Seperti yang sudah diprediksi sebelumnya, gelar LMA Manager of the Year jatuh ke tangan Jurgen Klopp. Keberhasilan dia membawa Liverpool meraih gelar Premier League membuat namanya terpilih untuk mendapat gelar tersebut sekaligus mengalahkan Marcelo Bielsa, Chris Wilder, dan Gareth Ainsworth.
Klopp memang layak mendapat gelar tersebut. Ia mengubah The Reds kembali menjadi tim yang menyeramkan setelah sebelumnya berkutat di jurang kesengsaraan. Empat trofi bergengsi dalam dua musim terakhir menandakan prosesnya selama empat setengah musim kariernya mulai membuahkan hasil.
Inilah kali pertama Klopp mendapat gelar manajer terbaik setelah sebelumnya hanya mendapat gelar Manager of the Month. Ia tidak hanya mendapatkan piala semata melainkan juga sebuah pujian dari sosok yang ia kagumi dalam karier kepelatihan yaitu Sir Alex Ferguson.
Sebelum gelar ini diangkat oleh Klopp, Sir Alex memberikan sambutan kepada mantan pelatih Mainz ini. Keberadaan Fergie tidak lepas dari namanya yang diabadikan menjadi nama trofi tersebut. Sang manajer United tersukses sepanjang masa ini tidak bisa menyimpan rasa kagumnya kepada Klopp dan menyebut kalau dia memang pantas menjadi yang terbaik di liga musim ini.
“Kamu benar-benar pantas mendapatkannya. Tingkat kinerja tim Anda luar biasa. Kepribadian Anda menyatu di seluruh tim. Itu adalah penampilan yang luar biasa. 30 tahun yang dilalui Liverpool sejak menjadi juara sungguh luar biasa,” kata Ferguson.
“Saya akan memaafkan Anda karena membangunkan saya jam setengah empat pagi hanya untuk memberi tahu saya kalau Anda telah memenangkan liga. Terima kasih, tapi bagaimanapun Anda benar-benar layak menerimanya. Anda menyelesaikan tugas dengan baik,” ujarnya menambahkan.
Klopp jelas bangga dengan pujian tersebut. Sebuah kalimat apresiasi yang keluar langsung dari idolanya. Dia sempat meminta izin sebelum mengucapkan kalimat kalau dia mengagumi sosok Sir Alex mengingat keduanya identik dengan kesebelasan yang saling benci satu sama lain. Namun, Klopp jelas tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya bisa bersanding dengan Fergie meski hanya dari jarak jauh.
“Saya tahu kalau hal ini tidak 100 persen pantas karena saya manajer Liverpool. Tetapi, saya sangat mengaguminya. Saya ingat dia adalah manajer Inggris pertama yang saya temui. Kami pernah sarapan. Saya tidak yakin apakah dia masih ingat, tapi saya masih ingat semua karena momen itu rasanya seperti bertemu dengan Paus. Kami ‘nyambung’ satu sama lain dan saya tidak menyangka bisa memegang trofi ini dengan nama dia,” ujar Klopp.
Saling Menghormati dan Saling Mengagumi
Apa yang diucapkan kedua manajer hebat ini bisa saja merupakan sebuah psy war. Perang urat syaraf tidak mesti saling menjatuhkan atau melontarkan kritik. Pujian pun bisa menjadi sebuah psy war. Hal ini ditambah dengan rivalitas Liverpool dan United yang semakin kencang setelah keberhasilan The Reds memperkecil jarak gelar Liga Inggris dengan mereka.
Namun, jika melihat komentar yang keluar dari mulut masing-masing, maka keduanya lebih terkesan sebagai penggemar yang mengagumi idolanya. Alih-alih menyebut komentar keduanya sebagai psy war.
Kedua sosok ini sebenarnya memiliki kesamaan. Salah satunya adalah karisma. Mereka sama-sama dihormati oleh para pemainnya. Bersama United dan Liverpool, keduanya menanamkan mental juara yang membuat kedua timnya begitu ditakuti di domestik maupun Eropa. Sejak awal, kedua manajer ini saling memuji satu sama lain. Klopp menyebut kalau Ferguson adalah sosok John Lennon di sepakbola.
“Saya hanya butuh 10 menit untuk langsung mengerti apa yang dia ucapkan. Dialah yang terhebat. John Lennon di sepakbola. Ada rasa hormat begitu besar. Apa yang dia lakukan dalam hidupnya sebagai manajer tidaklah mudah untuk dilakukan banyak orang,” kata Klopp.
Setidaknya Klopp sudah merasakan proses yang sama seperti Ferguson. Keduanya butuh empat tahun untuk mendapatkan trofi pertamanya bersama klubnya masing-masing. Klopp juga pernah merasakan betapa tidak enaknya berada dalam tekanan karena tidak kunjung berprestasi. Setelah kerjanya mulai menemui hasil, mereka bergelimang kesuksesan.
Yang paling terlihat jelas adalah mental juara yang dimiliki Liverpool. Tidak jarang mereka menang melalui gol pada menit terakhir. Mentalitas yang dulu lekat dengan United era kepelatihan Sir Alex Ferguson dengan Squeaky Bum Time yang menjadi ciri khas.
“Saya pernah berada dalam satu ruangan dan dia memanggil saya ‘Oh Jurgen, ke sini.’ Saya sempat tidak tahu dia bicara apa karena logat Skotlandianya cepat sekali. Saya berusaha untuk menjadi lebih tenang dan mengambil banyak pelajaran dari dirinya sama seperti ketika saya belajar dengan Kenny Dalglish,” ujarnya.
“Saya akan selalu mengaguminya dari jauh. Saya tidak tahu apakah bisa seperti dia dengan bertahan lebih dari 20 tahun di sini bersama Liverpool. Mungkin akan sangat berbeda karena dia adalah sosok yang kompetitif,” tuturnya menambahkan.
Ferguson juga memiliki perasaan yang sama kepada Klopp. Ada kekaguman dalam dirinya melihat kemampuan Klopp menangani sebuah kesebelasan. Bahkan ketika Liverpool menunjuk Klopp untuk menggantikan Rodgers, Fergie mulai khawatir Klopp akan membuat Liverpool kembali ditakuti dan status sebagai tim terbaik di Inggris akan pindah.
‘Saya khawatir tentang dia karena yang tidak saya inginkan adalah Liverpool akan melampaui United. Mereka punya Klopp yang begitu fantastis. Sosok orang yang melakukan pekerjaannya dengan baik dan membangkitkan kembali antusiasme Liverpool,” katanya.
Kekhawatiran ini bisa saja dikarenakan kegagalannya membawa Klopp untuk bergabung dengan United pada 2013. Saat itu, Klopp tidak bisa memenuhi keinginan Ferguson karena ia belum mau meninggalkan Dortmund dan merasa kalau ia masih ingin memiliki loyalitas bersama Dortmund. Bisa saja United tidak akan puasa gelar sepanjang ini jika Klopp yang menggantikan tempatnya dan bukan David Moyes.
Ferguson adalah role model bagi Klopp. Ia tentu berharap bisa mengikuti jejaknya sebagai manajer terlama yang pernah melatih sebuah kesebelasan. Seandainya hal itu tidak bisa dipenuhi, maka Klopp tentu ingin menjadi pelatih yang punya banyak gelar meski harus pindah-pindah kesebelasan. Satu hal yang pasti, kedua orang ini adalah manajer terbaik di era yang berbeda.