompetisi Europa League musim 2016/2017. Kapten Southampton ini akhirnya meninggalkan St. Mary stadium menuju Anfield pada bursa transfer musim dingin 2018. Ia menjadi pemain belakang termahal dunia dengan nilai transfer 75 juta paun.
Dengan kontribusinya sejak berseragam Liverpool, tentu penggemar Southampton pernah bangga memiliki seorang Virgil.
Toby Alderweireld (Spurs)
Mungkin banyak yang lupa kalau seorang Toby Alderweireld pernah menjadi bagian dari Southampton. Ya, Toby memang tidak lama memperkuat kubu The Saints. Saat itu ia datang dengan status pinjaman dari Atletico Madrid selama musim 2014/2015.
Sekilas kalian pasti mengira bahwa Toby bereuni dengan Pochettino di Spurs, padahal tidak. Saat memperekuat Southampton, bek timnas Belgia ini dilatih oleh Koeman. Penampilan Toby yang cukup impresif selama berseragam The Saints lengsung menempatkan dirinya ke dalam starting XI.
Southampton pernah menebus klausul pembelian senilai 7 juta euro kepada Atletico Madrid, namun saat itu Saints harus gigit jari karena Spurs menebusnya dengan uang yang lebih besar, 11 juta euro.
Sepertinya Southampton akan semakin kesal jika ternyata Toby meraih trofi Liga Champions.
Dejan Lovren (Liverpool)
Lovren adalah salah satu dari gerbong pemain Southampton yang tiba di Liverpool pada musim 2014/2015. Penampilan apiknya selama berseragam merah-strip-putih kala itu menjadikannya salah satu pemain belakang paling berprospek hingga masuk ke dalam daftar 50 pemain terbaik Eropa berdasarkan penampilan di lapangan versi Bloomberg Sports di 2013.
Pemain berkebangsaan Kroasia ini hanya tampil semusim bersama Southampton. Dibawah arahan pelatih Mauricio Pochettino saat itu, kehadiran Lovren sangat vital di lini belakang Saints. Ia tampil dalam 31 laga di ajang liga dan menghantarkan posisi Saints ke papan tengah.
Bersama Adam Lallana dan Rickie Lambert, kala itu Lovren digadang-gadang menjadi solusi rapuhnya lini pertahanan Liverpool. Namun, performa Lovren yang angin-anginan lah yang membuat Liverpool lagi-lagi memboyong salah satu bek terbaik mereka, Virgil van Dijk.
Victor Wanyama (Spurs)
Gelandang paling underrated adalah gambaran yang tepat untuk mengungkapkan sosok Victor Wanyama. Peran penting di lini tengah Southampton dalam kurun 2013 hingga 2016. Bergabungnya Wanyama bersama Southampton membuat dirinya menjadi pemain berkebangsaan Kenya pertama yang berlaga di Premier League.
Saat Southampton ditukangi Pochettino, Wanyama belum terlalu menunjukkan potensi maksimalnya akibat terkendala cedera. Dibawah arahan pelatih Southampton selanjutnya, Ronald Koeman, pemain yang direkrut dari Celtic ini bertransformasi menjadi gelandang yang tak tergantikan.
Kapten timnas Kenya ini akhirnya meninggalkan Southampton dan bereuni dengan Mauricio Pochettino dengan catatan 97 laga dan menghasilkan 4 gol selama memperkuat Saints.
Adam Lallana (Liverpool)
Pemain Inggris campuran Spanyol ini adalah salah satu nama yang paling banyak menyita perhatian publik sepakbola Inggris karena keberhasilannya melesat bersama Southampton. Peran ofensif di lini tengah The Saints juga membuat namanya masuk ke dalam daftar panggil skuat Three Lions.
Lallana mencatatkan 235 penampilan dan 48 gol selama memperkuat Southampton dalam kurun 2006 hingga 2014. Lallana banyak membuat torehan spektakuler, diantaranya menyamai rekor legenda Saints, Matt Le Tissier sebagai pemain tengah yang mampu mencetak lebih dari 20 gol.
Bersama rekannya, Luke Shaw, pemain binaan akademi Bournemouth ini masuk ke dalam PFA Team of The Year 2014. Lallana akhirnya memutuskan untuk mencari peruntungan baru di Liverpool pada musim 2014/2015.
