Beberapa waktu lalu saya membuat tulisan mengenai teori konspirasi yang pernah muncul di dunia sepakbola. Tulisan ini saya buat akibat banyaknya pemberitaan tentang virus COVID-19 yang disebut-sebut merupakan buatan dari manusia. Ada yang menyebut kalau virus ini adalah senjata biologis Cina, namun ada pula yang menyebut kalau virus ini buatan Amerika.
Keadaan semakin ruwet ketika ada yang menyebut kalau Bill Gates adalah otak dari munculnya virus yang sudah menelan banyak korban jiwa ini. Hal ini sampai membawa salah satu dokter di Indonesia tertarik untuk mengajak diskusi salah satu anggota band terkenal yang mengaku menyukai teori-teori konspirasi.
Teori konspirasi sudah ada sejak dulu. Teori ini mengisi ruang-ruang dalam isu populer di masyarakat. Untuk itu saya membuat tulisan tentang sepakbola dan teori konspirasi karena beberapa teori ini juga muncul di dunia sepakbola. Selain itu, sepakbola juga merupakan olahraga yang populer di seluruh dunia. Dari tim bumi datar, misteri Ronaldo, Piala Dunia 1958, hingga beberapa pemain yang percaya pada teori konspirasi menjadi bumbu dalam tulisan pertama tersebut.
Pada tulisan kali ini, ada beberapa kejadian lain terkait teori konspirasi yang menggemparkan dunia sepakbola. Teori-teori yang kebenarannya hingga saat ini masih menjadi sebuah misteri.
Neymar dan The Simpsons
Nyaris semua sudah mengetahui kalau The Simpsons kerap dipercaya sebagai serial kartun yang pandai memprediksi akan adanya kejadian besar yang nantinya akan terjadi di dunia nyata. Mulai dari dilantiknya Donald Trump sebagai Presiden baru Amerika Serikat, pembelian 20th Century Fox oleh Walt Disney, hingga virus Corona, semua hadir dalam serial kartun yang sudah hadir pada 1989 tersebut.
Yang menarik, The Simpsons tidak hanya membahas apa yang akan terjadi di dunia sosial maupun politik, melainkan juga olahraga. Salah satu yang terkenal adalah cederanya Neymar pada Piala Dunia 2014.
Pada salah satu episode The Simpsons yang tayang pada April 2014, Homer Simpson ditunjuk menjadi wasit Piala Dunia pada pertandingan Brasil melawan Jermain pada semifinal Piala Dunia. Dalam tim Brasil saat itu memang tidak ada sosok Neymar melainkan El Divo. Meski raut fisiknya tidak mirip seperti Neymar, namun El Divo digambarkan sebagai sosok pemain andalan Brasil yang punya teknik sepakbola baik tapi juga sering melakukan diving. Ehm, mirip Neymar, bukan?
El Divo saat itu terjatuh ketika sedang menggiring bola. Homer, wasit saat itu, memutuskan untuk tidak memberikan pelanggaran. El Divo kemudian tidak bisa melanjutkan pertandingan dan harus keluar menggunakan tandu.
Beberapa bulan setelah episode itu tayang, Neymar yang asli mengalami cedera ketika menghadapi Kolombia pada perempat final Piala Dunia 2014. Bagian belakang pemain PSG tersebut diterjang oleh Juan Camilo Zuniga. Sama seperti di The Simpsons, wasit pada pertandingan tersebut tidak memberikan pelanggaran karena Brasil mendapatkan advantage.
Neymar sendiri tidak bisa melanjutkan pertandingan bahkan absen hingga akhir turnamen. Brasil menang 2-1 atas Kolombia dan secara kebetulan bertemu dengan Jerman. Yang membedakan adalah skor akhirnya saja. Jika di The Simpsons Brasil kalah dengan skor 2-0, maka di dunia nyata Jerman membantai tuan rumah dengan skor telak 7-1.
Tragedi Chapecoense
Masih dari kartun yang sama, kali ini berkaitan dengan kecelakaan yang menimpa klub sepakbola Chapecoense pada 28 November 2016. Saat itu, kesebelasan asal Brasil tersebut sedang bersiap untuk berangkat ke Kolombia sebagai persiapan untuk menghadapi final Copa Sudamericana melawan Atletico Nacional. Pesawat mengalami kecelakaan akibat gangguan listrik akibat kehabisan bahan bakar.
Mundur jauh pada tahun 1993 dalam salah satu episode berjudul “The Last Temptation of Homer”, ada salah satu scene yang menceritakan tentang salah satu tim sepakbola Brasil yang mengalami kecelakaan pesawat terbang.
Tragedi Chapecoense ini benar-benar menimbulkan luka yang cukup mendalam bagi penggemar mereka sekaligus Brasil mengingat hampir seluruh pemainnya tewas pada kejadian tersebut. Bahkan pelatih mereka juga ikut menjadi korban, Kejadian ini membuat final Copa Sudamericana ditunda dan piala diberikan kepada Chapecoense sebagai bentuk penghormatan.
Gol Aaron Ramsey
Yang terakhir adalah gol Aaron Ramsey. Sejatinya, gol adalah sesuatu yang patut dirayakan dengan gembira. Hanya dengan gol yang banyak, sebuah kesebelasan bisa menjadi pemenang dalam sebuah pertandingan. Namun, tidak bagi Aaron Ramsey. Gol yang selalu ia cetak akan selalu dikait-kaitkan dengan meninggalnya tokoh-tokoh terkenal di dunia.
Kejadian ini tentu hanya sebuah kebetulan, sama dengan teori lainnya. Namun, kejadian ini sudah terjadi belasan kali yang membuat tidak sedikit orang yang percaya kalau gol Ramsey akan membawa kutukan yaitu adanya tokoh ternama yang meninggal dunia.
Aaron Ramsey mencetak gol kemenangan pada laga Arsenal melawan Manchester United pada 1 Mei 2011, sehari setelahnya pimpinan Al Qaeda, Osama bin Laden, meninggal dunia. Pada 2 Oktober 2011, Aaron Ramsey mencetak gol ke gawang Tottenham Hotspur. Tiga hari kemudian, Steve Jobs meninggal dunia.
Beberapa tokoh terkenal yang meninggal dunia setelah Ramsey mencetak gol adalah Nicky Hayden, Ted Kennedy, Muammar Gaddafi, Whitney Houston, Ray Williams, Paul Walker, Robin Williams, David Bowie, Alan Rickman, Nancy Reagan, hingga Chester Bennington. Terkait hal ini, Ramsey kecewa karena bagi dirinya munculnya teori konspirasi yang melibatkan gol yang ia buat adalah sesuatu yang tidak lucu.
Mulai musim 2019, Ramsey pindah ke Juventus. Gol terakhirnya ia cetak pada pertandingan Juventus melawan Inter Milan pada 8 Maret 2020. Tidak ada tokoh terkenal yang meninggal pada tanggal tersebut, tapi sehari setelah gol Ramsey tersebut, kompetisi sepakbola Italia mati total untuk sementara.
***
Teori konspirasi, apa pun isunya sangat menarik untuk dibahas. Rangkaian kejadian yang terjadi membuat kita bertanya-tanya, apakah ini memang sebuah kebetulan? Tidak ada yang melarang seseorang untuk percaya kepada teori konspirasi. Namun, perlu diingat kita juga perlu memberikan ruang sedikit untuk bersikap kritis agar pikiran kita tidak hanya terpusat pada satu dimensi saja. Setidaknya itulah yang dikatakan oleh Herbert Marcuse.