David De Gea, Kepa Arrizabalaga, Bern Leno, Ederson, Hugo Lloris, Alisson Becker. Pasti semua mengenal nama-nama ini. Tak satupun dari mereka adalah asli Inggris. Kecenderungan klub-klub papan atas-tengah Premier League untuk menggunakan penjaga gawang asing ini sudah terjadi bahkan sejak era awal penyelenggaraan format Premier League.
Tentu saja kalian masih ingat nama Peter Schmeichel, kiper legendaris yang memenangi berbagai gelar bersama Manchester United yang juga menjadi kiper inti sejak 1991. Klub lain seperti Chelsea bahkan sejak era pembentukan Premier League pada 1992 bisa dikatakan tidak memiliki penjaga gawang inti asal Inggris. Mulai dari Dmitri Kharine, Ed de Goey, Carlo Cudicini, kemudian Petr Cech.
Sepakbola Inggris bukannya tak memiliki panutan ketika berbicara posisi penjaga gawang. Gordon Banks adalah contoh bahwa berbicara penjaga gawang, tak perlu melulu menyebut nama Lev Yashin, si Laba-laba Hitam. Ada juga nama Peter Shilton, kiper legendaris yang tak kuasa berhadapan dengan “tangan Tuhan”-nya Diego Maradona.
Arsenal juga pernah menyumbangkan nama legendaris yakni David Seaman, kiper kharismatik dengan kumis baplang dan rambut kuncir kuda-nya. Bahkan di era 90-an hingga 2000-an awal, kiper timnas bisa dikatakan disumbangkan oleh tim-tim papan tengah seperti David James yang malang melintang bersama Liverpool, Aston Villa, West Ham, dan Portsmouth, atau Nigel Martyn serta Paul Robinson yang besar bersama Leeds United. Lalu, ada apa dengan nasib kiper-kiper Inggris?
Terhambat Perkembangan Taktik Modern
Eksistensi kiper tim papan atas Premier League sempat tertolong oleh kehadiran Joe Hart, kiper Birmingham City (dipinjamkan Manchester City) yang saat itu dipanggil oleh Fabio Capello untuk menjadi kiper pengganti di ajang Piala Dunia 2010 untuk melapis Robert Green. Don Capello memang tak punya banyak pilihan, mengingat tim-tim besar gemar memakai kiper asing. Joe Hart sesuai prediksi ternyata menjadi kiper ‘masa depan’ Three Lions hingga akhirnya kedatangan Pep Guardiola mengubah segalanya.
Demam penggunaaan kiper modern yang melahirkan istilah baru, yakni “sweeper goalkeeper”, makin menambah problematika kiper pribumi di kompetisinya sendiri. Tim papan tengah-bawah yang tadinya masih memiliki slot untuk kiper Ingris yang dibuang kesebelasan besar akhirnya luntur juga. Klub papan atas juga seperti tidak memiliki hasrat untuk mengembangkan kiper asli Inggris. Posisi penjaga layaknya posisi wajib asing, terutama bagi kesebelasan “Big Six”.
Klub-klub papan atas rela mengeluarkan kocek besar untuk mendatangkan kiper dengan kemampuan bermain ala modern. Liverpool rela mendatangkan Allison setelah gagal bersama Loris Karius. Chelsea juga rela berjudi degan Kepa setelah kehilangan Courtois. Jangan juga tanyakan mengapa Pep Guardiola, pelatih yang paling sulit berkompromi soal kiper, langsung membuang Joe Hart saat ia tiba ke Etihad.
Masalahnya terkadang bukan kualitas, tetapi kesempatan yang tidak diberikan kepada kiper-kiper asli Inggris. Ada masanya ketika skuat timnas diisi oleh nama-nama kiper buangan yang dididik dari akademi kesebelasan besar. Tom Heaton yang dipanggil ke skuat 2016-2017 adalah didikan Manchester United. Ben Foster, yang pernah direkrut Red Devils pada 2006 akhirnya dipanggil ke timnas Piala Dunia 2014. Tekanan media Inggris yang terkadang kejam pun kerap melahirkan tekanan besar kepada para kiper Inggris, sehingga tak jarang kiper mereka terserang wabah menular yang sibeut “blunder kiper timnas”.
Harapan Lahirnya Generasi Emas Kiper Inggris
Kehadiran kiper asing di berbagai klub adalah tren negatif bagi perkembangan kiper Inggris. Namun di suatu sisi, ini berarti mempercepat regenerasi.
