Mendatangkan Maurizio Sarri pada musim panas lalu cukup berani bagi Juventus demi permainan yang lebih modern. Namun Juventus gagal mendapatkan perburuan untuk mendapatkan kejayaan di Liga Champions. Ini adalah langkah yang buruk bagi kesebelasan berjuluk Si Nyonya Tua tersebut.
Giorgio Chiellini dkk., sangat terobsesi memenangkan Liga Champions untuk menjadi super club. Tapi kompetisi Eropa itu diibaratkan seperti lotre. Bukan berarti gelar Liga Champions bisa didapatkan kesebelasan terbaik sepanjang kompetisi domestik. Melainkan didapatkan kepada mereka yang punya bensin paling banyak di dalam tangkinya.
Ketersediaan isi tangki itu terlihat lebih jelas di era pandemi ini. Sebab kesebelasan dari Jerman dan Prancis mendapatkan lebih banyak waktu istirahat secara signifikan daripada wakil Italia. Satu pekan sebelumnya, Serie-A baru menyelesaikan kompetisinya. Dalam hal ini, membuat Sarri difitnah sebagai amatiran hanya karena satu kekalahan di pertandingan Liga Champions.
Terlepas dari tepat atau tidaknya keputusan pemecatannya, padahal Juventus bukanlah satu-satunya korban dari kejamnya Olympique Lyonnais. Kekalahan 3-1 Manchester City pun merupakan korban Lyon berikutnya. Sementara Sarri dipecat pada hari setelah tersingkir dari Liga Champions.
Kemudian semua spekulasi siapa penggantinya mengarah ke Mauricio Pochettino. Tapi justru sebaliknya, Juventus mempertaruhkan semuanya dengan mempercayakan Andrea Pirlo. Pertaruhannya hanya sekitar seminggu setelah penunjukannya sebagai Pelatih Juventus U-23 dalam peran manajerial pertamanya.
Pirlo menandatangani kontrak dua tahun untuk mengisi posisi Sarri. Kontrak selama itu menunjukan bahwa Juventus tidak akan ragu-ragu mencabut Pirlo. Tugasnya adalah membawa Juventus ke tempat yang tidak bisa dilakukan oleh para pendahulunya.
Pemecatan Sarri menyatakan dengan lantang bahwa scudetto bukanlah tujuan utama Juventus. Kedatangan Cristiano Ronaldo pun langkah jelas Juventus tidak lagi puas dengan juara di Italia. Presiden Juventus, Andrea Agnelli, menginginkan lebih. Mereka ingin menjadi superclub dalam semalam di bawah manajer yang membutuhkan waktu untuk menjadikan tim miliknya sendiri.
Tapi apakah penunjukan Pirlo bisa menjadi petunjuk lain pada pengejaran Juventus untuk menjadi super club?
Juventus Mempertaruhkan Segalanya Kepada Andrea Pirlo
Bagi Pirlo, ini adalah peluang bagus untuk mengevaluasi ulang dan membangun sistem kesebelasan yang ditanganinya sekarang. Ia membawa pengalaman besar menjuarai Liga Champions saat menjadi pemain AC Milan yang menjadi superclub pada dua dekade lalu.
Pirlo juga tahu bahwa memenangkan Liga Champions telah menjadi persyaratannya di Juventus. Apalagi ia berada di skuat Juventus pada final Liga Champions 2014/2015.
“Keputusan untuk Pirlo sangat alami dengan gaya Juventus karena dia adalah seseorang yang seperti kami katakan lebih dari seminggu lalu bermain dengan kami, selalu berhubungan dengan semua orang di sini dan itu terasa alami,” jelas Fabio Paratici, Direktur Olahraga Juventus, seperti dikutip dari Football Italia.
Pirlo menjadi sosok legendaris terbaru untuk mengelola Juventus yang sangat dinikmatinya sebagai pemain sukses. Mengikuti jejak Zinedine Zidane di Real Madrid, Josep Guardiola di Barcelona, Ole Gunnar Solskjaer di Manchester United dan Frank Lampard di Chelsea.
Pirlo akan dibungkus dengan ruangan tim kelas satu di belakangnya. Agnelli memiliki harapan tinggi untuk pertaruhannya yang berisiko tinggi. Pirlo diduga bisa meniru Zidane dengan cara mendapatkan rasa hormat langsung dari skuatnya. Termasuk beberapa mantan rekan kesebelasannya. Di antaranya adalah Gianluigi Buffon yang lebih tua daripada Pirlo.
“Kami juga percaya dia ditakdirkan untuk menjadi hebat. Dia sebagai pemain dan kami pikir dengan percaya diri dia bisa melakukan hal yang sama sebagai pelatih,”
Tapi Pirlo mungkin janji paling berisiko yang pernah dibuat Juventus. Aspek paling menarik dari penunjukan Pirlo adalah kurangnya pengalaman. Mantan gelandang Milan itu hanya memiliki lisensi Pro UEFA di awal musim panas. Pirlo mengambil lisensi kepelatihannya sambil bekerja sebagai pengamat sepakbola untuk Sky Sports Italia.
Tentu saja menjadi komentator yang hebat tidak selalu sama seperti pelatih. Tidak percaya? Tanyakan saja kepada Gary Neville.
Menebak Filosofi Taktik Andrea Pirlo
Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang akan dibawa Andrea Pirlo ke meja taktik Juventus. Indikasinya, bahwa ia akan menggunakan formasi 4-3-3 yang mirip dengan Sarri. Tetapi detailnya masih belum jelas. Tidak banyak yang dikethaui tentang filosofi manajerial Pirlo pada tahap ini.
Dia baru-baru ini memberitahu bahwa 4-3-3 adalah formasi yang diinginkannya, dengan semua pemain bergerak maju dan banyak menguasai bola. Saat mengawali melatih Juventus U-23, Pirlo mengungkapkan kecintaannya kepada permainan operan pendek dan menekankan pentingnya kemenangan.
“Saya memiliki cara bermain yang spesifik dalam pikiran saya. Itu dengan bola ke kaki dan selalu mengejar kemenangan,” ungkapnya.
Meskipun mengagumi Sarri, Pirlo menyatakan tidak akan keras kepala. Dia akan fokus untuk mendapatkan yang terbaik dari ketersediaan pemainnya.
“Saya suka gaya sepakbola Sarri, playmaker begitu banyak dengan bola dan saya benar-benar menikmatinya. Saya perlu menjelaskan kepada para pemain ini apa arti Juventus sebenarnya,” jelas Pirlo.
Cengkraman Juventus di Serie-A telah didapatkan dalam sembilan tahun terakhir. Mereka tampaknya siap untuk kehilangannya jika itu berarti harus memenangkan Liga Champions. Atau Juventus mungkin berakhir tanpa keduanya karena kursi panas yang diduduki Pirlo. Membuat mereka sendiri lebih rusak lagi dalam jangka panjang dibandingkan mempertahankan Sarri.