Jauh sebelum Denmark melahirkan pemain berbakat seperti Christian Eriksen, negara berjuluk Danish Dynamite itu telah lebih dulu memiliki salah satu pemain paling elegan dalam sejarah sepakbola, yaitu Michael Laudrup.
Terlepas dari fakta tersebut, dikutip dari The Guardian, ada sebuah teori kecerdasan kolektif pada prinsip “wisdom of the crowd” yang telah menyatakan bahwa jawaban pengakuan rata-rata dari sekelompok individu akan melebihi satu ranah bahasan. Di antaranya adalah masalah kesadaran lingkup, estimasi kuantitas dan pengetahuan umum dari suatu objek. Hal ini pertama kali diperdebatkan oleh Aristoteles.
Meskipun terlihat begitu rumit, tapi tampaknya Michael Laudrup berhasil menyangkalnya. Ditambah lagi jika kurangnya pengakuan internasional pada Laudrup, berhasil mengikis kepercayaan pada prinsip “wisdom of the crowd” itu sendiri. Pasalnya, di antara tahun 1989 dan 1996, eks pesepakbola asal Denmark itu sempat menjadi salah satu pemain terbaik di daratan Eropa. Namun, jurnalis di Eropa tidak memberinya pengakuan dan bahkan penghargaan sekalipun kepada Laudrup. Ia pun juga tidak pernah mencapai posisi tiga besar dalam nominasi raihan pemain terbaik Ballon d’Or.
Hal tersebut sempat menjadi parodi mutlak yang diklaim oleh Pep Guardiola. Ia mengatakan, “Saya tidak percaya jika dia belum pernah memenangkan gelar sebagai pemain terbaik di dunia. Terlihat seperti parodi bagi saya.”
Michael Laudrup bukan hanya seorang pemain gelandang serang yang mampu bermain di segala penjuru lapangan, tapi ia adalah pesepakbola yang selalu bermain total di bawah asuhan Johan Cruyff di Barcelona. Ia mungkin bisa disebut sebagai pemain Eropa paling elegan sepanjang masa. Setelah Cruyff, tentu saja. Di sisi lain, Laudrup pun berhasil dinobatkan sebagai Pemain Terbaik Denmark untuk pertama kalinya ketika usianya masih 18 tahun. Ia lalu pindah ke Juventus dari klub Denmark bernama Brondby pada 1983. Namun, namanya melonjak kala ia bergabung dengan Liverpool.
“Saya pikir Liverpool pada waktu itu adalah salah satu dari tiga tim teratas di Eropa,” kenang Laudrup. “Jadi, mereka berpikir bahwa Dane muda akan berekspektasi dan mengatakan ‘tentu saja Laudrup akan bertahan di Anfield’, tapi saya tidak melakukannya. Dua minggu kemudian, saya bergabung dengan Juventus.”
Sewaktu di Italia, Laudrup tidak sepenuhnya berhasil. Aturan pemain asing di Serie A sempat membuatnya dipinjamkan ke Lazio selama dua musim (tanpa sepengetahuannya), dan Laudrup mengalami cedera dalam tiga musim terakhirnya di sana.
Pada 1989 ia bergabung dengan Cruyff’s Dream Team dan menjadi salah satu pilar kesuksesan Barcelona yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam masa lima tahunnya di Camp Nou, ia memenangkan empat gelar liga, Copa del Rey, dua Piala Super Spanyol, Piala Super UEFA dan Piala Eropa.
Ketika Laudrup mengumumkan bahwa ia akan meninggalkan Barcelona setelah mengetahui Cryuff tidak lagi menjadi pelatihnya pada 1994, Guardiola dikabarkan sangat kecewa padanya. Kabar tersebut sempat membuatnya menangis dan memohon kepada Laudrup agar mengubah pikirannya. Ia mengungkapkan jika ia telah belajar segala hal tentang sepakbola dari Laudrup, sejak menjadi rekan satu tim selama berada di Camp Nou.
Michael Laudrup lalu bergabung dengan rival Barcelona, Real Madrid. Ia pun langsung menjadi pemain yang paling berpengaruh dalam merebut kembali gelar La Liga dari tim Catalonia. Meski hanya bermain di 62 pertandingan liga untuk Madrid, pada 2002, Laudrup terpilih sebagai pemain terbaik ke 12 dalam sejarah klub. Pada 1999, ia juga sempat dianugerahi gelar pemain asing terbaik sepakbola Spanyol dalam 25 tahun terakhir.
Sempat terdapat momen mengejutkan mengenai Laudrup. Ketika sedang menikmati makan malam di sebuah restoran mewah di kota pada 1996, dengan seorang temannya, ia mendiskusikan jika dirinya ingin pensiun dari sepakbola dan meninggalkan Spanyol. Saat itu, Laudrup hanya duduk beberapa meja disebelah Raja Juan Carlos I. Raja Spanyol itu pun menimpalnya setelah mendengar percakapan tersebut.
“Itu kabar baik. Saya akan menjadi satu-satunya Raja di Madrid lagi,” pungkasnya membisikan telinga Laudrup.
Pernyataan sang Raja benar-benar menjadi tanda persetujuan bagi Laudrup. Hal itu adalah ‘teriakan yang berani’ untuk memutuskan pensiun, tapi mungkin, tidak ada eksponen yang lebih baik untuk menyampaikan kemampuannya dalam menggiring bola di atas lapangan, dan Laudrup sudah menjadi yang terbaik di generasinya.
Teknik memukau Michael Laudrup
Dalam permainan modern, dribbling adalah keterampilan yang biasa dilakukan, dan pastinya dinikmati oleh setiap pesepakbola. Gelandang serang, selalu ‘menenun keterampilannya’ melalui pertahanan dengan bahunya, dan dorongan bola yang cepat dari satu sisi ke sisi yang lain. Lionel Messi adalah contoh yang paling terkenal saat ini. Namun Laudrup, berhasil menguasai seni dengan gaya yang sangat berbeda. Ia mengemas keterampilannya dengan sangat berbeda, yaitu tanpa berlari dan melalui variasi ditambah teknik murni. Saat melompati dribble, Laudrup mungkin akan terlihat kehilangan kemampuan untuk melepaskan diri dari pemain yang menjaganya.
Namun sebaliknya, ia justru selalu mengandalkan waktu. Seperti seorang matador dengan seekor banteng, seorang pesulap dengan tipu muslihat atau komedian dengan lelucon yang ditulis dengan sempurna, Laudrup akan memikat semua itu sebagai harapan yang palsu sehingga mereka yang ingin merebut bola darinya terlihat dapat memprediksi hasil akhir, dan dengan demikian ia dapat menghindari lawannya tersebut dengan gerakan yang ciamik.
Laudrup akan membuka tubuhnya untuk berdiri tegak, dan menunjukkan pada lawannya jika seolah-olah dirinya terlihat seperti mengatakan ‘bola ini untukmu’, tapi saat mereka berkomitmen untuk mengatasi itu, Laudrup dengan seketika menjentikkan bola tersebut dari jangkauan mereka. Sama halnya seperti yang ada pada film The Prestige. Film itu berfokus pada tiga tahap trik ilusionis, yaitu: the pledge, the turn and the prestige. Laudrup bisa melakukan ketiga hal tersebut dengan caranya bermain sepakbola dalam waktu dua detik. Hal itu memiliki efek yang menghancurkan mental lawan.
Sumber: The Guardian