Turin adalah salah satu kota di Italia yang identik dengan sepakbola. Selain Juventus, mereka memiliki Torino yang bermarkas di kota yang sama. Sampai saat ini, Juve masih dikenal sebagai salah satu klub Turin dengan prestasi yang cukup mentereng. Beda dengan Torino yang prestasinya cenderung biasa-biasa saja. Meski begitu, banyak yang menilai kalau Torino sebenarnya bisa bersaing dengan Juve dan menjadi salah satu tim terkuat Italia jika tragedi Superga tidak menimpa mereka.
***
Kematian sudah menjadi rahasia dari sang pencipta. Tidak ada yang tahu kapan, di mana, dan seperti apa seseorang itu akan meninggal. Entah dengan cara yang wajar, tidak wajar, atau tragis sekalipun, yang pasti manusia hanya bisa pasrah jika sewaktu-waktu kematian akan datang kepada mereka.
Pendukung Torino tentu tidak menyangka ketika mereka mendapat kabar kalau para pahlawan mereka meninggal secara tragis pada 4 Mei 1949. Ketika sebuah pesawat yang mereka tumpangi menabrak bukit Superga dan menewaskan seluruh penumpang yang berada di dalam pesawat. Nama besar Torino seketika lenyap dikubur tragedi.
Semua diawali dari sebuah surat yang masuk di dalam kotak pos milik salah satu pemain mereka, Valentino “Tino” Mazzola. Tino memilah-milah surat tersebut mengingat jumlahnya cukup banyak sampai kemudian ia melihat sebuah surat dari Francisco “Xico” Ferreira.
Sama seperti Tino, Xico adalah pemain sepakbola yang saat itu bermain untuk timnas Portugal dan Benfica. Maksud Xico mengirim surat tersebut adalah untuk mengajak Torino bermain melawan timnya dalam sebuah pertandingan seremoni. Xico berniat untuk pensiun dan agar pertandingan testimoninya berjalan dengan meriah, maka ia ingin Benfica melawan kesebelasan kuat. Yang ia pilih saat itu adalah Torino.
Il Toro saat itu adalah tim kuat di Serie A. Dalam rentang 1942 hingga 1948, Torino empat kali menjadi juara Liga Italia dengan tiga diantaranya dibuat secara beruntun. Hal ini membuat Xico penasaran terhadap kekuatan mereka. Ada kebanggaan juga bagi dirinya ketika bisa bertanding melawan tim kuat.
“Sahabatku, Saat ini kalian adalah tim terkuat di Eropa. Saya yakin, dengan kehadiran kalian masyarakat pasti akan datang memenuhi stadion untuk melihat pertandingan testimoni saya,” kata Xico dalam suratnya.
Tino kemudian membalas dengan menulis, “Saya akan minta izin kepada Novo (Presiden Torino). Jika dia setuju, maka aku akan datang ke pesta perpisahanmu.”
Ayah dari legenda Inter, Sandro Mazzola tersebut meneruskannya kepada Novo. Beruntung, sang presiden memberikan lampu hijau. Namun Novo menyetujui dengan catatan kalau pertandingan persahabatan tersebut tidak mengganggu jadwal mereka di Serie A yang akan berhadapan dengan Inter Milan dalam waktu dekat.
Hal itu dimaksimalkan dengan baik oleh para pemain. Laga melawan Inter berakhir dengan skor 0-0. Meski begitu, hasil tersebut cukup membawa Torino menjadi juara Serie A keenam kalinya atau yang keempat secara beruntun. Mereka bisa ke Lisbon dengan perasaan yang tenang.
Pada Minggu pagi tanggal 3 Mei 1949, Torino berangkat ke Portugal dengan membawa 18 pemain dan pelatih utama yaitu, Leslie Lievesley. Kebetulan, laga tersebut akan digelar pada malam hari sehingga mereka masih punya waktu untuk istirahat.
Pertandingan yang dimainkan Mintersebut berlangsung lancar. Apa yang Xico bilang terbukti. Penonton benar-benar memenuhi stadion pada saat itu. Yang lebih menyenangkan bagi Xico, Benfica menang 4-3. Tim terkuat itu kalah melawan timnya. Hal ini jelas semakin membuat sumringah Xico dan pendukung Benfica karena mendapat hiburan dari penampilan dua tim hebat tersebut. Tino bahkan sempat memeluk Xico sebagai ucapan selamat. Xico tidak tahu kalau itu adalah pertemuan terakhir dia dengan sahabat Italianya tersebut.
