Kemenangan telak Leicester City 9 gol tanpa balas di stadion St. Mary’s, kandang Southampton seakan menjadi bukti kuat bahwa di era Rodgers, Leicester perlu ditakuti semua lawan-lawannya di musim ini. Hingga pekan ke-10, Leicester duduk di posisi 2 Premier League (unggul 1 laga dari tim lain) dengan catatan defensif terbaik kedua yakni hanya kebobolan 8 gol. Hal ini tak telepas dari tangan dingin sang pelatih kepala mereka, Brendan Rodgers.
Pria asal Irlandia Utara ini datang ke Leicester City pada Februari 2018. The Foxes kala itu tengah terpuruk usai rentetan buruk 6 laga tanpa kemenangan dibawah asuhan Claude Puel. Gemilangnya eks manajer Liverpool itu saat membesut Celtic diharapkan mampu mendongkrak posisi tim pemenang gelar Premier League 2015/ 2016.
Sebagai manajer, reputasinya meroket kala membesut Liverpool. Bersama The Reds, ia hampir saja memenangi gelar Premier League pertama bagi klub paling legendaris di Inggris. Berkat tangan dinginnya, Liverpool mengalami perjalanan paling impresif: nyaris menjadi juara di musim keduanya di Liverpool, kemudian disambung rentetan 13 kali kemenangan liga pada musim berikutnya.
Saat itu, bisa dibilang hanya kuasa Tuhan yang mampu “menjegal” performa brilian Rodgers serta anak asuhnya. Sayang, Tuhan menitipkan kuasa-Nya kepada Manchester United. Liverpool kalah oleh sang musuh bebuyutan, dan ternyata dampaknya tak hanya berhenti disana. Sembilan laga terakhir mereka berakhir dengan lima kekalahan, termasuk kekalahan memalukan dari Aston Villa di semifinal Piala FA.
Kegagalan Rodgers bersama Liverpool ia bayar lunas di Celtic. Terlepas dari tradisi kedigdayaan Celtic di Liga Premier Skotlandia, namun Rodgers bisa dibilang mengadirkan sesuatu yang tak bisa dipandang remeh. Dua setengah musim di Celtic Park, ia menghadirkan dua kali gelar treble. Juga, performa tak terkalahkan selama semusim di musim perdananya.
Keputusan Leicester City untuk mempekerjakan Rodgers adalah keputusan paling tepat sepeninggal era brilian mereka bersama Claudio Ranieri. Berikut adalah alasan mengapa Leicester akan menjelma menjadi tim papan atas Premier League di bawah komando Rodgers.
Kelihaian Taktikal Rodgers serta Filosofi “CORE”
Sebagai manajer, Rodgers bukan tipikal penganut stereotipe sepakbola Inggris. Ia pengagum permainan bola-bola pendek. Sebagai juru taktik, ia juga sangat adaptif. Dalam satu waktu, dirinya bisa saja memakai formasi dasar yang tak lazim dipakai manajer Britania seperti 3-4-3. Dan seperti pelatih yang memegang teguh filosofi, ia cenderung keras kepala. Terbukti, ia tak menerima saran dari petinggi-petinggi dan legenda Liverpool saat itu untuk bermain “normal” dengan formasi dasar 4-3-3 atau 4-4-2.
Melihat sekilas kebelakang, popularitas Rodgers naik saat membesut Swansea. Di Wales, Martinez berhasil mengangkat Swansea promosi ke Premier League 2011/2012 dan membuat Swansea menjadi buah bibir karena bermain cantik serta banyak mempercayai talenta didikan akademi.
Terkait filosofi, Rodgers menyebut apa yang diyakininya sebagai “CORE”, yakni Commitment, Ownership, Responsibilities, Excellence. Rodgers menyebut keempat poin itu wajib dimiliki oleh para pemainnya. “Saya ingin komitmen, bukan motivasi. Karena motivasi itu (bersifat) sekejap, itu terbentuk karena perasaan,” ujar Rodgers dikutip laman resmi Liverpool pada 2015 silam.
“Ketika ada komitmen, saya kemudian akan mengorganisir rencana untuk mereka agar menjadi yang terbaik yang mereka mampu. Bukan untuk saya – tapi untuk mereka, dalam hal untuk berkembang,” tambahnya.
“Saya kemudian mengatakan, itulah tanggung jawab anda (responsibility). Saya akan memberikan semua perlengkapan, lingkungan yang terbaik, fokus untuk performa tertinggi, lalu orang-orang terbaik: medis, mental, teknik, taktik, dan saya akan mengatur itu semua,”
“Semua faktor tersebut akan memberikanmu (para pemain) untuk menunjukkan performa yang unggul (excellence). Saya mengatakan kepada anak asuh saya: ‘The crown is in your head, you’re the king of your own destiny’ (Mahkota ada di kepala kalian, kalian adalah raja dari takdirmu sendiri).
Dengan keberhasilannya membawa Leicester bertengger di peringkat ke-2 hingga pekan ke-10, pujian mulai muncul. Tak tanggung-tanggung, yang memberikan pujian adalah pelatih Liverpool, Juergen Klopp. Suksesor Rodgers di Anfield ini memuji penampilan Leicester City yang menurutnya bermain mengibur serta memiliki kemampuan bertahan yang mengesankan.