Dengan semakin sedikitnya waktu bermain bersama Juergen Klopp di Liverpool, akan menjadi manis bila Lallana kembali ke Southampton suatu hari nanti dengan pengalaman Liga Champions-nya.
Sadio Mane (Liverpool)
Sadio Mane adalah salah satu kunci dari tajamnya lini serang Liverpool di bawah asuhan Klopp. Pemain timnas Senegal ini sebenarnya sudah menunjukkan potensinya kala masih merumput di stadion St Mary’s.
Karena penampilan gemilangnya semasa berseragam Red Bull Salzburg, Southampton merekrutnya di musim 2014/2015 pasca hengkangnya pemain kunci mereka di lini serang seperti Lallana dan Lambert. Tak butuh lama bagi Mane untuk beradaptasi di iklim sepakbola Inggris.
Di musim debutnya bersama Southampton, Mane mamu mencetak 10 gol dari 30 penampilannya di Premier League. Musim 2014/2015 pula yang meroketkan namanya berkat mencetak 3 gol dalam 2 menit pada laga melawan Aston Villa dan mematahkan rekor Robbie Fowler sebagai pemain yang mencetak trigol tercepat di Premier League.
Raihannya menjadi top-scorer Southampton di musim 2015/2016 dengan 15 gol membuat Liverpool menebusnya dengan harga yang cukup mahal, 35 juta paun yang juga mencetak rekor pemain Afrika termahal.
Alex Oxlade-Chamberlain (Liverpool)
Sebenarnya nama Alex Oxlade-Chamberlain tidak banyak diingat publik sebagai pemain Southampton, mengingat Alex tidak lama memperkuat Southampton di usia profesionalnya. Alex adalah salah satu wonderkid yang digadang-gadang menjadi masa depan timnas Three Lions.
Alex memulai debut bersama Saints di usia sangat muda, 16 tahun 199 hari, terpaut dibawah pendahulunya, Theo Walcott yang juga binaan akademi Saints.
Penampilan profesionalnya selama satu musim pada 2010/2011 mampu menghantarkan Southampton meraih posisi runner-up Championship dan berhak berpartisipasi di Premier League.
Sayangnya, Alex akhirnya mengikuti jejak sang pendahulunya, Theo Walcott ke Arsenal pada 2011 silam.
Setelah 6 musim berseragam Arsenal, ia akhirnya pindah ke Liverpool pada musim 2017/2018. Walaupun akhirnya karier Alex terganggu oleh cedera kambuhan, bersama Liverpool musim ini ia berpeluang menjadi pemain lulusan Southampton yang memenangi Liga Champions, setelah Gareth Bale.
Paulo Gazzaniga (Spurs)
Mungkin inilah nama paling beruntung di antara nama-nama di atas. Selama kariernya di Inggris, Paulo Gazzaniga belum pernah menjadi pilihan utama. Kiper timnas Argentina ini bergabung ke Southampton sejak 2012 dari klub League One, Gillingham. Ia saat itu menjadi pelapis dari kiper utama, Fraser Forster dan Artur Boruc.
Kedatangan Pochettino pada 2014 membuat posisi Gazzaniga sedikit dipertimbangkan, karena kebetulan ia sekampung dengan Pochettino di Argentina, tepatnya di kota Murphy.
Selama empat musim berseragam Southampton, Gazzaniga turun sebanyak 21 laga saja. Ia kemudian dipinjamkan ke Rayo Vallecano sebelum akhirnya bereuni dengan Pochettino di Tottenham Hotspur pada awal musim 2017/2018.
Sebenarnya ada satu lagi nama yaitu Nathaniel Clyne, mantan bek Southampton yang pindah ke Liverpool pada musim 2015/2016. Namun karena statusnya sedang dipinjamkan ke AFC Bournemouth, maka Clyne tidak akan mendapat medali final Liga Champions.
Dengan hadirnya nama-nama di atas, tentu sajian partai final Liga Champions nanti akan lebih menarik. Mari kita lihat, akankah nantinya akan ada reuni kecil-kecilan di stadion Wanda Metropolitano, Madrid?