Deutsche Demokratische Republik-Oberliga adalah tingkat teratas kompetisi sepakbola di Jerman Timur pada periode 1948-1991. Kompetisi ini memiliki sejumlah kesebelasan elit seperti SC Wismut Karl-Marx-Stadt, Berliner FC Dynamo, Hansa Rostock, Dynamo Dresden, FC Union Berlin, sebelum disatukan dalam Bundesliga.
Lalu, ke mana tim-tim elite tersebut? Apa yang menyebabkan jauhnya kualitas eks ex-DDR Oberliga untuk bersaing di Bundesliga saat ini?
Jerman Timur sendiri memiliki prestasi yang kalah superior dibanding Jerman Barat. Prestasi terbaik Jerman Timur adalah medali emas Olimpiade 1976 di Kanada. Selain itu, Jerman Timur bahkan tidak pernah lolos Piala Eropa meski sempat lolos sekali ke Piala Dunia 1974. Bandingkan dengan Jerman Barat yang memenangi 4 Piala Dunia dan 3 Piala Eropa.
Kesebelasan di Jerman Timur bisa dibagi menjadi empat kategori: (1) The Dynamos, (2) The Vorwarts, (3) Tanpa Afiliasi, (4) Betriebssportgemeinschaft.
The Dynamos adalah kesebelasan yang didirikan atau memiliki keterkaitan dengan kepolisian. Contohnya adalah Dynamo Dresden dan Dynamo Berlin. The Vorwärts didirikan oleh Departemen Pertahanan. The Vorwarts menguasai peringkat lima besar di DDR Oberliga. Kesebelasan yang terkenal adalah Chemnitzer Fußballclub e.V. dan FC Vorwärts Berlin.
Ada pula kesebelasan tanpa afiliasi yang berdiri tanpa kepentingan politik maupun serikat pekerja dan biasanya oleh warga sipil. Contohnya adalah FC Carl Zeiss Jena. Sementara itu, Betriebssportgemeinschaft adalah kesebelasan yang didirikan oleh perusahaan yang dimiliki pemerintah. Hal ini ditujukan untuk memfasilitasi pekerjanya untuk menghabiskan waktu di akhir pekan dengan sepakbola. Contohnya adalah Rotation Babelsberg, Turbine Potsdam.
Kesulitan yang membuat tim dari Jerman Timur kesulitan untuk bersaing di antaranya adalah sepakbola memang bukan menjadi olahraga favorit bagi warga Jerman Timur. Memang, sepakbola memiliki rataan penonton yang tidak sedikit kala itu. Namun, karena terlalu banyak polemik politik dan memengaruhi sepakbola, menjadikan warga Jerman Timur sedikit jengah dengan hal itu.
Menurut Mike Dennis dalam Behind the Wall: East German football between state and society, mengungkapkan saking jengahnya warga dengan sepakbola, mereka berniat memboikot pertandingan. Namun paham sosialis yang cukup kuat, mencegah mereka melakukan itu.
Di sisi lain, olahraga yang menyumbang prestasi justru renang yang menyumbangkan banyak medali dalam kancah Olimpiade maupun turnamen renang internasional. Nama-nama seperti Ute Krause, Roland Matthes, dan Kristin Otto, jauh lebih dikenal dibanding Thomas Doll, Bernd Bransch, atau Joachim Streich.
Selain itu, kesebelasan dari Jerman Timur menerapkan sistem Leistungssteigerung durch Konzentration, atau peningkatan kinerja melalui sentralisasi, sehingga banyak klub yang berpindah home base. Singkatnya, ketika sebuah tim semakin baik, tim tersebut akan memiliki home base sedekat mungkin dengan ibu kota.
Sebagai contoh, Dynamo Dresden menjadi tim unggulan. Untuk mencapai juara, mereka berpindah ke Berlin dan mengganti nama menjadi Dynamo Berlin. Selain penggantian home base, penggantian nama juga sering dilakukan seperti juara 3 kali, SC Wismut Aue, yang mengganti namanya dengan FC Wismut Karl-Marx-Stadt, hanya karena berpindah kandang sejauh 3 kilometer.
Memang tidak semua kesebelasan melakukan hal ini. Namun pergantian home base dan nama memang sering dilakukan, sehingga membuat suporter sepakbola kemudian bingung untuk memilih tim mana yang harus didukungnya.
Aksi suap menyuap wasit dan perangkat pertandingan pun sering terjadi. Untuk mendapatkan hasil yang mereka inginkan, beberapa pertandingan bahkan sering diumumkan pemenangnya bahkan sebelum pertandingan berakhir. Meskipun tidak ada perjudian, gengsi kedaerahan sangat dijunjung dalam sepakbola (meskipun akhirnya berpindah kandang).
Hal lain yang membuat Jerman Timur kalah bersaing adalah kebiasaan aneh untuk membawa sayuran masuk ke ruang ganti, karena memang pertanian menjadi komoditas dari Jerman Timur. Bahkan sebelum pertandingan mereka sering membawa wortel, selada, dan lobak, sehingga mengacaukan fokus terhadap pertandingan. Ini yang membuat muncul istilah “turnip head”, istilah yang digunakan The Guardian untuk menekan Graham Taylor pasca kegagalan Inggris di Piala Dunia 1994.
Ketika bersatunya Jerman Barat dan Jerman Timur dan secara resmi menjadikan Bundesliga menjadi divisi tertinggi, kebiasaan yang kurang baik tersebut terus dibawa sehingga membuat Jerman Timur menjadi sulit bersaing di Bundesliga. Baru pada medio 2000-an muncul secercah harapan ketika beberapa kesebelasan membuat terobosan. Mereka mencoba lebih profesional dan membuat basis suporter.
Salah satu contohnya adalah Hansa Rostock dan Eregie Cottbus yang sempat bertahan di Bundesliga dan berjuan di papan tengah meski akhirnya terdegradasi. Sulitnya investor untuk masuk ke Jerman Timur yang masih dipengaruhi paham sosialis, juga memengaruhi perkembangan tim yang sulit bersaing di Bundesliga.
Sebelum membuat RB Leipzig, sebenarnya produk minuman energi, Red Bull, ingin berinvestasi di FC 1 Union Berlin dan menginginkan nama stadion Stadion An der Alten Försterei berubah menjadi Red Bull arena.
Namun hal ini secara vokal ditentang oleh seluruh supporter dan penduduk Berlin bagian timur. Soalnya, mereka “tidak akan menjual kebanggan dan jiwa mereka pada produk kapitalis”. Akibatnya, Red Bull lebih memilih mengakuisisi SSV Markranstädt, yang berlaga di divisi lima, dan mengubahnya sebagai kesebelasan yang ditakuti di Bundesliga.
Ada secercah harapan bagi tim tradisional dari pecahan Jerman Timur untuk bersaing kembali ke Bundesliga. Selain RB Leipzig, nama FC Union Berlin, yang musim lalu menempati posisi keempat di 2.Bundesliga juga tidak bisa dipandang remeh. Perkembangan lain tim-tim dari Jerman Timur juga cukup positif. Tim tradisional lain, Erzgebirge Aue dan Dynamo Dresden juga semakin berkembang pesat. Bahkan, musim lalu Dynamo Dresden finish diperingkat kelima 2.Bundesliga di bawah Union Berlin.
Apakah kesebelasan eks Jerman Timur bisa kembali berjaya? Atau malah tak berdaya?