“Leicester (era Rodgers) dibangun seperti kamu ingin membangun sebuah tim,” tutur Klopp pada konferensi pers laga kontra Leicester (5/4)
“Apa yang mereka lakukan benar-benar bagus. Menyenangkan, segar, bertahan dengan baik, bermain sepak bola dan terutama mengancam dalam serangan balik. Selamat kepada mereka,” tambah Klopp pada laga yang berkesudahan kemenangan 2-1 untuk Liverpool.
Dalam laga tersebut, Klopp beruntung “diselamatkan” hukuman penalti yang terjadi di babak injury time, sehingga memperlebar jarak dengan Manchester City 8 poin. Bisa jadi apa yang diucapkan Klopp merupakan mind-games kepada Rodgers, tapi bila mengingat beberapa musim lalu, Rodgers pernah mempercundangi Klopp yang kala itu menukangi Dortmund dengan skor telak 5-0 pada ajang Liga Champions.
Bahkan Steven Gerrard mengakui bahwa Rodgers memberikan pengaruh yang besar dalam kemampuan melatihnya. Menurut Gerrard yang kini melatih Rangers, Rodgers adalah pelatih yang memiliki kemampuan man management terbaik dari sejumlah pelatih yang pernah membinanya.
Leicester Punya Amunisi Cukup Untuk Bersaing di Papan Atas
Rodgers banyak diyakini tak akan bisa berbuat banyak di Leicester lantaran tak memiliki amunisi yang tak sekuat Liverpool jamannya ia melatih. Dulu ia memiliki seorang Steven Gerrard, Raheem Sterling, Luis Suarez, kemudian Coutinho selepas Suarez pergi.
Musim lalu, Rodgers mengarungi musim berbekal pemain “sisa” Claude Puel. Meski demikian, masuknya ia ke kursi kepelatihan tak lantas memuang pemain-pemaon tersebut. Malahan, ia berhasil memoles pemain-pemain muda potensial disana.
Dua pemain didikan akademi, Harvey Barnes dan Ben Chillwell masing-masing mencatatkan 4 serta 3 asis di 10 laga Leicester. Rodgers melakukan transfer penting untuk mengisi pos-pos yang menurutnya vital. Mulai dari mengangkut gelandang kreatif yang masih memiliki usia yang muda seperti: Ayoze Perez dari Newcastle, Youri Tielemans dari AS Monaco, serta Dennis Praet direkrut dari Sampdoria. Mereka akan membantu pemain kunci seperti James Maddison yang sedang dalam performa terbaiknya.
Di sisi lain, usaha mereka untuk mempertahankan para pemain senior seperti Jamie Vardy, Wilfred Ndidi, Marc Albrighton, Kasper Schmeichel, Christian Fuchs, hingga sang kapten Wes Morgan layak mendapat apresiasi. Hal tersebut mengindikasikan perlunya peran senior untuk membimbing para pemain muda di ruang ganti.
Kebijakan Transfer Leicester yang Efektif
Dibawah sokongan dana jutawan asal Thailand, klan Shinawaprabbha, Rodgers juga tampaknya akan membawa Leicester terus bertumbuh. Ditambah dengan popularitasnya di Asia khususnya Thailand, Leicester memiliki keuntungan tersendiri secara finansial. Menurut Forbes, Keluarga Shinawaprabbha yang kini dipimpin oleh Aiyawatt, putra sulung mendiang Vichai Shinawaprabbha memiliki kekayaan bersih 5 triliun USD yang menjadikannya masuk dalam 300 orang terkaya di dunia.
Faktor strategi transfer Leicester sejauh ini merupakan salah satu kunci bagaimana klub ini bisa menjelma dari klub “yoyo” menjadi klub reguler papan tengah. Hal itu pula yang mampu membawa mereka menjuarai Premier League 2015/2016. Tengok bagaimana mereka merekrut Jamie Vardy, Riyad Mahrez, N’Golo Kante, serta Danny Drinkwater. Terlepas nantinya mereka akan menjualnya.
Posisi Director of Football yang ditempati eks-pelatih akademi, John Rudkin juga turut memengaruhi kebijakan mereka yang tentunya cenderung memberikan kesempatan kepada pemain muda. Disamping juga kegemilanan mereka dalam urusan membeli pemain hebat dengan harga murah, seperti yang dilakukan ketika membeli Jamie Vardy, N’Golo Kante, Danny Drinkwater atau Riyad Mahrez.
Namun bila melihat nama-nama yang mereka rekrut di dua musim terakhir, Leicester terbukti memikirkan strategi transfer jangka panjang. Coba tengok: James Maddison, Filip Benkovic, Caglar Soyuncu, Demarai Gray. Keputusan mereka untuk menjual seorang Harry Maguire dengan nilai yang fantastis membuktikan bahwa mereka terdepan dalam hal bargain. Malahan, tanpa Maguire pun Leicester bisa menjadi tim yang memiliki statistik pertahanan yang baik.
Karena hal-hal tersebut, maka pantaslah menilai Leicester dibawah Rodgers sebagai tim yang berada di papan atas. Tentunya dengan catatan mereka harus tetap konsisten dan berpikir tentang stabilitas tim. Seandainya stabilitas ini tetap tercapai dalam beberapa musim kedepan, jangan heran kalau Leicester akan menjelma dari tim underdog menjadi tim mapan papan atas Premier League.