Aljazair memenangi Piala Afrika untuk kedua kalinya setelah menang 1-0 atas Senegal dalam final yang digelar di Kairo. Kemenangan Aljazair terbilang aneh mengingat mereka hanya melepaskan satu tendangan sepanjang pertandingan, yang menghasilkan gol satu-satunya buat Riyad Mahrez dan kolega.
Tendangan Baghdad Bounedjah pada menit kedua, memantul mengenai kaki Salif Sane. Bola pantulan pun melambung melampaui kiper Senegal, Alfred Gomes. Gol tersebut menjadi satu-satunya gol yang terjadi dalam pertandingan yang digelar di Cairo International Stadium.
Buat Aljazair ini adalah gelar Piala Afrika kedua mereka setelah pertama kali meraihnya pada 1990. Sementara Senegal, belum pernah memenangi kompetisi ini sekalipun.
Secara statistik, Senegal tampil lebih perkasa. Mereka memiliki 62 persen penguasaan bola dengan melepaskan 12 tembakan, meski hanya tiga yang mengarah ke gawang. Sadio Mane dan kolega sebenarnya berkesempatan menyamakan kedudukan setelah diberikan tendangan penalti pada babak kedua. Namun, tendangan itu urung dilakukan setelah melalui uji VAR.
Saat peluit tanda pertandingan berakhir dibunyikan, para pemain Senegal tak bisa beranjak dari lapangan dengan air mata yang menetes di pipi mereka; termasuk penyerang Liverpool, Sadio Mane, yang terlihat begitu murung.
“Tanpa para pemain, aku bukanlah apa-apa. Mereka adalah orang yang penting. Aku kira staf memainkan perannya dalam memandu para pemain tetapi mereka menerapkan instruksi dengan sangat baik,” kata Pelatih Aljazair, Djamel Belmadi.
Dalam pertandingan tersebut hadir pula dua bintang Premier League yang bersaing gelar juara musim lalu: Mahrez bersama Manchester City dan Mane untuk Liverpool. Namun, keduanya gagal memberikan hal positif untuk timnya masing-masing.
Aksi ofensif Mahrez terbilang tak banyak karena pendekatan Aljazair yang bertahan. Di sisi lain, Sane sebagai pemain yang ditakuti para penggemar Aljazair karena sentuhannya, kelihatan kelelahan, setelah musim yang panjang bersama klub dan negaranya.
Mohamed Qoutb dari BBC, menulis bahwa Aljazair amat beruntung bisa mencetak gol pertama dari bola yang dipantulkan Bounedjah, dan bisa memanfaatkan keberuntungan mereka. Qoutb menganggap lini pertahanan Aljazair begitu kuat sepanjang turnamen ini, sehingga ketika Senegal berusaha membuat peluang, Sane dan kolega menjadi kesulitan.
“Satu gol sudah cukup bagi Aljazair untuk memenangi turnamen meski tak menampilkan penampilan terbaik mereka di final. Senegal amat dekat kali ini tetapi mereka membutuhkan keberuntungan dan penyelesaian akhir yang lebih klinis, dan mereka tak menemukannya,” tulis Qoutb.
Disambut Suka Cita
Keberhasilan Aljazair tersebut disambut sukacita oleh para penggemar sepakbola di Aljazair. Ketika peluit tanda pertandingan berakhir dibunyikan, letupan kembang api saling bersahutan di langit Aljazair. Para penggemar yang mayoritas di antara mereka mengenakan jersey kebanggaan, langsung berparade di tengah kota.
Setengah dari populasi Aljazair berusia di bawah 30 tahun. Banyak dari mereka yang bahkan belum lahir saat Aljazair menjuarai Piala Afrika pertama mereka pada 1990. Ini yang membuat keberhasilan skuat asuhan Djamel Belmadi ini merupakan momen besar.
Pertandingan final ini menyedot perhatian penduduk Aljazair. Banyak dari mereka yang menyelenggarakan nonton bareng di kafe dan lingkungan mereka kecil-kecilan. Acara terbesar dilangsungkan di Stadion 5 Juli, di mana nonton bareng dipusatkan di sana. Sementara itu, ribuan lainnya menonton pertandingan di Stadion Ouagnouni, yang memang menjadi tempat nonton bareng sepanjang Piala Afrika 2019.
Selain di negaranya sendiri, diaspora Aljazair di Inggris, juga melakukan perayaan di jalanan di London. Mereka berkumpul di Trafalgar Square sembari menyalakan suar. Di Finsbury Park dan Old Kent juga terlihat para penggemar Aljazair yang menyalakan kembang api dan suar.