Saat musisi Amerika Serikat, Neil Young menulis lagu berjudul “Hey Hey My My (Into the Black)” pada 1979, ia tak sadar akan banyak memberikan pengaruh yang sangat besar bagi orang lain. Mendiang Kurt Cobain, frontman dari pioner musik grunge Nirvana, bahkan menuliskan penggalan lirik lagu tersebut dalam surat wasiatnya yang ditulis sebelum mengakhiri hidupnya. Potongan lirik tersebut berbunyi:
“It’s better to burn out than to fade away.”
Karena kepopulerannya, banyak musisi dunia yang terang-terangan memasukkan penggalan lirik tersebut ke dalam karyanya. Di antaranya: Panic! At The Disco di lagunya berjudul “Nicotine”, Def Leppard di lagu berjudul”Rock of Ages,” dan band yang didirikan istri Cobain, Courtney Love yaitu Hole, dalam lagu mereka yang berjudul “Reasons to be Beautiful.”
Di dunia sepakbola, hal serupa pun ternyata berlaku. Mereka yang bahkan sedang berada di usia puncak malah memilih untuk berhenti sebelum memudar karena faktor usia.
Mulai Van Basten yang “Mati” Sebagai Legenda hidup
Banyak yang berpendapat, bahwa Marco van Basten adalah contoh pesepakbola yang memilih mati ketimbang memudar. Anggapan ini masih bisa diterima, meskipun Basten kala itu terkendala oleh cedera. Alih-alih memaksakan diri untuk melakukan recovery, ia memilih untuk berhenti. Keputusan itu bisa dibilang tepat, karena membuatnya menjadi legenda hidup.
Penyerang timnas Belanda tersebut memanangkan gelar Balon d’Or pertamanya di usia 24 tahun, dan setahun kemudian ia kembali menggondolnya. Tiga tahun berselang, ia menyamai rekor Johan Cruyff dan Michel Platini dengan raihan 3 gelar pemain terbaik Eropa.
Pergerakan, teknik, serta kemampuannya di dalam kotak penalti menjadi momok bagi pertahanan lawan. Tak heran, ia kerapkali menjadi incaran tekel-tekel keras. Di tahun 1992, Basten mengalami cedera engkel parah yang memnbuatnya naik ke meja operasi dan absen 6 bulan. Sampai akhirnya kariernya harus berakhir di laga final Piala Champions kontra Marseille. Basten ditandu ke luar lapangan akibat tekel keras Basile Bolli. Operasi ketiga kalinya dalam karier Basten adalah operasi terakhirnya. Si Angsa dari Utrecht (terpaksa) memilih mati sebelum memudar di usia 29 tahun.
Namun tak semua pesepakbola memilih mengakhiri kariernya secara dini dengan menemui jalan cedera. Kebanyakan, mereka yang memilih untuk gantung sepatu dini beralasan bahwa tak lagi menemukan kesenangan yang sama lagi.
Rossi, Cantona, dan Nakata: Contoh Sempurna Menolak untuk Memudar
Sepakbola Italia pernah dikejutkan dengan fenomena ini. Pahlawan Italia di Piala Dunia 1982, Paolo Rossi. Penyerang yang meroket kariernya bersama Juventus ini memilih pensiun di usia terbilang muda, 30 tahun.
Pada tahun 1982, ia memimpin Italia ke gelar Piala Dunia FIFA 1982, mencetak enam gol untuk memenangkan FIFA Golden Boot sebagai pencetak gol terbanyak, dan FIFA Golden Ball award untuk pemain terbaik.
Rossi adalah satu dari hanya tiga pemain sepanjang sejarah yang telah memenangkan ketiga penghargaan di Piala Dunia, yang juga diraih Garrincha pada tahun 1962, dan Mario Kempes pada tahun 1978. Rossi juga dianugerahi Ballon d’Or 1982 sebagai Pemain Sepak Bola Eropa Tahun Ini atas penampilannya bersama Roberto Baggio dan Christian Vieri, ia adalah pencetak gol terbanyak Italia dalam sejarah Piala Dunia, dengan total 9 gol.
Entah apa yang merasuki Rossi kala itu. Di akhir musim 1987, ia memutuskan berhenti bermain. Alasannya: Tak lagi menemukan sisi menyenangkan dari sepakbola. Rossi menjadi pebisnis properti dengan raihan 9 gol di Piala Dunia, 1 gelar pemain terbaik dunia dan juga Eropa.
Selanjutnya adalah pemain berjuluk The King, Eric Cantona. Pemain yang dengan sempurna mengimbangi porsi kemampuan teknik yang menawan dengan kontroversi. Karier sepakbola Cantona meroket tajam usai mengicip kerasnya sepakbola Inggris bersama Leeds United.
Usai turut mengantarkan juara liga Inggris, Cantona pindah ke rival bebuyutan, Manchester United. Bersama MU, Cantona meraih”segalanya”. Empat gelar Premier League, 2 gelar Piala FA, serta menjadi raja di Old Trafford.
Cantona tidak memperpanjang kontraknya di akhir musim 1994/1995. Cantona beralasan jenuh bermain sepakbola. Berkat Cantona pula, warisan nomor punggung “7” di Manchester United menjadi semakin keramat.
