Bhayangkara FC Juara dan Mengapa Liga 1 Semestinya Segera Berakhir

Kemenangan 3-1 atas Madura United membuat Bhayangkara FC selangkah lagi dipastikan menjuarai Liga 1. Satu-satunya yang masih mengganjal Bhayangkara FC adalah status banding Mitra Kukar yang hingga kini belum diputuskan.

Banyak penggemar yang merasa kalau kompetisi Liga 1 ini jauh menurun kualitasnya ketimbang kompetisi sebelumnya. Salah satu keputusan yang paling krusial adalah soal PT Liga Indonesia Baru (LIB) sebagai operator kompetisi memberikan poin gratis untuk Bhayangkara karena Mitra Kukar dianggap menurunkan pemain ilegal.

Pemberian dua poin tambahan buat Bhayangkara jelas merugikan rivalnya dalam pemburuan gelar juara, Bali United. Hal ini juga disindir oleh kapten PSM Makassar, Hamka Hamzah, yang menganggap timnya dan juga Bali United mati-matian untuk bisa menang di Mattoanging. Namun, kerja keras mereka justru dicoreng oleh keputusan PT LIB yang menguntungkan Bhayangkara.

Sejatinya, sejumlah masalah di Liga 1 sudah terlihat sejak pertengahan kompetisi. Permasalahan ini memuncak di akhir kompetisi karena “anehnya” keputusan yang dibuat oleh PT LIB dan terkesan menguntungkan suatu klub. Berakhirnya Liga 1 akan sangat disyukuri dan bisa dijadikan pelajaran untuk pengelola liga selanjutnya untuk tak mengulangi kesalahan.

Soal Sissoko dan Miskomunikasi

Pada 3 November 2017, Mitra Kukar menjamu Bhayangkara FC. Dalam pertandingan tersebut, Mohamed Sissoko diturunkan dan membantu Naga Mekes menahan imbang 1-1 kesebelasan milik kepolisian ini.

Namun, masalah muncul karena Bhayangkara melancarkan protes karena menganggap Sissoko adalah pemain ilegal. Dasarnya adalah surat Komisi Disiplin yang memberikan larangan dua pertandingan buat pemain yang pernah memperkuat Liverpool dan Juventus tersebut, termasuk pertandingan melawan Bhayangkara.

Protes ini didengar oleh Komisi Disiplin yang dengan cepat memberikan sanksi 100 juta untuk Mitra Kukar dan pemberian kemenangan 3-0 untuk Bhayangkara. Keputusan ini sendiri baru keluar pada 5 November 2017 atau dua hari kemudian.

Kemenangan atas Mitra Kukar membuat Bhayangkara mendapatkan bonus tambahan dua poin. Hal ini jelas memengaruhi peta perburuan gelar. Pasalnya, Bhayangkara tinggal membutuhkan satu kemenangan atas Madura United untuk memastikan gelar. Kemenangan membuat poin mereka meskipun bisa disamai Bali United, tapi Bhayangkara unggul head to head.

Sebelumnya, kala melawan Borneo FC, Sissoko diganjar kartu merah yang otomatis membuatnya dilarang bermain sebanyak satu pertandingan. Mitra Kukar pun tak menurunkan Sissoko kala menghadapi Persib Bandung.

Sehari setelah pertandingan melawan Persib, Komdis mengirimkan surat bahwa Sissoko mendapatkan hukuman tambahan berupa denda 10 juta dan disanksi dua pertandingan. Namun, dilansir dari Bolasport, surat tersebut masuk ke CEO Mitra Kukar lewat email. Padahal, urusan surat menyurat biasanya dikirimkan ke dua alamat surel yang dipegang sekretaris tim dan ini sudah diketahui PT LIB.

Karena tidak mengetahui ada email masuk, tim memutuskan untuk menurunkan Sissoko di pertandingan melawan Bhayangkara. Apalagi, nama Sissoko tidak ada dalam Nota Larangan Bermain yang dikeluarkan PT LIB. Ini yang menjadi dasar dan penguat mengapa Mitra Kukar menurunkannya.

Hal ini tentu menjadi pertanyaan. Media Officer Mitra Kukar juga mempertanyakan mengapa surat sanksi tersebut tidak diteruskan oleh PT LIB ke klub, karena PT LIB-lah yang tahu alamat surel yang biasa digunakan Mitra Kukar. Dipertanyakan pula mengapa tidak ada nama Sissoko dalam Nota Larangan Bermain yang membuat klub seperti mendapatkan persetujuan.

Kalau komunikasi di tingkat operator saja tidak sinkron, masih layakkah mereka menggerakkan kompetisi sebesar Liga Indonesia?

Soal Wasit Asing

Di awal musim banyak kesebelasan yang protes soal wasit, utamanya hakim garis. Kalau melihat tayangan ulang, hakim garis memang kerap membuat keputusan salah dalam hal penentuan offside. Tidak sedikit yang merasa kalau hakim garis ini kurang paham dengan aturan offside yang “baru” di mana pemain tidak dianggap offside sepanjang bola sudah ditendang dan dia bukan pemain terakhir. Atau bisa jadi karena fisik hakim garis yang tidak prima untuk mengikuti bek sepanjang 90 menit pertandingan.

