Zlatan Ibrahimović memutuskan untuk berhenti dari karier sepakbola profesional di usia ke-41. Dia meneteskan air mata saat mengucapkan selamat tinggal kepada para penggemar Milan sebelum kick-off kemenangan 3-1 mereka melawan Verona (5/6), dan setelah pertandingan dia mengumumkan bahwa dia tidak hanya meninggalkan klub tetapi juga mengakhiri karir bermainnya.
Dalam pidato perpisahannya, ia berkata, “Saya punya banyak kenangan dan emosi di dalam. Pertama kali saya datang ke sini, Anda memberi saya begitu banyak kebahagiaan. Saya akan menjadi penggemar Milan sepanjang hidup saya. Waktunya telah tiba untuk mengatakan selamat tinggal untuk sepakbola. Tapi tidak untukmu (fans). Kita akan bertemu satu sama lain. Anda beruntung. Forza Milan dan sampai jumpa lagi.”
Zlatan mungkin kita kenal karena sikap sombong dan angkuhnya. Sebenarnya, sikap itu ia tunjukkan untuk membuat dirinya berkembang menjadi lebih hebat dan menginspirasi orang lain agar bisa menjadi seperti dirinya.
“Saya ingin mengirimkan pemikiran kepada semua anak di luar sana,” seperti yang ia tulis dalam otobiografinya, I Am Zlatan Ibrahimovic pada tahun 2011.
“Semua anak yang merasa berbeda, yang tidak cukup cocok dan yang dipilih karena alasan yang salah. Tidak apa-apa untuk tidak menjadi seperti orang lain. Tetap percaya pada diri sendiri. Bagaimanapun juga, semuanya berhasil bagi saya,” tulisnya.
Lahir di Swedia tapi Terasing
Lahir dari pasangan Jurka dan Šefik Ibrahimovic pada 3 Oktober 1981, Zlatan telah menjadi orang asing bagi lingkungannya. Ayahnya yang berkebangsaan Bosnia adalah seorang tukang batu dan ibunya yang berkebangsaan Kroasia adalah seorang tenaga kebersihan.
Zlatan mungkin lahir di Malmö, tetapi dia tidak dibuat merasa seperti orang Swedia oleh teman-temannya karena latar belakang keluarganya. Zlatan kecil tinggal di sebuah ghetto, pemukiman etnis minotitas di suatu kota. Ghetto berada di Rosengård dan sebagai anak kecil yang cadel, tumbuh di lingkungan yang beragam secara etnis hingga penuh dengan orang Somalia, Turki, Yugoslavia, dan Polandia tidaklah mudah.
Hal itu makin dipersulit oleh kehidupan keluarganya yang rumit. Kedua orang tuanya berpisah, ayahnya diberikan hak asuh atas dirinya; hak asuh ibunya atas saudara-saudara perempuannya.
Dengan latar belakang seperti itu, Zlatan bahkan terbiasa berpindah-pindah klub sejak di level junior, diantaranya: MBI, FBK Balkan, BK Flagg. Kala itu ia pernah bermain di beberapa posisi, termasuk penjaga gawang.
Berawal dari ghetto di Rosengård hingga gemerlapnya Amsterdam, Milan, Paris, dan Los Angeles, Zlatan Ibrahimović membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi yang terbaik dengan versi sendiri.
Setelah mendapatkan reputasi sebagai anak yang terlalu kompetitif saat bersama tim junior di Malmö FF, dia membawa “kesombongan” itu disepanjang karirnya, dan itu telah terbukti menjadi aspek kunci dari berbagai kutipan-kutipannya yang membuatnya begitu sukses sekaligus kontroversial.
Pria kelahiran 3 October 1981 ini memulai kontrak sepakbolanya pada usia 15 tahun bersama Malmö FF. Zlatan juga hampir saja tidak meneruskan kariernya sebagai pesepakbola karena memilih sibuk bekerja di pelabuhan. Namun karena potensinya yang sangat besar, pelatihnya kala itu membujuk Zlatan agar tetap fokus pada sepakbola.
Intuisi sang pelatih terbukti adanya. Zlatan muda tumbuh menjadi semakin kuat dan tajam, sehingga dalam 3 tahun dirinya berhasil masuk ke skuad senior Malmö FF. Dalam waktu kurang dari tiga musim berseragam Malmö, ia mencatatkan 16 gol dari 40 penampilan.
Diprediksi akan menjadi salah satu bakat besar, manajer Arsenal kala itu, Arsene Wenger, berniat membawanya ke Highbury namun melalui proses trial. Tanpa disangka, Zlatan muda menolaknya dan berkata, “Zlatan tidak melakukan audisi.”
