Pesona serial manga Captain Tsubasa memang tak bisa dielakkan. Saking besarnya pengaruh serial anime yang ditayangkan pertama kali di stasiun televisi Jepang, TV Tokyo pada 10 Oktober 1983 ini telah banyak menginspirasi banyak pesepakbola di dunia nyata.
Bukan hanya pesepakbola Jepang, namun banyak pesepakbola dunia. Mulai dari Fernando Torres, Andres Iniesta, Zinedine Zidane, Gennaro Gattuso, Alexis Sanchez, pernah secara terbuka mengakui kalau serial animasi yang di Spanyol bernama “Oliver y Benji” ini membuat mereka memiliki mimpi yang sama besarnya untuk menjadi juara seperti Oliver (nama Tsubasa di beberapa negara Eropa).
Di saat kekaguman jutaan anak-anak di berbagai belahan dunia akan sosok Tsubasa Ozora, penulis melihatnya tidak lebih menarik ketimbang sosok pelatih yang bernama Roberto Hongo. Di dalam cerita, sosok Hongo adalah bekas pesepakbola asal Brasil yang harus rela pensiun karena kerusakan retina mata.
Karena frustrasi, Hongo kemudian mabuk-mabukan sambil menonton anak-anak Jepang yang sedang bermain sepakbola. Dari sanalah, kisah Tsubasa Ozora untuk menggapai mimpi dimulai. Hongo bahkan berperan besar dalam menjadikan mimpi Tsubasa sebagai bintang Jepang yang mendunia. Saking terobsesinya, bahkan penulis kerap mengunakan nama “Roberto Hongo” di user profile gim Championship Manager hingga Football Manager.
Tak banyak yang mengetahui, bahwa sang pengarang Captain Tsubasa, Yoichi Takahashi, terinspirasi dari sosok pesepakbola brilian asal Brazil di era 60-an, Eduardo Gonçalves de Andrade atau yang lebih banyak dikenal sebagai Tostão.
Berbeda dengan kisah Hongo yang menjadi legenda klub Sao Paolo FC, sosok Tostão adalah legenda bagi klub Cruzeiro. Karier Tostão bermula di akademi Cruzeiro, kemudian memulai karier profesional di kesebelasan asal kota Belo Horizonte, America Mineiro pada usia 15 tahun. Debut karier yang gemilang selama semusim disana membuat Cruzeiro meminangnya di musim berikutnya yaitu 1963/1964.
Nama Tostão berarti “pecahan sen” dalam bahasa Portugis. Kisahnya bermula saat Tostão berumur 9 tahun. Ia kala itu sering bermain dengan para pemain lain yang lebih tua darinya semasa bermain sepakbola indoor di Cruzeiro, mendapat julukan tersebut sebagai pujian karena meskipun kecil, namun rajin mencetak gol.
Di usia 19 tahun, Tostão dipanggil masuk timnas Brasil. Pemain bertinggi tubuh 172 cm ini memang dikenal sebagai pencetak gol yang andal meskipun bermain sebagai gelandang tengah. Namanya waktu itu melejit karena berhasil membawa Cruzeiro juara Liga Brazil pada musim 1966 dan mengalahkan kesebelasan Santos FC yang diperkuat bintang-bintang besar saat itu seperti Pelé, Pepe, Mauro, Zito, Mengálvio, Gilmar, serta Coutinho yang lebih dulu masuk tim nasional. Pada laga final Serie-A Brasil, Cruzeiro mengalahkan Santos dengan agregat telak 9-4.
Karena berhasil mempermalukan wajah “Raja Sepakbola Brazil” yaitu, Pelé, perlahan julukan “White King” tersemat pada Tostão. Jika Pelé dijuluki oleh rakyat Brasil sebagai raja yang berkulit hitam atau “Black King”, maka Tostão adalah raja berkulit putih.