Publik Manchester United sebenarnya tak kaget-kaget amat dengan keputusan pensiun dini Cantona. Pasalnya, mereka pernah mengalami pengalaman serupa kala ditinggalkan George Best.
George Best adalah contoh bagaimana sepakbola digunakan dengan cara bersenang-senang. Legenda asal Irlandia Utara ini memang terkenal dengan gayanya yang flamboyan, womanizer, serta gemar meminum minuman keras dan obat-obatan.
Pun demikian, Best bisa menampilkan penampilanyang mengesankan di atas lapangan. Buktinya, ia menjadi pemain terpenting Red Devils saat itu dengan menyumbangkan 2 gelar liga, gelar Eropa, serta Ballon d’Or.
Di usia ke-28, Best memutuskan untuk pensiun. Permasalahnnya dengan urusan indisipliner, pelangaran hukum, serta adiksi alkohol adalah hal yang erat dikaitkan dengan Best. Kondisi Manchester United yang terpuruk disebut sebagai alasan dibaliknya. Best tampil 470 laga untuk United dan berhasil mencetak 179 gol.
Ajaibnya, ia memutuskan kembali bermain secara profesional di Afrika Selatan di tahun yang sama. Ia sempat bermain di kompetisi sepakbola Amerika Serikat bersama Los Angeles Aztecs, Fort Lauderdale Strikers, dan San Jose Eathquakes. Ia juga sempat beberapa kali bermain di liga Hong Kong, serta beberapa klub di Skotlandia. Best adalah contoh bahwa seharusnya ia berhenti saja, daripada dikenang mati memudar.
Satu lagi, jika anda adalah penggemar Liga Italia sejak dekade 90-an, pasti mengenal nama satu ini: Hidetoshi Nakata. Motivasi yang mirip-mirip juga pernah dilakukan bintang sepakbola “pertama” asal Asia ini. Nakata, di usia puncaknya memilih untuk mengakhiri karier sepakbola dan fokus untuk memilih karier di bidang fashion.
Hanya menghabiskan 3 tahun di kompetisi profesional Jepang bersama klub Bellmare Hiratsuka (kini Shonan Bellmare), penampilan gemilangnya membuat sejumlah klub Serie-A mengicarnya, termasuk Juventus yang memberikan kesempatan trial untuknya.
Beruntung, Perugia memutuskan bergerak cepat dengan merekrutnya dengan nilai 4 juta dollar AS. Saat itu Nakata menjadi pemain kedua yang berlaga di Serie-A setelah Kazuyoshi Miura untuk Genoa, empat tahun sebelumnya. Di bawah asuhan allenatore Ilario Castagner, Nakata menjadi pemain paling penting. Bermain di posisi “Nomor 10”, Nakata berhasil mencatatkan total 12 gol dalam 48 laga.
Dengan catatan menawan tersebut, klub-klub sudah pasti berebut jasa Nakata. Apalagi, Nakata yang berasal dari Asia mempunyai daya tarik dari sisi bisnis seperti merchandising, dan sponsor yang menguntungkan klub.
Setelah memperkuat Perugia satu setengah musim, akhirnya Nakata pindah ke AS Roma. Bersama Serigala Roma, Nakata menjadi pemain Asia pertama yang meraih titel scudetto musim 2000/2001. Selanjutnya, ia berkarier bersama Parma, Fiorentina sebelum mengakhiri karier di Premier League bersama Bolton Wanderers.
Setelah menghabiskan 8 tahun berkarier di Italia dan semusim di Inggris, pemain yang dijuluki sebagai “Japanese Beckham” ini akhirnya memutuskan gantung sepatu. Di usianya yang saat itu baru 29 tahun, ia juga mendapatkan gelar kehormatan dari pemerintah Italia, Knight of the Order of the Star of Italian Solidarity. Mengutip wawancaranya dengan TMW Magazine di 2006, Nakata beralasan bahwa ia sudah tak lagi menemukan motivasi bersenang-senang dari sepakbola.
“Saya bisa merasakan bahwa tim bermain hanya untuk uang dan bukan demi bersenang-senang. Saya selalu merasa bahwa sebuah tim seperti keluarga besar, tetapi berhenti menjadi seperti itu.”
“Aku sedih, itu sebabnya aku berhenti di usia 29,”ujar Nakata.
***
Neil Young mungkin tak sadar, bahwa lirik yang ditulisnya akan memengaruhi sebagian besar musisi-musisi “Grunge” asal Seattle yang banyak diantaranya (kebetulan) memilih mati sebelum layu dan berakhir sebagai legenda.
Dalam dunia sepakbola yang sudah menjadi industri, seperti sekarang ini, setidaknya para pemain sepakbola seperti Paolo Rossi, Eric Cantona, dan Hidetoshi Nakata, adalah contoh langka bahwa tak semua pesepakbola memandang sepakbola itu sendiri sebagai sebuah pekerjaan semata. Mereka memilih berhenti sebelum mereka layu dan berakhir dengan cara dikenang sebagai legenda.