Apa yang terpikirkan pertama kali mendengar sepakbola Argentina? Lionel Messi, Diego Maradona atau Juan Roman Riquelme. Lalu apa yang terlintas tentang Final Piala Dunia 1950? Maracanazo, Moacir Barbosa yang dianggap bersalah, dan Uruguay yang meraih gelar juara dan menciptakan tragedi yang mengubah tradisi sepakbola Brasil untuk selamanya.
Sepakbola Argentina saat ini dan tragedi Piala Dunia 1950, dipengaruhi tokoh yang sama. Yahudi Hungaria bernama Imre Hirschl, yang mengubah namanya sesuai dimana ia tinggal. Di Jerman dan Prancis, ia dikenal dengan Emerich Hirshcl sedangkan di Argentina dan Uruguay Namanya harum menjadi Emerico Hirschl.
Lalu bagaimana bisa seorang Yahudi Hungaria, tanpa pengalaman profesional sebagai pemain sepakbola, bisa mengubah wajah sepakbola Argentina dan Uruguay hingga saat ini. Bahkan Bela Guttmann yang termahsyur pernah memujinya sebagai pencetak talenta terbaik di Argentina dan Uruguay. Ironisnya, makamnya bahkan tidak diketahui dan Hungaria tidak pernah mengetahui sosoknya pernah ada di sepakbola.
Tukang jagal dan pembual yang berhasil
Sulit mencari sejarah bagaimana Imre Hirschl bisa menjadi pelatih sepakbola. Namanya minim diberitakan media Eropa. Karier sepakbolanya pun tidak ada satupun yang bisa mengidentifikasi dimana ia bermain. Tapi data yang jelas adalah: Hirschl adalah tukang jagal hewan ternak dan penjual daging di Budapest.
Hirschl lahir di Apsotag 11 Juli 1900, hanya itu sejarah yang presisi mengenai dirinya. Sejarah tentangnya cukup gelap hingga akhirnya Bela Guttmann menjelaskan secara detail mengeni Hirshcl.
Guttmann menceritakan, Hirschl pada 1929 mencari visa agar bisa pindah ke Benua Amerika, untuk mencari penghidupan lebih baik. Hirschl menemui Count Materazzo, pria terkaya di Brasil saat itu di Paris. Materazzo saat itu memiliki klub sepakbola bernama Palestra Italia, yang kelak akan dikenal dengan Palmeiras.
Hirschl, akhirnya sukses membujuk Materazzo dan hengkang ke Brasil sebagai asisten pelatih bagi Palestra Italia. Guttmann bertemu dengan Hirschl dalam sebuah tur yang diadakan Hakoah, klub yang diperkuat Guttmann pada 1930. Hakoah melakukan tur ke Amerika Latin untuk mempromosikan kekuatan dan kemahiran Yahudi dalam olahraga. Saat Hakoah melakukan pertandingan persahabatan di Brasil, Hirschl kemudian mencoba masuk ke jajaran tim sebagai fisioterapis tim.
Guttmann mengenang bahwa Hirschl adalah orang yang tidak jujur. Hirschl membual banyak hal seperti mengakui bahwa dirinya adalah Mahasiswa dan pernah bermain di sebuah Universitas di Budapest, pernah menjadi manajer bagi klub olahraga elite bernama Budapest Athletic Club, bahkan Hirschl mengaku ia pernah menjadi manajer di Ceko, India dan Afrika sebelum ke Brasil.
Hakoah kemudian melanjutkan turnya ke Argentina, Hakoah melakukan laga persahabatan menghadapi Gymnasia La Plata. Hakoah kehabisan dana dan memutuskan kembali ke Hungaria, meninggalkan Hirschl.
Di Argentina, ia kemudian mengakui bahwa dirinya dalah asisten manajer dari Hakoah, sempat menjadi pelatih Racing Club di Prancis yang kelak menjadi Paris FC saat ini, dengan bualan yang ia utarakan, Hirschl mendapat pekerjaan sebagai pelatih dari Gimnasia La Plata pada 1932.
Empat musim bersama Gimnasia, Hirschl melakukan perubahan yang membuat orang tercengang: Hirschl tidak meminta dana transfer. Ia juga menyingkirkan pemain-pemain bintang seperti penyerang Arturo Naón yang merupakan top skorer klub sepanjang masa, Alberto Palomino, Oscar Montañez, dan penjaga gawang Atilio Herrera. Keempatnya saat itu dikenal dengan The Expresso. Hirschl menyingkirkan keempatnya ke tim cadangan dan mempromosikan pemain muda seperti Jose Maria “Pepe” Minela yang menjadi andalan klub.
Yang diubah Hirschl adalah kedisiplinan, The Criollo, atau orang negara koloni Spanyol, dikenal tidak disiplin, Hirschl membuat mereka menjadi lebih disiplin dengan program latihan, kedua Hirschl membuat pemain terbiasa di berbagai posisi, fungsinya? Agar mereka bisa melakukan pergerakan yang cair dan mengalirkan bola secara cepat.