Mengawali Karier di Amsterdam
Kemudian kariernya melesat cepat usai memilih bergabung dengan Ajax Amsterdam di 2001.
Ibrahimovic sejak awal kariernya membangun reputasi sebagai pencetak gol-gol spektakuler. Dalam ajang Euro 2004 melawan Italia, dia mencetak gol melalui lob backheel yang kemudian membantu Swedia lolos sebagai juara grup. Beberapa pekan setelahnya, ia mencetak gol bagi Ajax ketika melawan NAC Breda yang ternyata, gol terakhirnya berseragam Ajax.
Publik mengingat perpisahan Zlatan dan Ajax disebabkan karena dirinya bersitegang dengan kapten dan bintang mereka saat itu, Rafael van der Vaart. Waktu itu van der Vaart menganggap Zlatan sengaja menekelnya dengan keras pada pertandingan Belanda kontra Swedia. Ternyata masalah tersebut tak kunjung selesai meski Zlatan sudah meminta maaf dan sampai harus ditengahi oleh pelatih Ajax saat itu, Ronald Koeman.
“Saya tidak sengaja melukai kamu (Rafael), dan kamu tahu itu. Kalau kamu menuduh saya lagi, saya akan mematahkan kedua kaki kamu, dan saat itu akan terjadi dengan sengaja!” ucap Zlatan.
Zlatan pergi dari Amsterdam setelah meraih dua gelar Eredivisie, Piala KNVB dan Johan Cruyff Shield.
Petualangan ke Italia
Ia bergabung dengan raksasa Italia, Juventus pada musim panas 2004. Awal kedatangannya di sana sedikit “dimuluskan” oleh cederanya David Trezeguet dan mampu menyelesaikan musim perdana dengan 16 gol dan gelar Serie-A Foreign Footballer of the Year.
Dua gelar Serie A yang dimenangkannya di sana, pada akhirnya dicabut dari Si Nyonya Tua oleh otoritas terkait skandal Calciopoli. Dia hanya menghabiskan satu musim lagi di Turin sebelum melakukan “bedol desa” bersama banyak pemain lainnya ketika klub tersebut terdegradasi ke Serie B.
Lepas dari Juve, sang rival Internazionale adalah pelabuhan berikutnya bagi Ibrahimovic. Inter adalah klub yang ia idolakan, dimana ia mengagumi pesona Ronaldo Nazario da Lima. Itu pula salah satu dari tiga tahun tersukses dalam karirnya: tiga scudetto berturut-turut dan dua Supercoppa Italiana. Dia mencetak 57 gol di liga dalam tiga musim dan membuat Barcelona berani merogoh kocek 69,5 juta Euro untuk meminangnya ke Camp Nou.
Perseteruan dengan Pep dan masa “krisis” di Barcelona
Zlatan datang ke Camp Nou dengan status pemain mewah. Barcelona menghabiskan hampir 70 juta Euro plus Samuel Eto’o. Meskipun kala itu trofi adalah nama lain dari Barcelona, orang-orang banyak mengingat masanya di sana selalu tentang perselisihannya dengan Pep Guardiola.
Masa singkatnya di Barcelona menghadirkan catatan 1 gelar LaLiga, FIFA Club World Cup, UEFA Super Cup, dan 2 Supercopa Spanyol.
Berpindahnya Messi ke posisi penyerang tengah membuatnya tersingkir dari Blaugrana. Zlatan juga merasa tidak cocok dengan sistem dan perlakuan yang diterapkan Guardiola di sana. Seperti yang ia jelaskan dalam otobiografinya, I Am Zlatan Ibrahimović.
“Semua orang (di Barca) melakukan apa yang diperintahkan. Saya tidak cocok, sama sekali tidak. Saya pikir, nikmati saja kesempatan itu, jangan membenarkan prasangka mereka. Jadi saya mulai beradaptasi dan berbaur.”
“Saya menjadi terlalu baik. Saya mengatakan apa yang saya pikir orang ingin saya katakan. Itu benar-benar kacau. Saya mengemudikan Audi(milik) klub dan berdiri di sana dan menganggukkan kepala. Saya bahkan hampir tidak berteriak pada rekan satu tim saya lagi. Saya membosankan. Zlatan bukan lagi Zlatan.”
Dan jangan lupakan kutipan terkenal mengenai Pep dari Zlatan: “You bought a Ferrari, but you drive it like a Fiat.”
Zlatan yang masih dalam kondisi peak career, memutuskan kembali ke Italia. Kali ini ke sisi lain kota Milan, AC Milan. Tetap dalam pencarian yang sama: trofi Liga Champions. Sialnya, Inter yang merupakan bekas klubnya meraih treble bersama Jose Mourinho dan Samuel Eto’o menjadi salah satu aktor penting.
