Presiden UEFA, Aleksander Ceferin, mengakui kalau ternyata ia memiliki banyak tugas yang harus dilakukan untuk mengatasi rasisme dalam sepakbola, terutama di Eropa. Sebelumnya, Ceferin sempat dikritik karena sama sekali diam dan tidak mulai memberikan kebijakannya dalam menangani masalah rasisme. Padahal, memerangi rasisme di sepakbola Eropa adalah sebuah urgensi di atas kasus-kasus yang terjadi di musim ini.
Selain itu, ia tampaknya tidak sepenuhnya menyadari kalau skala masalah ini semakin membesar sejak ia mengambil alih kursi petinggi UEFA tiga tahun lalu. Oleh sebab itu, hal inilah yang membuat UEFA mendapat banyak kecaman di tengah serentetan insiden rasis dalam beberapa bulan terakhir, mulai dari nyanyian monyet yang ditujukan pada Romelu Lukaku dan Mario Balotelli di Italia, hingga pelecehan warna kulit pemain Inggris selama kualifikasi Euro 2020 di Bulgaria pada Oktober lalu.
Namun, akhirnya UEFA mulai peka, dan segera memulai penyelidikan pertama mereka dengan menyelesaikan kasus memalukan yang terjadi di Sofia (pelecehan warna kulit pemain Inggris), dan akhirnya memutuskan untuk menghukum Bulgaria dengan memaksa mereka memainkan pertandingan kandang kompetitif berikutnya dengan tanpa suporter. Terdapat laporan lebih lanjut bahwa hukuman ini akan ditangguhkan selama dua tahun. Tapi setidaknya, UEFA sudah memastikan jika sepakbola Bulgaria dihukum dengan denda sebesar 75.000 euro.
Kendati begitu, sanksi sebesar itu masih dikritik oleh jaringan anti-diskriminasi sepakbola Eropa, Football Against Racism in Europe (Fare), yang mengatakan kalau mereka sangat kecewa dan mempertanyakan mengapa Bulgaria tidak diusir saja dari kompetisi setelah dinyatakan bersalah atas pelanggarannya yang ketiga di tahun ini. Sementara itu, organisasi lain seperti Kick It Out juga mengatakan kalau UEFA telah “melewatkan kesempatan” mereka untuk menjatuhkan hukuman yang tepat kepada para pelaku diskriminasi.
Tampaknya mau diam atau bergerak pun rasanya UEFA tetap dikritik karena kurangnya ketegasan yang ditunjukkan ketika mereka menerima berbagai laporan kasus rasis. Mereka juga telah dikritik habis-habisan karena menangani kasus-kasus lain yang bersangkutan, terutama jika kasusnya dialami oleh pemain kulit hitam. Menanggapi hal ini, Ceferin langsung angkat bicara dengan mengakui bahwa diperlukan pendekatan yang berbeda dan lebih kuat untuk mengatasi apa yang tampaknya menjadi masalah agar tidak semakin memburuk.
“Saya tidak menyalahkan para pemain untuk apa yang mereka permasalahkan. Saya mengerti para pemain putus asa karena hukuman dan insiden ini terus terjadi berulang kali. Saya tidak naif untuk berpikir kalau kami (UEFA) sudah melakukan semua yang kami bisa dan dianggap sudah selesai. Ini belum selesai. Kami masih berusaha dan kami peduli dengan kasus ini,” tutur Ceferin dalam sebuah wawancara dengan Daily Mirror.
“Kami siap mendengarkan kritik. Setiap minggu setidaknya pasti ada kasus yang datang pada kami, dan tidak hanya sejak kaus Bulgaria dan Inggris, atau tidak hanya sejak Cagliari melecehkan Lukaku secara rasial. Kami selalu mendapatkan kasus serupa, dan kami selalu mendengarkan. Setiap minggu kami mendengar tentang beberapa penjelasan soal diskriminasi yang terjadi di seluruh Eropa. Dan kami membiarkan mereka berbicara tentang itu.”
Di satu sisi, Aleksander Ceferin sendiri mulai menjabat sebagai presiden UEFA pada September 2016, setelah sebelumnya ia menjadi presiden asosiasi sepakbola Slovenia selama lima tahun. Pengalamannya begitu panjang, dan ketika ditanya oleh media Mirror mengapa ia selalu menganggap betapa buruknya sepakbola Eropa karena dirusak oleh rasisme, ia menjawab bahwa dirinya hanya memahami kalau situasi di Eropa memang semakin tegang dengan kasus seperti ini.
Ceferin kemudian menjelaskan kalau dirinya sangat yakin para politisi sebenarnya turut ikut bertanggung jawab, karena mereka semua dianggap sebagai pemicu paling besar kasus rasisme di seluruh benua, dan bukan hanya di Eropa. Secara khususnya, ia mengkritik Boris Johnson, seorang perdana menteri baru Inggris, yang juga sempat mengkritik UEFA atas sanksi mereka terhadap Bulgaria.
“Ketika seorang politisi yang selalu memanggil wanita muslim bercadar dengan kotak pos burqa (yang dimaksud di sini adalah Boris Johnson), kemudian mengatakan di depan umum bahwa dia mengutuk instansi lain seperti UEFA karena gagal menangani kasus rasisme, apakah Anda akan membalasnya? Saya hanya mempertanyakan, apakah Anda percaya kalau para politisi itu jujur dengan kebijakan dan perkataannya? Ayolah, buka mata Anda,” tegas Ceferin dilansir dari The Guardian.
Sumber: Mirror, The Guardian