Dari semua perubahan, yang paling signifikan adalah finansial klub. Klub-klub Argentina jarang memiliki pembukan keuangan yang baik, Hirschl yang pernah menjadi pebisnis, mengajari Gimnasia mengatur keuangan dan menjadi lebih sehat secara finansial.
Gimnasia bermain atraktif di bawah asuhan Hirschl, menyerang dan bertahan sama baiknya, pemain Gimnasia tidak ragu melakukan serangan dan menguasai bola. Meskipun gagal meraih gelar juara, apa yang dilakukan Hirschl menarik perhatian River Plate, dan pada 1936, Hirschl didapuk menjadi pelatih River Plate.
Bersama River Plate, Hirschl melanjutkan yang ia terapkan Bersama Gimnasia, pemain-pemain muda diorbitkan olehnya seperti Adolfo Pedernera yang akan dijuluki El Mastro dan andalan River Plate di kemudian hari, dan Jose Manuel Moreno, keduanya masih sangat muda, Pedernara berusia 16 tahun, sedangkan Moreno berusia 18 tahun.
Bersama River Plate, Hirschl meraih gelar juara Liga pada 1936 dan 1937. Ia juga meletakkan modernisasi sepakbola Argentina, Hirschl adalah innovator formasi M-M yang merupakan evolusi dari W-M, M-M kemudian bertranformasi menjadi 4-4-2 yang sukses membawa Argentina menjadi juara duna pada 1978.
Hirschl kemudian menjadi pelatih bagi beberapa klub Argentina seperti Rosario Central, Banfield, San Lorenzo hingga Cruzeiro. Namun gagal menyumbang gelar, alasannya? River Plate yang ia tinggalkan begitu tangguh untuk dikalahkan, mereka berjaya di Argentina di era 1940-an awal. River Plate tidak melupakan Hirschl, tiap usai laga menghadapi tim yang dialtih Hirschl, semua pemain akan mendatangi Hirschl dan menjabat tangannya.
Kesuksesan di Uruguay
Hirschl, hengkang dari Argentina pada 1948, tawaran dari Penarol tidak bisa ia tolak. Uruguay menjadi destinasi bagi Hirschl untuk mengembangkan karir. Selain kesulitan untuk mengalahkan River Plate, ada alasan lain mengapa Uruguay menjadi pilihannya.
Menurut Hirschl orang-orang Criollo sangat ulet dan pantang menyerah, secara fisik mereka mirip orang Yahudi, perlu banyak porsi latihan untuk peningkatan kondisi fisik. Karakter inilah yang kemudian membuat Hirschl memilih melatih Uruguay dan pilihannya tepat.
Bersama Penarol, Hirschl meraih gelar juara Liga pada 1949, namun peninggalan terbesarnya adalah Final Liga pada 1949 dimana Penarol berhadapan dengan musuh terbesar mereka, Nacional. Laga ini begitu monumental di Uruguay dan berjuluk Clásico de la fuga atau dalam Bahasa Indonesia “Laga pelarian”.
Penarol digdaya di Liga saat itu, julukan mereka: La Maquina, menunjukkan kedigdayaan mereka di Liga, menghadapi Nacional di Montevideo, pertandingan berjalan brutal dan berat sebelah. Penarol unggul melalui Juan Schiaffino dan disusul Ernesto Vidal menggandakan keunggulan.
Nacional bermain dengan sembilan pemain di babak pertama dan tertinggal dua gol dari Penarol. Di babak kedua, Nacional menolak bermain dan duduk di ruang ganti karena merasa dicurangi, Penarol diberikan gelar juara Liga. Sejak hari itu, Nacional dijuluki Gallinas atau si Ayam.
Uruguay kemudian bermain di Piala Dunia 1950, delapan pemain andalan Uruguay saat itu merupakan pemain Penarol seperti Roque Máspoli, Juan Carlos González, Washington Ortuño, Juan Alberto Schiaffino Obdulio Varela, Ernesto Vidal, Julio César Britos, Óscar Míguez dan Alcides Ghiggia.
Menghadapi Brasil, Uruguay bermain dengan skema M-M, pemain belakang bermain dalam untuk meredam Ademir yang tajam. Pun mental Criollo yang diagungkan Hirschl sangat berhasil. Bermain tandang penuh dengan supporter Brasil, Obdulio Varela sebagai kapten, menunjukkan kepemimpinannya sekaligus mental juara. Disusul Schiaffino dan Alcides Ghiggia yang bahkan tanpa rasa tegang bermain tanpa beban dan mencetak dua gol. Uruguay membawa pulang gelar juara Piala Dunia 1950.
Hirschl memang sangat harum di Amerika Latin, namun namanya dilupakan di Hungaria, negara asalnya. Hingga kini, literasi mengenai Hirschl sangat sulit ditemukan, semuanya dalam Bahasa Spanyol dan masih banyak kebohongan-kebohongan Hirschl masih dipercaya. Namun satu hal yang pasti, Hirschl sangat berjasa mengembangkan sepakbola di Argentina dan Uruguay hingga saat ini.