Bukan tanpa alasan publik sepakbola Inggris menjulukinya “Bites ‘Yer Legs”. Julukan tersebut muncul salah satunya karena kelugasan dan tekel kerasnya di lapangan. Lawan-lawannya seperti mendapat “ancaman” ketika sedang menggiring bola. Namun, anggapan bahwa Hunter adalah pemain yang hanya memiliki kelebihan di sisi agresif sepertinya bukan hal yang fair.
Dan di tengah situasi wabah virus korona yang memprihatinkan, publik sepakbola Inggris, khususnya Leeds, tengah kehilangan salah satu legenda yang terkenal sebagai bagian dari era sukses Leeds United di era 1970-an yakni Norman Hunter. Pria 76 tahun ini akhirnya menghambuskan nafas terakhirnya 17 April 2020 kemarin, akibat terkena komplikasi virus korona.
Julukan tersebut sebenarnya tak pernah disukai Norman. Namun, sebuah spanduk yang dibentangkan fans Leeds kala mereka berhadapan dengan Arsenal di ajang Piala FA 1972 mengubah segalanya. Sejak saat itu ia mau tak mau menerima julukan tersebut.
Kehadiran Norman Hunter saat itu menjadi salah satu kunci keberhasilan Don Revie membawa Leeds menjadi raja di tanah Inggris dengan 2 gelar liga Inggis, 2 gelar Piala FA, serta mencapai partai final European Cup (dan mengalami kekalahan kontroversial atas Bayern Muenchen). Pencapaian individualnya pun boleh dikatakan cemerlang. Ia turut andil kala Ingggris meraih trofi Piala Dunia 1966, juga menjadi pemain terbaik versi PFA Players’ Player of the Year serta PFA Team of the Year di musim 1973/1974.
Hunter awalnya bukan tumbuh besar sebagai fans Leeds, melainkan Newcastle. Akan tetapi, semua berubah kala Don Revie mengontraknya di usia 15 tahun. Kariernya sempat mengalami ketidakpastian, lantaran Revie measih menganggap fisiknya terlalu ringkih. Revie bahkan harus memberinya asupan gizi berupa telur mentah dan sherry -sejenis fermentasi anggur- setiap pagi. Singkat cerita, ia mulai diberi kepercayaan kala usianya menginjak 20 tahun.
Ia adalah salah satu dari duet pivot Norman Hunter dan Jack Charlton – kakak Bobby Charlton- yang disegani lawan kala itu. Duet Hunter-Charlton seperti saling melengkapi. Charlton yang memiliki keunggulan fisik tinggi, dilengkapi dengan kemampuan mengolah bola serta agresifitas Hunter.
Sayangnya, Hunter tak pernah benar-benar memiliki peran sentral di timnas Inggris lantaran harus bersaing dengan Bobby Moore, legenda West Ham yang lebih elegan dan flamboyan. Pun demikian, namanya akan selalu dikenang sebagai salah satu legenda yang membawa nama Leeds yang kala itu dijuluki “Dirty Leeds” sebagai salah satu kesebelasan besar di tanah Britania.
Rest in peace Norman pic.twitter.com/Fq38EJK6Pn
— Leeds United (@LUFC) April 17, 2020
Asal Mula Julukan Dirty Leeds
Bersama mendiang Don Revie dan Billy Bremner, Hunter akan dikenang sebagai salah satu legenda terbesar bagi klub kebanggan Yorkshire tersebut. Namun, sebenarnya dari mana asal muasal Leeds United mendapat julukan “Dirty Leeds”?
Mengapa mereka dijuluki “Dirty”? Apakah karena mereka kasar? Licik? Kotor? Atau sekadar keras? Ada banyak versi mengenai tersematnya julukan ini kepada tim yang kostumnya diadaptasi dari warna kebesaran Real Madrid ini.
Ada satu fakta yang mungkin menguatkan tuduhan dirty yang dialamatkan kepada Leeds United. Kala itu Leeds menghadapi Sunderland di Roker Park, pada pertandingan boxing day English Division Two, 27 Desember 1963. Saat itu Leeds sedang memimpin klasemen, sementara Sunderland berada di posisi kedua.