Keesokan harinya, Torino langsung pulang ke Turin dengan naik pesawat dari maskapai Avio Linee Italiane dengan jenis pesawat Fiat G.212 CP. Pesawat itu berangkat dari Lisabon pada 09.40 dan akan mengisi bahan bakar di Barcelona pada pukul satu sigkatang. Di sana, Torino sempat makan siang dulu dan bertemu rombongan dari AC Milan yang sedang dalam perjalanan menuju Madrid.
Pukul 14.50, mereka kembali berangkat. Segalanya masih berjalan baik-baik saja sampai mereka mendapat kabar kalau cuaca di Turin memburuk. Padahal, mereka hanya butuh 30 menit lagi untuk sampai ke tujuan. Segalanya mendadak berubah ketika badai muncul disertai hujan lebat yang membuat pandangan pilot hanya bisa melihat sejauh 40 meter.
Pilot, Pierluigi Meroni, juga tidak bisa menghubungi menara pengawas karena komunikasi kerap terputus akibat cuaca buruk. Pada pukul 17.04, pesawat resmi dinyatakan hilang kontak. Beberapa menit kemudian, tersebar berita kalau sebuah kecelakaan pesawat terjadi di bukit Superga yang ternyata adalah pesawat yang ditumpangi para penggawa Torino. 31 penumpang di dalamnya, termasuk 18 pemain utama tewas termasuk Leslie sang pelatih yang meninggal pada kecelakaan pesawat keempatnya.
Hal ini tentu saja mengagetkan publik Italia maupun kota Turin. Para pemain yang sebelumnya bersenang-senang dalam sebuah pertandingan persahabatan harus menemui ajal hanya sehari setelah pertandingan. Segala upaya dilakukan, bahkan pelatih legendaris Vittorio Pozzo ikut mencari kalau masih ada yang bisa diselamatkan. Sayangnya, upaya tersebut nihil.
Kepedihan juga dirasakan oleh Xico. Ia dihantui oleh rasa bersalah yang begitu besar. Karena suratnya, ia justru membuat sahabat dan rekan setimnya meninggal dunia. Ia tidak bisa tidur. Sebagai bentuk penebusan rasa bersalah, ia memberikan santunan kepada keluarga korban dan meletakkan gambar Torino dalam ruangan pribadinya. Namun, tetap saja itu tidak cukup.
Sauro Toma dan Renato Gandolfi, adalah dua pemain Torino yang selamat dari kecelakaan karena tidak berangkat akibat cedera. Sang presiden, Ferrucio Novo, juga selamat karena terserang flu saat hari pertandingan.
Diadakan pertemuan untuk membahas kelanjutan nasib Torino di Serie A karena masih ada lima pertandingan sisa. Akhirnya tim-tim peserta Serie A sepakat kalau gelar juara diberikan kepada Torino sebagai bentuk penghormatan. Akan tetapi, Torino menolak. Mereka ingin bertanding secara fair dengan mengandalkan pemain juniornya. Kesepakatan terakhir didapat yaitu setiap tim yang bertemu Torino harus menurunkan pemain juniornya agar menciptakan kekuatan yang seimbang. Pada akhirnya, Torino juga yang menjadi juara dengan keunggulan lima poin dari Inter.
Jika tidak ada tragedi Superga, bukan tidak mungkin Torino masih menjadi penguasa Italia untuk waktu yang lama. Setelah kejadian tersebut, mereka sulit untuk membangun nama besarnya kembali. Hanya satu Scudetto yang bisa mereka raih (1975/1976) dan setelah itu kiprah mereka lebih banyak diwarnai di papan tengah atau bahkan di kompetisi Serie B. Bahkan untuk meraih Coppa Italia saja mereka belum mampu melakukannya sejak 1992/1993.
Saat ini, Torino dianggap bukan lagi sebagai kekuatan Italia layaknya tujuh dekade lalu. Meski begitu, hal tersebut tidak akan memupus harapan para penggemar mereka. Pendukung Torino akan selalu menanti nama besar timnya kembali meski hingga saat ini harapan mereka belum kunjung terkabul.