Dahulu kala, kota Pekanbaru pernah masuk dalam jajaran kota-kota sepakbola yang ada di Indonesia. Mengapa demikian?
Di sana, bercokol sebuah klub bernama PSPS Pekanbaru. Memang, jika ditelisik secara sejarah, klub ini tidak memiliki prestasi yang signifikan. Sejak awal pendiriannya pada 1955 hingga masa ketika kompetisi Perserikatan dan Galatama dilebur, PSPS belum pernah mencicipi gelar juara. Masuk Divisi Utama pun susah.
Hingga akhirnya, pada 1994, pergerakan mereka menuju Divisi Utama dimulai. Sempat hampir lolos dalam beberapa kesempatan, akhirnya pada musim 1999/2000, untuk pertama kalinya PSPS mentas di Divisi Utama Liga Indonesia. Saat itu. Divisi Utama adalah level tertinggi kompetisi sepakbola Indonesia.
Seiring bergulirnya waktu, PSPS mulai dikenal publik sebagai salah satu tim sepakbola di Indonesia. Stadion Kaharuddin Nasution yang berlokasi di Rumbai, Pekanbaru, juga jadi stadion yang ditakuti. Ia dianggap angker karena jika bertandang ke sana, kekalahan sudah pasti didapat.
Tim yang memiliki julukan ‘Asykar Bertuah’ (jika diartikan adalah pasukan beruntung) ini juga pernah melakukan sebuah gebrakan sensasional pada 2002-2003 silam. Mereka membentuk skuat bertabur bintang dengan merekrut pemain-pemain kaliber Tim Nasional.
Saat itu ada nama Kurniawan Dwi Yulianto, Bejo Sugiantoro, Aples Tecuari, Hendro Kartiko, hingga Edu Djuanda. Walau sudah bertaburkan bintang, prestasi PSPS nyatanya tidak begitu apik. Pada 2002, Mereka hanya mampu berada di peringkat kelima Wilayah Barat. Pada 2003, mereka hanya berhasil duduk di peringkat kesembilan.
PSPS juga pernah menggebrak pada musim 2009/2010. Berbekal pemain-pemain lokal Riau, dibalut oleh pemain-pemain asing berkualitas macam Herman Dzumafo maupun Banaken Bassoken, PSPS mampu menempati peringkat ketujuh Liga Super Indonesia musim 2009/2010. Saat itu mereka hanya kalah sekali di kandang, yakni dari Persipura Jayapura.
Namun, semua kisah di atas hanyalah sebuah masa lalu yang indah. Di masa kini, PSPS sedang berada jauh di tempat mereka seharusnya berada, yakni di level tertinggi kompetisi sepakbola Indonesia.
***
Selepas FIFA mencabut sanksi untuk PSSI per 2016 silam, PSPS berkompetisi di ajang Liga 2. Jika dirunut, Liga 2 berada di level setara dengan Divisi Utama. Mereka juga sudah berganti nama, tidak lagi PSPS Pekanbaru, melainkan sudah menjadi PSPS Riau. Pergantian ini terjadi pada 2014, dengan tujuan untuk menggapai masyarakat Riau secara keseluruhan.
Pada 2017, PSPS sempat hampir melaju ke Liga 1. Mereka sukses menembus babak 8 besar Liga 2 2017. Namun, mereka gagal bersaing dengan PSIS Semarang. Dalam sebuah laga penentuan di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, mereka hanya mampu bermain imbang lawan PSIS.
Alhasil, hal itu membuat PSPS tetap tertahan di Liga 2. Hingga sekarang, PSPS tidak beranjak ke mana-mana dan masih di Liga 2. Pada gelaran Liga 2 2018, mereka juga tidak bisa berbuat banyak dan tetap gagal lolos ke Liga 1.
Selama kisaran 2017 hingga 2019 ini pula, PSPS mengalami gonjang-ganjing. Manajemen kerap berganti-ganti. Untuk sekarang, tampuk manajemen berada di bawah PT PSPS yang dipimpin Arsadianto Rachman, dengan manajernya bernama Ari Nugroho Arsadianto.
Sebelumnya, PSPS sempat berada di bawah kendali pemilik 3 Naga Academy, Rudi Sinaga. Namun, memasuki musim 2019, kepemilikan PSPS kembali ke tangan Arsadianto yang sebenarnya sudah pernah mundur pada 2018 silam.
Tidak hanya perkara gonjang-ganjing semata, PSPS pun sekarang mengalami masalah keuangan. Tujuh pemain mereka memutuskan untuk hengkang dari PSPS di awal-awal musim Liga 2 2019, bersamaan dengan mundurnya pelatih mereka, Bona Simanjuntak.
Segala kesulitan yang terjadi ini sempat membuat PSPS kelimpungan. Saat ini saja, mereka berada di zona degradasi Liga 2 2019, dengan raihan 6 poin dari 10 pertandingan. Jika tidak melakukan pembenahan dengan segera, PSPS bisa saja terdegradasi ke Liga 3 di akhir musim nanti.
