Bayern Munich saat ini sangat digdaya di Bundesliga. Nyaris sulit tersaingi. Hanya Borussia Dortmund yang mampu setidaknya “mengganggu” dominasi Bayern Munich di Bundesliga. Namun di masa Perang Dunia II, Bayern Munich adalah satu dari empat kesebelasan (Eintracht Frankfurt dan FSV Frankfurt di Jerman serta FK Austria Wien di Austria) yang mengalami diskriminasi besar dengan julukan Judenklub.
Judenklub sendiri dalam bahasa Jerman berarti “Jewish Klub” atau klub yang dimiliki atau berkaitan erat dengan Yahudi pada zaman itu. Diskriminasi ini dilakukan oleh Adolf Hitler, yang berkuasa sejak 1933. Diskriminasi rasial yang memang sudah dicanangkan dari awal oleh Hitler, berlanjut hingga ke sepakbola sebagai wujud propaganda.
Bayern Munich pada masa itu merupakan tim dengan “Jewish Connection” yang cukup kuat. Dua dari 17 pendiri Bayern Munich adalah Yahudi. Kurt Landauer, Presiden klub ketika Hitler berkuasa, merupakan Yahudi, yang menyebabkan dirinya di bawah tekanan Hitler. Landauer mengungsi di Inggris untuk menghindari tekanan tersebut.
Di era Hitler, Judenklub terpaksa harus mengurangi atau bahkan meniadakan orang Yahudi di klub mereka. Bagi yang mempertahankan orang Yahudi di dalam klub, mereka tekanan akan adanya boikot, atau bahkan ancaman penjara hingga diculik.
Di era itu, Bayern Munich memilih mempertahankan sebagian pemain. Namun, beberapa dari mereka memilih mengundrukan diri untuk mengungsi ke negara lain. Munich bahkan harus kehilangan sebagian besar suporter klub. Suporter lebih memilih mendukung kesebelasan tetangga, TSV 1860 Munich, karena adanya ancaman tegas dan propaganda atas Judenklub dari Hitler. Hal ini pun memengaruhi pendapatan klub karenanya.
Setali tiga uang dengan Bayern Munich, Eintracht Frankfurt mengalami hal yang sama. Frankfurt sendiri bersama dengan Munich, Berlin, dan Düsseldorf, memang dikenal sebagai kota dengan populasi Yahudi cukup banyak.
Eintrach Frankfurt yang didirikan 1899 oleh sekelompok Yahudi, mengalami diskriminasi luar biasa dari Hitler. Meskipun pada 1933 semua Yahudi bermigrasi ke Inggris, tapi Hitler tetap menganggap Eintracht Frankfurt sebagai Judenklub.
Eintracht Frankfurt seringkali mendapatkan cemoohan dari suporter klub lawan atau anggota klub yang membenci Yahudi. Salah satu ceritanya saat Bayern menghadapi SpVgg Fürth di final Deutsche Meisterschaft. Hugo Mantel pemain dengan empat caps untuk timnas Jerman, merendahkan Frankfurt sebagai “klub Yahudi” dan membanggakan dirinya sebagai “Bangsa Arya” dalam wawancara dengan “Fußball-Woche” pada 1933. Padahal, status Mantel adalah pemain Frankfurt!
Ketika menghadapi SpVgg Fürth, chants anti-semitisme berkumandang selama permainan berlangsung. Uniknya, pertandingan tersebut dimenangkan Eintracht Frankfurt dengan skor 1-0.
FSV Frankfurt adalah korban lain dari adanya Judenklub, padahal era keemasan FSV Frankfurt sedang berlangsung. Dalam kurun tahun 1919-1933, FSV 6 kali menjadi juara di berbagai kompetisi resmi di Jerman.
Di bawah usahawan Yahudi David Rothschild, FSV Frankurt sukses bertransformasi dari klub lokal, menjadi salah satu klub yang cukup disegani di Jerman. Rostchild kemudian mengundurkan diri sebagai presiden klub pada 1929. Penerusnya, Alfred Meyers juga merupakan Yahudi, yang terpaksa meninggalkan klub dan bermigrasi ke Amerika Serikat pada 1933, karena adanya tekanan hebat dari Hitler.
Di FSV Frankfurt sendiri tercatat terdapat 21 klub olahraga yang aktif, tetapi berkurang hanya menjadi 9 klub karena banyaknya tekanan dan kesulitan yang dihadapi klub tersebut, yang disebabkan oleh diskriminasi pemerintah dibawah Hitler.
Di era Hitler sendiri, terdapat klub yang di-anak-emas-kan. Kesebelasan tersebut adalah FC Nurenberg, yang mendapat julukan Der Club, karena dukungan yang luar biasa terhadap Hitler. Argumen lain adanya angka 1 dalam nama resmi klub merupakan salah satu contoh keistimewaan yang diberikan Hitler terhadap klub ini. Namun bahasan ini segera dibantah pihak klub, karena angka 1 tersebut sudah ada sejak klub berdiri pada 1907.
Selain FC Nurenberg, klub lain yang dianggap anak emas Hitler adalah Schalke 04. Klub ini memang meraih keemasan di era Hitler berkuasa. Schalke menunjukkan kedigdayaan mereka pada 1934 dengan menjadi juara liga Jerman dengan diperkuat Fritz Szepan, Ernst Kuzorra, Hans Bornemann, Rudi Gellesch dan Adolf Urban, yang merupakan pilar dari Tim Nasional Jerman kala itu.
The Times pernah memublikasikan artikel berjudul The 50 Worst Famous Football Fans pada 1998, yang menyebut Hitler adalah fans berat dari Schalke 04. Hal ini langsung dibantah pihak klub, yang bahkan mengirimkan surat resmi berisi teguran terhadap The Times mengenai artikel tersebut. The Times sendiri berdalih, Schalke 04 sangat sukses di era Nazi berkuasa, dan dikaitkan dengan Hitler yang pernah meminta seragam Schalke 04 pada tahun 1934 .
Kini 70 tahun setelah Perang Dunia II berakhir, Bayern Munich menjadi klub yang disegani di Jerman maupun Eropa. Frankfurt menunjukkan eksistensinya sebagai kota dengan populasi Yahudi terbanyak di Jerman. Bahkan “Jewish Museum” didirikan di kota ini. Namun ,apakah Yahudi sudah diterima seutuhnya di Jerman? Jawabannya, belum.
Pada 30 oktober lalu, sejumlah stiker bergambar Anne Frank mengenakan jersey Schalke 04 tersebar di penjuru Jerman. Stiker tersebut merupakan wujud anti semit yang diduga disebarkan oleh supporter dari Borussia Dortmund, sebagai wujud sindirian terhadap Schalke 04 yang menjadi anak emas Hitler di era Nazi berkuasa.
Bahkan di Munich, stiker ini ditempel di sebuah lokasi ibadah di pusat kota. Kampanye yang dilakukan ini, mirip dengan yang dilakukan suporter Lazio ketika menghadapi AS Roma pada kompetisi Coppa Italia, Maret 2017 lalu. Suporter Lazio menempelkan stiker bergambar Anne Frank dengan seragam AS Roma di penjuru kota. Seperti diketahui, suporter Roma didominasi oleh Yahudi, dan mengalami penindasan yang sama mirip dengan Judenklub yang terjadi di Jerman.