Jauh dari hingar bingar Premier League, ada laga menarik di Divisi Championship, kompetisi tingkat kedua di Inggris. Aston Villa berhasil mengalahkan tuan rumah Nottingham Forest 0-1. Apa yang menarik?
Buat penggemar sepakbola modern pertandingan tersebut mungkin tak terdengar menarik. Namun, buat pendukung kedua kesebelasan yang sudah menggilai sepakbola sejak era 1970-an, duel tersebut adalah pertandingan penting. Bahkan, dianggap setara dengan pertandingan melawan tim papan atas Premeir League.
Kalau melihat ke belakang, Nottingham dan Villa adalah kesebelasan yang disegani bukan cuma di Inggris tapi juga di Eropa. Nottingham meraih dua gelar Piala Champions dan Villa sekali, jauh lebih banyak dari Arsenal. Dulu, Nottingham dan Villa masuk ke dalam peta kekuatan sepakbola di Inggris. Lantas, mengapa kini keduanya seolah hilang?
Nottingham Forest lebih dulu membuat trademark di sepakbola tertinggi Inggris. Setelah promosi ke Divisi Satu pada musim 1976/1977, di musim debutnya mereka langsung jadi juara. Pertanyaan pun mengemuka, bagaimana caranya?
Nottingham dipimpin oleh Brian Clough kala itu. Ia membangun dan membentuk kerangka tim yang bagus yang kelak menjadikan Nottingham sebagai kesebelasan elit. Nama-nama seperti Viv Anderson, Kenny Burns, Ian Bowyer, dan mantan pelatih timnas Indonesia, Peter Withe, sukses menggondol gelar juara. Namun, Clough tidak puas hanya menjadi juara liga. Dengan skuat yang ada, mereka menjuarai Piala Champions dua kali beruntun pada musim 1978/1979 dan 1979/1980. Capaian ini pun mengerdilkan rival sekota mereka, Notts County.
Sedangkan klub asal Birmingham, Aston Villa, merupakan kekuatan tradisional sepakbola Inggris yang tertidur. Sebelum Perang Dunia I dan II berkecamuk, Aston Villa mampu meraih enam gelar juara Divisi Satu. Berbeda dengan Nottingham Forest yang promosi dan langsung menjadi juara, Aston Villa butuh 20 tahun sejak promosi dari Second Division pada 1959/1960 untuk meraih gelar juara liga pada musim 1980/1981.
Raihan Aston Villa sempat mengejutkan publik sepakbola Inggris. Di bawah Ron Saunders, Aston Villa dibangun dengan penuh perhitungan. Villa tak punya uang yang banyak sehingga mereka melakukan pembelian dengan berhati-hati.
Butuh delapan tahun bagi Saunders meraih gelar juara liga. Saunders sendiri membangun kerangka gabungan dari tim muda dengan tim senior. Gary Shaw yang masih berusia 20 tahun kala itu ditunjuk sebagai target serangan dengan dikomandoi Dennis Mortimer di lini tengah. Uniknya Peter Withe yang pindah dari Nottingham Forest ke Newcastle United pada 1978, didatangkan ke Villa Park pada 1980 dan langsung dijadikan salah satu pemain penting. Aston Villa langsung sukses menjadi juara Piala Champions pada musim 1981/1982 menglahkan Bayern Munich, dengan skor tipis 1-0 di mana gol tunggal diciptakan oleh Peter Withe.
Lalu apa yang terjadi, kenapa kedua tim dengan pencapaian yang luar biasa ini kini terjembab di tingkat kedua?
Aston Villa kembali menjadi tim papan tengah pasca juara First Division. Mereka sempat bertahan selama enam musim sebelum degradasi ke Second Divison, dan kembali ke First Division pada musim 1988/1989.
Di era Premier League, Aston Villa menjadi kesebelasan yang stabil di papan tengah sambil sesekali memberikan kejutan dengan menempati posisi keenam klasemen yang berarti berkesempatan untuk berkancah di Eropa. Pasca resmi menjad PLC, Aston Villa kemudian dimiliki oleh Randy Lerner pada tahun 2006, pebisnis yang juga memiliki Cleveland Brown, klub American Footaball.
Di bawah Lerner, Aston Villa sempat memeroleh kestabilan di liga. Namun, suporter sendiri merasa otak bisnis Lerner justru kurang begitu baik bagi perkembangan klub. Lerner bukanlah sosok yang sabar terhadap kegagalan atau hasil buruk. Hasilnya, sejak musim 2010/2011, Aston Villa hanya mampu bersaing di papan bawah, sebelum degradasi pada musim 2015/2016 lalu.
Lerner kemudian menjual sahamnya ke Tony Xia. Protes kepada Lerner mengalami puncaknya di pertandingan kandang terakhir mereka menghadapi Newcastle United musim 2015/2016 lalu. Suporter menerbangkan pesawat kertas ke dalam lapangan sebagai wujud protes mereka, dan walk-out pada menit ke-80.
Nottingham Forest mengalami nasib yang lebih buruk. Mereka sempat bertahan sejak juara liga hingga musim pertama Premier League. Namun, di musim pertama itulah mereka terdegradasi meski sempat kembali pada musim 1994/1995. Nottingham pun disebut sebagai tim yo-yo karena naik turun tingkat.
Kesulitan dalam mencari investor menyebabkan Nottingham bersaing di elemen suporter juga mengeluhkan hal yang sama. Salah satu pentolan supporter Adam Wirlo menjelaskan hal tersebut, “Lami klub besar pada era 80-an, tapi kami seolah sulit mencari dan menjalankan keuangan klub dengan baik, investasi yang hadir hanya mencari keuntungan finansial.”
Nottingham Forest nyaris terdegradasi musim lalu ke League One. Beberapa pihak suporter menyalahkan kepemilikan Al-Hasawi yang kurang memahami sejarah klub,. Kini, Nottingham di bawah Evangelos Marinakis menatap kebangkitan klub, mengingat Evangelos sendiri sebelumnya sukses membawa Olympiacos konsisten di papan atas Liga Yunani.
Lantas, kapan lagi kita melihat kedua kesebelasan ini mampu bermain di Premier League? Bersama dengan kekuatan sepakbola Inggris lainnya seperti Leeds United, Blackburn Rovers atau Sunderland untuk memanaskan persaingan juara Premier League yang selama ini hanya didominasi tim “Big Four”? Mari bersabar untuk menanti kebangkitan klub tersebut.