Ilmuan Sosiologi Harvard, Matthew Clair dan Jeffery Dennis, menyatakan bahwa adanya rasa superioritas pada satu ras terhadap ras lainnya mengakibatkan hadirnya diskiriminasi dan penghakiman kepada ras yang dianggap lebih “rendah”. Dalam konteks sepakbola, rasisme sangat ditentang, berbagai kampanye sudah dilakukan sebagai wujud perlawanan atas rasisme. Namun apakah kampanye itu cukup berhasil?
Benua Biru yang dianggap sebagai kiblat sepakbola modern. Anehnya, aksi primitif seperti rasisme justru tumbuh di sana, baik di tingkat domestik maupun Eropa. Korbannya? Tentu dari berbagai pihak. Namun, etnis kulit hitam adalah yang paling sering terkena hujatan rasisme. Sejak berdiri tahun 1999, Football Against Racism in Europe (FARE), tiap tahunnya mencatat setidaknya ada 30-an kasus rasisme dengan kasus terburuk terjadi di Eropa bagian timur.
Akhir tahun lalu, Rhian Brewster mengungkapkan secara terbuka tentang kasus rasisme yang dialaminya. Pemuda berusia 17 tahun ini, bahkan sudah merasakan rasisme di tingkat junor.
“Saat itu saya menghadapi Shaktar Moscow. Saya terjatuh dan memegang bola. Wasit menyatakan itu pelanggaran. Lalu, ada pemain Shaktar mendekat dan mengatakan, ‘Suck my d***, you n****r, you negro’. Saya lalu menghampiri wasit keempat, dan menceritakan hal tersebut, bahkan ke (Steven) Gerard.
“Kami sepakat ingin membuat laporan, tapi kemudian urung. Saya berprinsip ‘tidak akan terjadi apapun’ saya hanya bisa berserapah. Saya berpikir andai saya menendang dia, saya pasti akan di-banned, tidak diragukan lagi 100%, dan sekarang tidak terjadi apapun, dan akan tetap seperti itu. saya berharap dia mendapat hukuman, tapi saya tahu itu tidak akan terjadi,” kata Brewster.
Menurut Brewster, di Piala Dunia U-17 lalu, Morgan Gibbs-White, dihina dengan sebutan “monyet” oleh pemain Spanyol. Saat Brewster bermain keras, para pemain Spanyol ini memintanya untuk lebih respek. “Bagaimana saya bisa menaruh respek apabila sebelumnya kalian melakukan hal yang sangat tidak pantas ke kami,” kata Brewster.
Sol Campbell, pemain belakang Tim Nasional Inggris, menceritakan salah satu alasan dirinya meninggalkan Tottenham adalah kekesalannya diawal meniti karier. “Saya pemain yang sangat disiplin. Awal saya berusia 15 dan 16 tahun, saya memiliki kualitas yang setara dengan tim utama. Namun Anda tahu, saya terpaksa menunda debut saya saat itu dengan alasan yang tidak saya pahami hingga hari ini,” ungkap Campbell.
Ketika ditanya oleh Simon Hattenstone dalam The Guardian “Racism in football: putting the boot in” soal apakah ada perbedaan cara dalam menangani pemain kulit putih dan kulit hitam? Campbell menjawab ketus, “Mereka pasti berpikir bahwa pemain berkulit hitam adalah pemain yang tidak serius, penuh talenta, tapi sering minum dan tidak disiplin. Tidak hanya di Spurs, tapi di klub lain seperti itu.
“Ketika Anda berusia 17 atau 18 tahun, pemain berkulit putih dengan skill yang tidak seberapa pasti mendapatkan bayaran lebih, dibanding pemain berkulit hitam. Hal itu nyaris membuat saya frustrasi,” ungkap Campbell.
Setelah memutuskan “menyebrang” dari Spurs ke Arsenal, suporter Tottenham melabelinya dengan “Judas”, dan membuat keadaan tidak begitu baik, dan sempat mempertimbangkan pensiun di 2007.
Ironisnya di sepakbola perempuan pun terjadi hal yang sama. Eni Aluko, striker Tim Nasional wanita Inggris beberapa waktu lalu, menggugat Mark Sampson, Manajer Tim Nasional Wanita Inggris atas kasus rasisme dan pelecehan kepada pemain berkulit hitam di timnya. Sampson sendiri terbukti bersalah dan dicopot jabatannya dari manajer tim. Ini menjadi ironi mengingat Sampson cukup berprestasi dengan membawa Inggris menempati posisi ketiga Piala Dunia di Kanada pada 2015 dan semifinalis Piala Eropa 2017 lalu.
Firminho, pemain Liverpool kini sedang harap-harap cemas dengan kasus rasisme dirinya atas Mason Holgate. Ironisnya Mason Holgate sendiri sedang dalam investigasi atas tweet homofobik yang diunggahnya beberapa waktu lalu.
Di Italia, Blaise Matuidi mengecam adanya perilaku rasisme atas dirinya ketika menghadapi Cagliari. Belum ada keterangan resmi dari FIGC atas masalah ini. Italia memang terkenal tidak tegas dalam memerangi rasisme. Selain Matuidi, kasus yang menimpa Balotelli, dan Muntari adalah contoh lain yang menimpa pemain berkulit hitam.
Kasus rasisme lain di Italia, adalah ketika stiker Anne Frank dengan kostum AS Roma ditempelkan para suporter Lazio di beberapa spot di kota Roma, menunjukkan bahwa suporter Lazio sangat anti semitic, atau mendiskriminasi kaum Yahudi. Seperti yang diketahui, suporter AS Roma memiliki prosentase Yahudi yang cukup besar. Hal yang kemudia ditiru oleh suporter Dortmund sebelum Revierderby menghadapi Schalke 04 beberapa waktu lalu.
Untuk mengurangi diskriminasi, PFA, mengampanyekan “Rooney rule”, sebuah aturan di mana ada kewajiban bagi klub untuk memberi ruang terhadap kaum minoritas dalam memperoleh pekerjaan di klub, dalam hal ini sebagai staf kepelatihan. Gordon Taylor melihat, hanya ada dua pelatih berkulit hitam dari total 92 pelatih di 4 divisi utama di Inggris. Diharapkan “Rooney rule” bisa menjembatani hal ini. Sistem ini sudah diterapkan di NFL beberapa tahun sebelumnya dan cukup berhasil.
Ke depannya, harapan akan hilangnya rasisme atau diskriminasi akan sangat membantu sepakbola menjadi lebih baik. Mungkin banyak di luar sana kasus rasisme yang lebih buruk terjadi. Kaum minoritas seringkali dijadikan bahan candaan yang berujung merendahkan. Mari berharap sepakbola jauh dari itu, dan membuat olahraga ini semakin jauh dari perbedaan, karena dalam sepakbola gol-lah yang berbicara, bukan ras, suku, agama, maupun orientasi seksual tertentu.