David Ginola mungkin tidak menyangka kalau umpan silangnya justru menjadi malapetaka bagi negara dan juga dirinya sendiri.
Sebelum mengenal Zinedine Zidane, Perancis memiliki salah satu pemain berbakat lainnya di lini tengah bernama David Ginola. Pergerakannya di atas lapangan begitu seksi untuk dilihat. Liukannya juga tidak jarang sukses menipu pemain belakang lawannya. Selain itu, ia juga dibekali paras yang tampan sehingga ia cukup mudah untuk menjadi idola di setiap klub yang ia perkuat.
Sayangnya, Ginola tidak sekaya Zidane jika berbicara soal raihan gelar. Trofi tertingginya hanya Liga Perancis musim 1993/1994. Meski bersinar ketika bermain di Inggris, namun trofinya hanya satu gelar Piala Liga Inggris yang ia raih bersama Tottenham Hotspur. Jika Zidane sukses menjadi pahlawan bagi negaranya dengan membawa Perancis menjuarai Piala Dunia 1998, maka Ginola justru menjadi musuh bagi negaranya karena gagal membawa mereka bermain pada turnamen empat tahunan tersebut.
Perancis (13 poin) saat itu ingin membayar kegagalan mereka yang sebelumnya tidak lolos pada Piala Dunia 1990. Peluang itu terbuka lebar karena Perancis hanya butuh satu angka pada pertandingan terakhir melawan Bulgaria pada 17 November 1993 untuk bisa lolos ke Amerika Serikat, tuan rumah turnamen. Kesempatan semakin terbuka lebar karena Perancis bertindak sebagai tuan rumah. Di sisi lain, Bulgaria yang memiliki 11 poin juga masih bisa lolos jika sukses mengalahkan Perancis.
Tiket itu tampak sudah bisa digenggam setelah Eric Cantona mencetak gol pada menit ke-31. Akan tetapi, Emil Kostadinov menyamakan kedudukan enam menit kemudian. Skor ini terus bertahan dan sudah menjadi target minimal Gerard Houllier, pelatih Perancis saat itu. Sampai pada akhirnya petaka muncul pada menit terakhir pertandingan.
Ketika itu, Perancis mendapat tendangan bebas di pinggir lini pertahanan Bulgaria. Menerima bola dari rekan setimnya, Ginola memilih melakukan akselerasi disaat satu Perancis berharap dia membawa bola itu ke dekat bendera sepak pojok dan mengulur waktu. Akan tetapi, Ginola bernafsu untuk membuat satu serangan lagi dengan memilih melakukan umpan silang.
Sayangnya, umpan silang Ginola terlalu tajam dan tidak ada yang menyambut. Bola jatuh ke kaki pemain Bulgaria yang memanfaatkan kesalahan tersebut menjadi sebuah serangan balik yang kemudian sukses dieksekusi oleh Emil Kostadinov untuk membalikkan keadaan. Nada komentator TF1 yang bersemangat ketika memandu jalannya pertandingan langsung melemah ketika gol ini terjadi karena gol ini membuat Perancis kembali gagal ke putaran final.
Kesedihan terpancar jelas dari para pemain Perancis. Didier Deschamps menangis, Laurent Blanc hanya bisa terjongkok di tengah lapangan, sementara kamera langsung mengarah ke Ginola yang tertunduk di dekat papan iklan sedangkan Houllier langsung menuju ruang ganti sembari menyimpan kekecewaan kepada Ginola.
“Hanya sisa 30 detik kami akan lolos, tapi kami ditikam dari belakang dengan cara yang buruk. Wasit sudah menempelkan peluit di mulutnya ketika Ginola menguasai bola. Tapi dia justru mengirim umpan silang ketimbang menahan bola. Bulgaria mendapat angin dan memukul kami dari serangan balik,” kata Houllier dalam bukunya, coaches secrets.
Ginola menjadi kambing hitam satu Perancis. Hal ini tidak lepas karena dia adalah pemain Perancis terakhir yang menyentuh bola. Media Perancis menyebut Ginola sebagai ‘pembunuh sepakbola Perancis’. Ada juga yang menyebut Ginola sebagai sosok yang ‘mengirim rudal ke jantung sepakbola Perancis’. Tuduhan itu membuat Ginola kecewa. Ia seperti menanggung beban kekalahan ini sendirian.
“Mudah untuk bilang kalau Ginola adalah penjahat, tapi sepakbola adalah pertandingan 11 lawan 11. Ketika menang, kamu menang dengan 11 pemain, sedangkan ketika kalah maka kamu juga kalah dengan 11 pemain. Pada saat itu, saya seperti menanggung semuanya sendirian,” kata Ginola.
“Tuduhan itu menghantui saya selama sisa hidup saya. Saya yakin kalau orang yang lebih lemah dari saya akan hancur ketika mendapat tuduhan ini.”
Ginola bahkan menuntut pelatihnya tersebut dengan pasal pencemaran nama baik terkait ucapannya pada buku tersebut pada tahun 2012. Akan tetapi, pengadilan menolak tuntutan tersebut karena kalimat Houllier tidak bisa dinilai sebagai pencemaran nama baik.
Kejadian ini disebut-sebut menjadi alasan kenapa Ginola memilih meninggalkan Perancis dan hijrah ke Inggris untuk memperkuat Newcastle United dan menjadi idola bersama The Magpies dan Tottenham Hotspur.
Karier Ginola bersama tim nasional sebenarnya tidak langsung berakhir. Manajer pengganti Houllier, Aime Jacquet, beberapa kali masih memanggil Ginola. Akan tetapi, Ginola sudah kadung tidak nyaman memakai seragam biru Perancis karena merasa tidak lagi mendapat simpati akibat insiden tersebut hingga pada 1995 melawan Azerbaijan menjadi pertandingan internasional terakhir Ginola. Sepanjang kariernya, dia hanya memiliki 17 penampilan tim nasional. Tragis, tiga tahun kemudian Perancis justru menjadi juara dunia untuk pertama kalinya ketika berstatus sebagai tuan rumah.