Sepanjang sejarah dunia sepakbola, kita semua sudah pernah disuguhkan cerita ketika sebuah kesebelasan non unggulan tiba-tiba membuat kejutan dengan menjadi juara. Denmark pada Euro 1992, Yunani Euro 2004, dan Leicester City pada Premier League 2015/2016 adalah beberapa diantaranya.
Namun, kisah fairy tale seperti ini tidak hanya terjadi di Eropa. Asia juga pernah mengalaminya. Kejadiannya terjadi pada tahun 2007 saat Asia Tenggara mendapat kesempatan menjadi tuan rumah ajang empat tahunan tersebut. Senayan saat itu menjadi saksi ketika Irak menjadi juara Piala Asia untuk pertama kalinya sepanjang sejarah.
Di hadapan 60 ribu penonton yang memadati stadion utama Gelora Bung Karno, Singa-singat Mesopotamia sukses mengalahkan Arab Saudi dengan skor tipis 1-0. Sundulan kepala Younis Mahmoud pada menit ke-72 menjadi penentu kemenangan mereka.
Apa yang mereka hasilkan saat itu terbilang cukup mengejutkan mengingat perjalanan mereka menuju final penuh dengan serangkaian masalah. Mereka bukan non unggulan. Siapa yang berani menjagokan Irak menjadi juara saat Asia memiliki Jepang dan Korea Selatan. Belum lagi ada Australia yang saat itu menjadi anak baru dari AFC.
Persiapan mereka jelang turnamen terganggu banyak hal. Yang paling utama adalah perang. Kita semua sudah tahu kisruh yang melibatkan mereka dengan para teroris dan serangan yang berasal dari Amerika Serikat. Perang membuat negara mereka berada dalam kondisi terpincang-pincang. Kondisi ini memaksa mereka harus menjalankan laga kualifikasi di Uni Emirat Arab.
Belum lagi kondisi para pemain yang keluarganya turut menjadi korban. Saudara dari istri Noor Sabri Abbas tewas tertembak jelang keberangkatan mereka ke Bangkok yang menjadi home base mereka. Ibu tiri gelandang Hawar Muhammad juga meninggal. Asisten pelatih mereka juga dirampok saat bertandang ke Vietnam. Beberapa suporter mereka juga sempat menjadi korban karena kena peluru nyasar.
Tugas sangat berat bagi Jorvan Viera yang baru ditunjuk dua bulan sebelum turnamen bergulir. Jorvan sendiri merasakan betul sulitnya menangani tim ini. Mereka hanya punya dua kemenangan dari delapan laga sebelum turnamen. Selain itu, perang memaksa mereka berlatih di luar Irak dan membuat mereka harus menggelar latihan di Yaman.
Saat ingin melakukan latihan pertama sebagai persiapan ke Piala Asia, Jorvan hanya memiliki enam pemain yang siap berlatih. Klub-klub asal Irak tidak mau melepas pemainnya. Jorvan beruntung karena ada pemain mereka yang berkiprah di luar Irak. Jorvan juga tambah pusing saat tim nasional Irak ternyata diisi oleh pemain dengan latar belakang yang berbeda seperti Sunni, Syiah, dan Kurdi. Hal ini yang membuat tim ini seperti kehilangan rasa persatuan.
“Tim ini tidak punya rasa kesatuan karena hubungan pemain sangat buruk. Tim ini juga tidak boleh diwarnai dengan pembicaraan politik atau bahkan kepentingan pribadi,” ujarnya. “Selain itu, kami juga memiliki beberapa pemain yang kehilangan saudara dalam konflik. Inilah yang membuat kami hanya memiliki enam pemain dalam sesi latihan kami.”
Hambatan seakan tidak mau pergi dari kubu Irak. Fisioterapis mereka menjadi korban bom di Baghdad. Kejadiannya dua hari sebelum tim berangkat ke Thailand. Saat tim sudah berangkat ke Bangkok, mereka tertahan di imigrasi hingga delapan jam. Selain itu, mereka juga sempat mengalami ketidak pastian soal home base mereka.
“Fisio kami terbunuh oleh bom di Baghdad dua hari sebelum ke Bangkok. Saat itu, ia sedang dalam perjalanan ke agen perjalanan untuk membeli tiket. Setibanya kami di sana, dua pemain kami ditahan imigrasi selama delapan jam. Saya menemukan kami tidak punya peralatan untuk berlatih. Bahkan kami memiliki masalah dengan makanan dan hotel. Semuanya adalah mimpi buruk,” kata Viera.
Membayar Tuntas di Lapangan
Akan tetapi, segala keterbatasan itu tidak terlihat di atas lapangan. Setelah menahan imbang 1-1 tuan rumah, mereka mengejutkan dunia dengan menang 3-1 atas Australia. Hasil imbang tanpa gol melawan Oman sudah cukup membuat mereka finis sebagai juara grup di atas Australia.
Pada babak delapan besar, Irak kembali menerkam negara Asia Tenggara lain yaitu Vietnam. Dua gol Younis Mahmoud saat itu membawa mereka melangkah ke semifinal sekaligus melampaui prestasi pada tiga turnamen sebelumnya. Kemampuan Irak kemudian diuji oleh Korea Selatan di Kuala Lumpur. Lagi-lagi, Irak mengejutkan dengan mengalahkan mereka melalui adu penalti dengan skor 4-3. Kemenangan yang membuat mereka melangkah ke Senayan untuk menghadapi Arab Saudi dan menjadi juara di tengah dukungan suporter Indonesia yang lebih condong mendukung Irak.
“Dongeng mereka sangat lengkap. Tim yang sebelumnya tanpa harapan. Tim yang tidak punya home base, pelatih yang baru bekerja dua bulan, menunggu di lobi hotel berja-jam, tim yang sempat tertahan karena paspor, namun berhasil memberi sukacita bagi negaranya yang berantakan. Politik mereka mungkin gagal, tapi sepakbola berhasil mengalahkan itu semua. Irak juara Asia,” kata Simon Hill.
Ada kisah menarik lain dari perjalanan mereka di Piala Asia saat itu. Skuad Irak hanya memiliki satu jersey yang harus dipakai terus sepanjang turnamen. Inilah yang membuat mereka tidak bisa melakukan tradisi tukar kostum. Lucunya lagi, Nashat Akram bahkan sudah pesan tiket tanggal 17 Juli atau sehari setelah laga terakhir grup karena yakin negaranya akan pulang lebih dulu.
Keberhasilan Irak saat itu membuat rakyat mereka tumpah ruah ke jalan untuk berpesta. Sejenak, mereka melupakan suara eras meriam dan desingan peluru demi mendengarkan suara yang belum pernah mereka dengarkan sebelumnya yaitu pekik warga Irak merayakan kemenangan. Seperti apa yang dikatakan Simon Hill, sepakbola saat itu mengalahkan semuanya termasuk perang sekalipun.