Sayang, di masa itu itu AC Milan yang merupakan klubnya, terkendala masalah finansial. Ditambah keterlambatan Rossoneri untuk mengantisipasi bintang mereka yang sudah menua seperti Pirlo, Gattuso, Seedorf, dan Nesta. Padahal Milan sudah kuat secara pondasi dan berhasil menyabet scudetto 2010/2011. Zlatan pada akhirnya hengkang bersama Thiago Silva ke Paris Saint-Germain yang baru saja menjadi klub terkaya dunia.
Zlatan kemudian menghabiskan empat musim di Paris Saint-Germain dan menjadi pencetak gol tertinggi mereka dalam satu musim (50 gol)–belum terpecahkan hingga saat ini–; mengantongi 156 gol dalam perjalanan menuju empat gelar liga, dua Piala Prancis dan tiga Piala Liga Prancis sebelum pergi dengan status free agent ke Manchester United.
Di Old Trafford dia menemukan kesuksesan berakhir dengan timnya memenangkan Piala Liga Inggris dan Europa League. Di sana pula muncul satu kutipan baru dari Zlatan: “Mereka bilang, saya terlalu tua untuk Premier League. Akhirnya, saya yang membuat Premier league terlihat tua.”
Ketika Zlatan memutuskan pindah ke MLS, banyak yang berpendapat bahwa dirinya telah habis. Namun, alasan Zlatan adalah memberikan nilai lebih dalam kariernya. Pada tahun 2018, setelah bergabung dengan LA Galaxy, ia masuk dalam MLS Best XI, memenangkan penghargaan MLS Newcomer, Goal of the Year, dan membawa pulang 3 gelar pemain terbaik di LA Galaxy: Player of the Year, Golden Boot, dan Goal of The Year.
Zlatan berpendapat bahwa kedatangannya ke Amerika Serikat adalah untuk memberikan alasan mengapa publik Amerika harus menonton sepakbola.
Bicara trofi, Zlatan memiliki 32 gelar, 1 diantaranya ia raih di usia 40 tahun kala menjuarai Serie-A dengan AC Milan di musim 2021/22.
I came, I saw, I conquered. Thank you @lagalaxy for making me feel alive again. To the Galaxy fans – you wanted Zlatan, I gave you Zlatan. You are welcome. The story continues…Now go back to watch baseball pic.twitter.com/kkL6B6dJBr
— Zlatan Ibrahimović (@Ibra_official) November 13, 2019
Reputasi Zlatan sebagai legenda dan pesepakbola termahsyur di Swedia tak terbantahkan; 62 gol dalam 122 caps tim nasional. Sebuah patung Zlatan Ibrahimovic juga didirikan di Eleda Stadion, Malmö sebagai penghormatan dari Asosiasi Sepakbola Swedia –sebelum akhirnya dirusak suporter dan dicopot–.
Pemenang 11 kali berturut-turut Guldbollen –penghargaan Pemain Terbaik Swedia Tahun Ini – Ibrahimović telah menentang kritik di setiap negara yang dia sebut rumahnya, sambil menciptakan warisan yang hampir tidak dapat disentuh oleh legenda Swedia sebelumnya seperti Gunnar Nordahl, Nils Liedholm dan Henrik Larsson.
Menemukan Rumah di Italia
Pada malam perpisahannya di San Siro, emosi Zlatan tak tertahankan. Kedua bola matanya menyiratkan betapa berat hati dirinya harus mengucapkan kata-kata perpisahan.
“Pertama kali saya tiba (di Milan) kalian memberi saya kebahagiaan. Kedua kalinya, kalian memberi saya cinta. Saya ingin berterima kasih kepada keluarga saya dan orang-orang terdekat saya atas kesabaran mereka,” tutur Ibra.
Di penghujung musim ini, sedikit asa yang tak pernah digapai, sempat hadir untuk Zlatan. AC Milan berhasil melaju ke babap semifinal Liga Champions menghadapi rival, Inter. Namun lagi-lagi, Zlatan harus mengubur dalam-dalam mimpinya. Setelah 63.785 menit bermain, 482 gol dan 31 trofi, Zlatan Ibrahimovic akhirnya memutuskan pergi berpetualang.
Bagi Zlatan, mungkin Inter adalah klub idolanya sewaktu kecil. Di Barcelona, ia bisa bermain seperti tim dari planet lain. Di Paris, ia bisa meraih segalanya. Namun di Milan-lah, ia menemukan cinta. Dan sejatinya tak ada tempat yang memberikan kita cinta selain rumah.