Di awal kariernya, ia terkenal karena tendangan kaki kirinya yang akurat, padahal ia bukanlah pemain kidal. Ini dikarenakan sebuah insiden saat ia tidak sengaja menendang sebuah paku dengan kaki kanannya. Saat ia masuk pelatnas timnas Brasil, pelatih memberinya latihan 200 tendangan dengan kaki kanan setiap hari. Sejak saat itu, Tostão adalah pemain yang komplit.
Piala Dunia 1966 merupakan debut resmi Tostão bagi timnas Selecao. Sayangnya, langkah Brasil di Inggris kala itu harus terhenti di babak penyisihan grup. Empat tahun berselang, di Piala Dunia 1970 Meksiko, barulah ia menunjukkan kualitas sebenarnya. Bermain sebagai tandem Pelé di lini serang, Tostão berhasil menyumbangkan trofi Piala Dunia yang ketiga kalinya bagi Brazil.
Setahun sebelum Tostão tampil di Piala Dunia Meksiko, sebenarnya ia mengalami insiden yang membuat penglihatannya bermasalah. Kala itu Tostão yang memperkuat timnas Brazil, melakukan partai persahabatan melawan klub asal Kolombia, Millonarios pada 1 Agustus 1969. Ketika melakukan sebuah duel bola dengan bek Millonarios, Castaños, mata kirinya terkena cedera parah.
Hanya sebulan berselang, mata yang sama kembali tercederai. Dalam sebuah laga turnamen Torneio Roberto Gomes Pedrosa (turnamen cikal bakal Liga Brasil) antara Cruzeiro melawan Corinthians, bek Ditao menendang bola yang terkena mata kirinya. Karena cedera ini, karier sepakbolanya berada di ujung tanduk, meskipun akhirnya ia bisa melewati operasi mata dengan sukses di sebuah rumah sakit di Houston, Texas. Meskipun demikian, ternyata terungkap bahwa dokter yang melakukan operasi mata terhadap Tostão diam-diam melakukan pemeriksaan mata setiap hari, tanpa diketahui orang lain.
Dua tahun sejak memenangkan trofi Piala Dunia, akhirnya Tostão mencoba peruntungan baru dengan pindah ke Vasco Da Gama. Tapi kariernya ternyata tidak bertahan lama. Di tahun itu ia kembali mengalami gangguan penglihatan, dan kali ini lebih parah: Ia divonis terancam mengalami kebutaan permanen setelah mengalami peradangan pada retina.
Dan pada 27 Februari 1973, Tostão resmi mengakhiri kariernya sebagai pesepakbola di usia 26 tahun.
Di usia 28 tahun, Tostão berhasil lulus tes fakultas ilmu kedokteran di Federal University of Minas Gerais (UFMG), Brazil. Pada 1981, Tostão resmi menjadi dr. Eduardo Gonçalves de Andrade dan membuka praktik di kota Minas Gerais.
Tak ingin meninggalkan sepakbola, ia juga sempat menjadi komentator sepakbola di Piala Dunia 1994.Di tahun 1997 ia juga menulis sebuah memoar yang berjudul “Memories, Opinions and Reflections on Football”. Tulisan-tulisannya tentang sepakbola juga pernah terbit di berbagai surat kabar Brazil. Tostão juga menjadi salah satu nama pemain terbaik di abad ke-20 yang dirilis oleh FIFA dan urutan ke-5 di urutan Pemain Terbaik Brazil Abad ke-20 yang dirilis IFFHS.
Jadi, wajar jika seorang Yoichi Takahashi menjadikan “sosok” Tostão dalam jelmaan karakter Roberto Hongo. Meskipun Yoichi belum pernah memberikan pernyataan bahwa siapa sebenarnya yang menginspirasinya membuat karakter tersebut. Namun Tostão adalah satu-satunya legenda Brazil yang terpaksa berhenti bermain sepakbola karena kerusakan retina dan menolak menyerah untuk mewujudkan mimpi-mimpinya.