Akhirnya digulirkanlah wacana penggunaan wasit asing yang efektif digunakan sejak putaran kedua. Di awal-awal, kiprah wasit asing dipuji. Namun, lambat laun mereka mulai menunjukkan kelemahannya.

Hal ini sempat membuat murka Presiden Borneo FC Nabil Husein. Menurut laporan wasit, Nabil melakukan intimidasi dan memberikan protes keras. Hal ini pun yang menjadi dasar Komisi Disiplin memberikan sanksi empat pertandingan tanpa penonton dengan radius 100 kilometer dari Segiri, Samarinda.

Yang terbaru adalah saat wasit Shaun Evans mendengarkan penjelasan hakim garis yang tidak mengesahkan gol Persib Bandung ke gawang Persija Jakarta. Padahal, bola dengan jelas sudah menyentuh dan menggetarkan jaring gawang.

Sehebat-hebatnya wasit, dia tetap akan membuat kesalahan. Namun, yang mesti diperhatikan adalah bagaimana federasi yang dalam hal ini menaungi wasit, mampu meminimalisasi kesalahan tersebut.

PSSI bisa belajar dari Spanyol yang selalu mengevaluasi wasit setiap dua bulan sekali. Evaluasi tersebut berguna untuk memantau dan menajamkan pengetahuan wasit soal Rule of the Game juga meningkatkan fisik wasit. Wasit yang tak lolos dalam evaluasi harus didegradasi ke kompetisi yang lebih rendah.

Sistem promosi-degradasi ini juga diterapkan secara ketat di Inggris. Ini yang membuat mengapa wasit di Premier League paling muda berusia 30-an tahun. Pasalnya, wasit mesti mengikuti jenjang karier yang amat panjang yang bisa mencapai sembilan tahapan. Sekalinya membuat kesalahan fatal, wasit langsung diturunkan yang berpengaruh pada pendapatannya.

Soal wasit ini mestinya ada komisi khusus yang langsung berhubungan dengan Liga. Penetapan wasit dan pengaturannya dilakukan oleh operator kompetisi. Federasi dalam hal ini hanya bertugas menyediakan wasit yang sudah memiliki sertifikasi tertentu untuk bisa memimpin pertandingan.

Sanksi

Musim ini, jumlah sanksi yang diberikan oleh komisi disiplin memang terbilang fantastis. Setiap pekan, Komdis seperti panen uang yang didapatkan karena sanksi.

Hal ini memang tidak salah karena itu artinya klub sudah melanggar peraturan yang telah dibuat. Namun, masalahnya, apakah sanksi dalam bentuk denda ini bisa memberikan efek jera buat pelanggarnya?

Contohnya adalah memberikan sanksi bagi suporter yang menyalakan flare. Kalau yang menyalakan flare adalah tim tamu, maka tim tamu yang didenda.

Pertanyaannya sekarang apakah denda dalam bentuk uang bisa memberi efek jera? Mengapa sanksinya bukan pertandingan tanpa penonton, misalnya, sehingga penonton berpikir ulang agar mereka tak merugikan klub.

Klub juga mestinya dibina soal mengapa flare dan smoke bomb tidak boleh dibawa ke stadion. Lambat laun, kalau logis, klub juga akan memperketat penjagaan di pintu masuk, sehingga suporter tak akan bisa membawa benda-benda yang dilarang.

Liga seolah begitu keras pada klub yang melanggar dengan langsung memberi sanksi. Salah satu yang protes adalah Manajer Persib, Umuh Muchtar, yang disanksi tak boleh aktif di sepakbola Indonesia selama enam bulan. Dilansir dari Tribun, Umuh mengecam sanksi dari Komdis dan berargumen kalau seharusnya pihak yang bersalah dipanggil untuk didengar keterangannya. Baru setelah itu, keputusan dikeluarkan.

Pernyataan pria yang kerap disapa Wak Haji ini memang cukup beralasan. Yang namanya sidang mestinya menghadirkan pihak yang bersalah untuk didengarkan keterangan yang setidaknya bisa meringankan, karena Komdis bukanlah Tuhan yang bisa berlaku adil dan menentukan segalanya.

***

Apa yang terjadi di Liga 1 memang kerap membuat emosi naik turun. Seringkali persoalannya bukan karena rivalitas di atas lapangan, tapi justru ada di pengelola kompetisi itu sendiri.

Untungnya bulan ini kompetisi akan segera berakhir dan ribut-ribut soal sepakbola Indonesia setidaknya bisa diredam untuk beberapa bulan. Di jeda kompetisi, sebaiknya PSSI sebagai induk tertinggi sepakbola Indonesia melakukan kajian soal format kompetisi terutama dalam hal pengelola liga.

Pasalnya, kredibilitas operator kompetisi amat diperlukan agar tidak ada nada-nada sumbang kalau PSSI atau operator meng-anak-emas-kan kesebelasan tertentu. Ini akan membuat persaingan menjadi tidak sehat karena klub-klub lain akan merasa “dicurangi” tiap ada keputusan dari operator ataupun wasit yang dirugikan.

Pandangan negatif ini semestinya bisa diminimalisasi agar kompetisi sepakbola Indonesia jelas juntrungannya; apakah akan menjadi industri atau sekadar tempat adu gengsi.