Wartawan Yorkshire Post, Eric Stranger, menulis bahwa kedua tim bermain sangat kotor. Di antaranya, ada dua pemain Sunderland yang melayangkan pukulan, dan pemain Leeds yang beberapa kali sengaja menendang lawan. Di era itu, sepakbola benar-benar keras dan bahkan bisa dibilang jauh dari sikap fair play yang kini kita kenal.
Menyikapi tuduhan tersebut, Don Revie dengan cepat membela anak asuhnya dengan menjawab bahwa tidak adanya satupun dari anak asuhnya yang dikartu merah wasit menunjukkan bahwa timnya tidak sekotor apa yang dituduhkan publik. “Tuduhan mereka sampah,” komentar Revie, seperti dikutip pada ulasan pertandingan di harian Yorkshire Post, 27 Desember 1963.
Selanjutnya, fakta lain yang menguatkan bahwa tuduhan ini hanyalah permainan media dan publik belaka. Leeds kala itu berlaga melawan Everton di Goodison Park, 7 November 1964. Laga tersebut dikenang sebagai “The Battle of Goodison” karena kedua tim bermain sarat dengan kekerasan.
Kala itu laga baru berjalan 4 menit. Tiba-tiba Sandy Brown, bek kiri Everton melayangkan pukulan kepada pemain Leeds, Johny Giles, sesaat setelah ia menerima tekel keras dari Giles. Setelah itu situasi menjadi kacau. Penonton melakukan pitch invasion, para pemain dari kedua tim tunggang-langgang menyelamatkan diri. Setelah keadaan berhasil dikendalikan, wasit memulai kembali laga. Fans tuan rumah meneriakkan chant: “Dirty Leeds..Dirty Leeds!”
Setelah pertandingan tersebut, akhirnya Asosiasi sepakbola Inggris (FA) melakukan investigasi. Dua hari setelah laga, Sandy Brown dijatuhi larangan bermain dalam 2 pekan, Everton dijatuhkan denda 250 paun akibat ulah fansnya. Menariknya, di laga ‘Battle of Goodison’ ini jumlah pelanggaran yang dilakukan Everton adalah 19 kali, sementara Leeds hanya melakukan 12 kali pelanggaran.
Tak heran, dimanapun anda menjadi pemenang akan banyak pula orang yang membenci anda, sekalipun itu tak memiliki dasar kuat. Periode 70-an adalah masa-masa glorious years dari Leeds. Tak ayal, publik mencari berbagai celah, salah satunya reputasi permainan keras pemain Leeds kala itu.
Kesaksian dari Mendiang Norman Hunter
Norman Hunter memberikan kesaksiannya tentang apa yang sebenarnya diinginkan Don Revie kepada anak-anak asuhnya kala itu. Revie memberikan instruksi oleh pelatih untuk menjadi ‘kuat’, tapi bukan kasar. Don Revie semasa itu sering menginstruksikan, “ketika pertama kali lawan menguasai bola, biarkan dia tahu anda berada disana. “Hit him! biarkan meraka tahu kalian ada disana” ujar Hunter memberi kesaksian. Revie juga menegaskan kepada anak asuhnya bahwa sekeras apapun tekel kepada lawan saat laga baru dimulai tak akan berubah menjadi kartu.
Dalam buku otobiografinya, “Biting Talk”, Norman Hunter menuliskan dengan jelas bahwa ia tidak pernah bermaksud untuk menyakiti lawan. Adapun insiden-insiden panas yang terjadi merupakan reaksi spontan dan tidak direncanakan. Norman Hunter, yang juga menjadi bagian kala Inggris memenangkan gelar Piala Dunia 1966, menerangkan bahwa pelatihnya di timnas saat itu Alf Ramsey juga berkata demikian,
“Norman, lakukan apa yang harus kamu lakukan!” ujar Hunter menirukan instruksi Alf Ramsey. Ternyata, ide untuk “mengintimidasi” lawan ini tidak hanya di tim Leeds United saja, melainkan di seluruh Inggris kala itu.
Dan benar saja, reputasi Dirty Leeds malah menjadi label yang terus melekat. Bahkan setelah era Don Revie berlalu, 30 tahun kemudian. Seorang fans Leeds, Julian Young bahkan berkata: “Di era itu mereka memiliki tekel yang keras! Bahkan label Dirty Leeds tidak mengganggu, bahkan membuat saya diam-diam bangga!”