Baru-baru ini, ada sebuah antusiasme baru dari skuat timnas asuhan Gareth Southgate yang dikenal doyan menggunakan pemain muda. Simak nama-nama berikut: Angus Gunn, Dean Henderson, Aaron Ramsdale, atau Nathan Trott.
Dua nama pertama adalah didikan klub papan atas. Gunn merupakan kiper inti Southampton yang lahir dari Etihad Campus milik Manchester City. Southampton dikanal memiliki komitmen besar untuk mengguankan jasa kiper pribumi. Seperti yang kita tahu, The Saints sebelumnya bertanggung jawab mengorbitkan Fraser Forster menjadi salah satu kiper terbaik Premier League dan menghantarkannya bermain bersama Three Lions di Piala Dunia 2014 dan Piala Eropa 2016.
Dean Henderson juga layak mendapat apresiasi lebih. Penampilan gemilangnya bersama Sheffield United, turut mengantarkannya berlaga di Premier League di musim ini. Sebuah pilihan yang tepat bagi Deano, mengingat kans-nya untuk bersaing satu lawan satu dengan De Gea adalah nol. Maka, pilihannya sekali lagi bermain dibawah asuhan Chris Wilder adalah kesempatan emas. Bukan mustahil nantinya ia akan bersaing secara langsung dengan Jordan Pickford di posisi penjaga gawang inti Three Lions.
Sementara Aaron Ramsdale adalah kiper utama AFC Bournemouth saat ini. Kiper timnas Inggris U21 musim lalu meraih penghargaan Young Player of the Season bersama klub League One, AFC Wimbledon. Musim ini adlaah ujian baginya kala mendapat kepercayaan dibawah pelatih Eddie Howe.
Nama terakhir, Nathan Trott adalah didikan akademi West Ham United. Setelah berhasil mengorbitkanRamsdale, Wimbledon kali ini akan mencoba peruntungannya kedua kali untuk mengorbitkan kiper masa depan Inggris. Bukan mustahil nantinya kiper kelahiran Bermuda ini akan menggantikan Lukasz Fabianski di West Ham.
Fenomena ini juga disoroti oleh Tim Dittmer, Head of Goalkeeping Asosiasi Sepakbola Inggris (FA) “Dalam beberapa dekade terakhir, pembinaan posisi (penjaga gawang) telah menjadi lebih profesional – lebih banyak kursus, lebih banyak pelatih, berbagai praktik yang lebih luas,”
“Pelatih yang pada suatu waktu mungkin hanya mengulangi bagaimana mereka dilatih sendiri [saat menjadi pemain] semakin memperluas metode pelatihan dari berbagai ahli dan disiplin ilmu,” ujarnya, dikutip dari Guardian.
Yang juga penting, para kiper-kiper muda Inggris ini setidaknya dapat belajar banyak dari kiper-kiper senior mereka yang memerankan peran kiper modern ini. Akan sangat menarik jika kita melihat kiper Inggris yang tak hanya mampu menjaga gawang, namun bisa berkontribusi dalam built-up playing.
Richard Hartis, pelatih kiper tim akademi Manchester United juga mengatakan hal ini.
“Saat ini tim menyerang dengan 11 (pemain) dan bertahan dengan 11,” kata Hartis. “Penjaga gawang akan menjadi bagian dari gameplan: membangun possession, mendapatkan masukan taktikal,” mengutip Guardian.
Dia menggambarkan bagaimana Ramsdale, saat masih bergabung di akademi Sheffield United, akan berlatih bersama para pemain U23 di sesi latihan pagi sebagai outfielder , dan berlatih sebagai kiper U18 di sore harinya. Hal serupa juga dialami Jordan Pickford, yang terkadang berlatih sebagai bek tengah saat masih di akademi Sunderland.
Southgate dalam hal ini boleh jadi menjadi pahlawan bagi kiper-kiper yang tak mendapatkan sorotan besar. Jika kita masih ingat, nama Jordan Pickford adalah salah satu yang berhasil didongkrak oleh Southgate ke timnas Inggris. Padahal, Pickford bisa dibilang masih minim jam terbang mengingat usia mudanya kala masih memperkuat Sunderland dan akhirnya menjadi rekor transfer kiper Inggris termahal.
Semuanya memang perlu waktu, konsistensi, juga willingness dari klub-klub Premier League untuk mewujudkan generasi emas kiper Inggris. Bila tidak, mungkin kiper-kiper muda Inggris bisa mempertimbangkan untuk menjadi “Jadon Sancho” versi penjaga gawang? Kita tunggu saja.