Transisi demokrasi pada pertengahan 1970-an di Portugal, berpengaruh besar kepada hubungan klub dengan para suporternya. Sejak itulah kelompok suporter sepakbola wajib mendaftarkan diri kepada Institusi Olahraga dan Pemuda Portugal (Instituto Português do Desporto e Juventude).
Tidak terkecuali bagi dua kelompok suporter besar Benfica yang menjadi konflik tersendiri antara Diabos Vermelhos dengan No Name Boys. Diabos Vermelhos memiliki arti Setan Merah yang dibentuk pada 11 November 1982. Dibentuk ketika berlangsungnya Piala Eropa 1981/1982.
Kemudian mereka menjadi kelompok suporter yang menghuni sudut utara Estadio da Luz atau dikenal Topo Norte. Vermelhos sendiri merupakan salah satu kelompok suporter tertua di Portugal. Pada tahun-tahun berikutnya, anggotanya bisa mencapai 5.000 anggota.
Tetapi pada awal tahun 1990-an, ketidaksepakatan di dalam tubuh Vermelhos menghasilkan pembentukan kelompok suporter Benfica lainnya, yaitu No Name Boys. Terjadi perselisihan dalam Vermelhos konon karena perilaku politik yang menyimpang.
Memang seperti yang ditulis pada bagian sebelumnya, bahwa pendukung Benfica seringkali digunakan sebagai bahan kampanye calon presiden klub tersebut. Sementara terjadi perselisihan, nama Vermelhos pun diperebutkan. Kubu yang kontra menyebut Vermelhos yang tersisa dan sebagai suporter Benfica sejati.
Tapi karena nama Vermelhos sudah terdaftar dan sudah menjadi bagian politik, pada akhirnya yang ‘tersisa’ itu memilih No Name Boys. Setelah didirikan pada 4 Maret 1992, mereka sering berada di sudut selatan Estadio da Luz atau yang dikenal Topo Sul. Selain tribun berseberangan, No Name Boys memilih untuk bersikap tolak belakang dibanding Vermelhos.
Yaitu dengan cara menghindari politik pemilihan Presiden Benfica maupun menjauhi pemberitaan publik. Meski sempat tersiar kabar bahwa Manuel Vilarinho, mantan Presiden Benfica, sempat berada di tribun selatan pada masa kampanye.
Di sisi lain, No Name Boys berhasil membuat dampak langsung atas kehadiran yang besar di semua pertandingan Benfica saat kandang maupun tandang. Mereka identik dengan logo yang sederhana, spanduk berwarna merah putih atau hitam dan nyanyian panjang yang terdengar kuat.
Selain itu juga ada beberapa pertarungan sengit dengan kelompok suporter lain sehingga menjadikan No Name Boys menjadi salah satu pendukung paling populer di Portugal selama awal 1990-an. Tapi hal itu berdampak negatif terhadap Verholmos yang keanggotaanya anjlok ke titik rendah.
Memaksa para pemimpin lama kembali sehingga berhasil memulihkan Vermelhos dan kembali mendapatkan anggota secara eksponensial. Bentrokan antara kedua kelompok ini pun sering terjadi. Seperti pada 5 Januari 2002 adalah bentrokan terbesar antara Vermelhos dengan No Name Boys. Pada saat itu, Vermelhos sendiri memang sedang kesal atas protes yang dilakukan.
Mereka memunggungi pertandingan dan meninggalkan stadion setelah babak pertama berakhir. “30 menit sebelum pertandingan, ada ketidaksepakatan di antara para pendukung kedua klub. Dua pendukung dari Diabos Vermelhos dibawa ke Rumah Sakit de Santa Maria dengan cedera punggung ringan dan memar di kepala. Cedera punggung diakibatkan oleh serangan benda tajam, itu bisa jadi pisau dan memar di kepala dari tendangan,” ringkas Luis Simoes, polisi Portugal seperti dikutip dari Direto.
Insiden ini merupakan gejala dari sesuatu yang bias kemudian menjadi serius di kalangan suporter. Sebab No Name Boys justru menjalin persahabatan dengan Ultras Torcida Split. Kendati demikian, Vermelhos dan No Name Boys punya musuh yang sama, yaitu suporter Porto dan Sporting Lisbon.
Ketika Ultras Menjadi Kekuatan Lain Benfica
Meski terafiliasi dengan klub, Vermelhos memiliki pengaruh kuat terhadap kebijakan Benfica. Bahkan di cabang olahraga hoki sekalipun. Yaitu ketika menggagalkan kontrak Paulo Alves yang merupakan mantan pemain Porto. Alasannya karena Alves pernah menyerang pendukung Benfica berusia 14 tahun saat masih memperkuat Porto.
Gagalnya mengontrak Paulo Alves menjadi salah satu pengunduran diri Jose Carlos Franco selaku petinggi cabang olahraga hoki Benfica. “Bagaimana mungkin seorang pendukung sepakbola memiliki kekuatan lebih dari pemimpin?,” imbuh Jose seperti dikutip dari Wayback Machine.
Pada 24 Januari 2012, Diabos Vermelhos mengumumkan tidak akan menonton pertandingan melawan Feirense karena tingginya harga tiket yang diminta lawannya itu. Feirense menetapkan minimum harga jual tiket 25 euro. Padahal, biasanya menjual tiket pertandingan lain seharga 10 euro.
Alasan Feirense karena kapasitas Stadion Marcolino de Castro terbatas dan Benfica selalu datang dengan dukungan yang banyak. Tetapi pada saat itu sedang terjadi krisis ekonomi negara sehingga kebijakan harga tiket dianggap tidak realistis oleh Vermelhos.
Absennya pendukung Benfica pada pertandingan itu merupakan situasi yang jarang terjadi dalam 30 tahun sejarah ultras tersebut. Biasanya, mereka selalu loyal memberikan dukungan langsung pertandingan tandang Benfica. Meskipun sebelumnya, petinggi Benfica pernah melibatkan Vermelhos untuk memboikot pertandingan pada akhir 2010 karena kecewa terhadap kepemimpinan wasit saat kurun waktu tersebut.
Situasi yang terjadi di tribun sepakbola Benfica ini cukup menarik. Terjadi sebuah intrik atas sebuah sikap bagaimana yang seharusnya dilakukan kepada sebuah klub sepakbola. Meskipun di sisi lain sikap berbeda menghasilkan kekuatan yang tidak setara terhadap kekuatan di tribun utara maupun selatan.