Namun, bukan berarti manajemen PSPS tinggal diam menghadapi soal ini. Dalam sebuah bincang-bincang di kantor Himpunan Kerukunan Tani Indonesia cabang Riau, Kamis (25/7/2019), Ari Nugroho selaku manajer PSPS sudah menyiapkan langkah-langkah agar PSPS bisa merangkak naik.
“Kami juga sudah bicara dengan investor di awal musim, bagaimana kalau mereka investasi nantinya. Jadi kalau nanti mereka investasi bersama kami, akan ada keuntungan yang banyak didapat,” ujar Ari.
“Sudah banyak sih, kita sudah banyak (perusahaan yang diajak untuk jadi sponsor), sudah lebih dari 15 perusahaan yang kita coba (untuk diajak jadi investor/sponsor). 11 perusahaan di Riau, empat perusahaan dari luar Riau,” tambahnya.
Memang, masalah dana ini jadi masalah tersendiri. Tidak adanya dana membuat PSPS kesulitan merekrut pemain berkualitas. Bukan cuma itu, bisa jadi PSPS juga sulit menggaji pemainnya dengan ketiadaan dana ini. Tak heran, Ari begitu gencar untuk mencari sponsor demi menghidupi PSPS.
“Secara business plan (rencana bisnis) ya, memang sudah ada rencananya, cuma kan itu dia kita belum sampai ke sana, masih berkutat di (pembenahan) internal dulu lah,” tegas Ari.
“Ya, kita kalau kondisi tim sehat sih, dua tahun lagi bisa kita naik ke Liga 1. Cuma kan tahun lalu itu kita masih terdesak ya, dengan kondisi yang goyang-goyang ya, kita masih bisa bertahan,” tambahnya.
Sebenarnya ada salah satu cara yang bisa ditempuh PSPS untuk mendapat dana, yakni dengan cara mengelola Stadion Utama Riau. Stadion yang juga digunakan saat ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) 2012 ini memiliki potensi yang apik jika dikelola dengan baik.
Ari memang mengaku PSPS memang sudah ada rencana untuk mengelola Stadion Utama di masa depan. Namun, untuk saat ini, ia belum berani melakukan itu karena kesulitan biaya yang sedang dialami PSPS.
“Karena memang mengelola Stadion Utama sendiri akan jadi investasi tersendiri dengan beberapa areal di sekitarnya. Kita kan bicara jangka panjang, mau bangun apapun silakan, itu kan bagian pengelolaan kalau nanti jadi investasi,” ujarnya.
“Tanah-tanah kosong di sekitar Stadion Utama kan masih bisa dikelola, masih bisa digunakan. Bisa dipakai untuk segala macam hal. Untuk jangka panjang itu, dan bisa nambah pendapatan. Kalau kami sih sederhananya, dari manajemen, bagaimana agar tim bisa berjalan saja (untuk sekarang ini),” tambahnya.
***
Menilik langkah-langkah yang sedang dipersiapkan ini, setidaknya terbersit sebuah harapan, bahwa manajemen PSPS yang sekarang memang ingin membawa tim ke arah lebih baik. Mereka juga tahu bahwa PSPS punya potensi untuk jadi besar.
Itu tidaklah salah. PSPS dahulu pernah jadi tim yang disegani. Mereka juga pernah membuat animo masyarakat Riau meninggi. Stadion penuh sesak oleh suporter, dan dalam beberapa kesempatan, Anda akan bisa melihat pemadam kebakaran menyemprotkan air ke arah suporter.
Dalam sebuah diskusi dengan Asykar The King, kelompok suporter PSPS, mereka mengakui bahwa mereka rindu akan momen tersebut. Oleh karena itu, mereka menaruh harap pada manajemen PSPS, agar tim kesayangan mereka bisa dibawa ke arah yang lebih baik. Mereka bahkan mendukung jika PSPS kelak main di Stadion Utama.
“Kalau lihat animonya, antara Stadion Utama dan Stadion Rumbai, masyarakat animonya lebih ke Stadion Utama. Karena Stadion Utama itu lebih dekat dengan kota daripada Kabupaten. Tapi PSPS ini banyak yang lebih cinta dari Kabupaten,” ujar Wahyu, Sekjen Asykar The King.
“Di Stadion Utama saya yakin suporter akan ramai. Waktu PSPS main lawan PSMS di Stadion Utama, kalau ga salah tahun 2017-an, suporter yang datang bisa menyentuh angka 10.000 penonton,” lanjutnya.
Ya, pada akhirnya kita semua berharap agar PSPS bisa bangkit kembali. Sungguh elok jika kelak kita melihat, nama Pekanbaru kembali ke kancah persepakbolaan nasional, laiknya masa lampau. Stadion Utama/Stadion Rumbai disesaki suporter, dan ia tidak lagi jadi stadion yang sepi.