Aeroplanino, The Little Airplane, itulah julukannya. Nama itu melekat pada sosok Vincenzo Montella, karena perawakannya yang kecil dan selebrasinya yang unik dengan merentangkan tangan seperti sayap sambil berlari setelah mencetak gol ke gawang lawan. Di era 2000-an, selebrasinya itu akrab di mata fans Serie A Italia, ketika dia berhasil membawa terbang AS Roma hingga ke puncak Scudetto.
Selain il capitano Francesco Totti dan bomber Gabriel Batistuta, Montella adalah bintang Roma pada masa itu. Dia termasuk salah satu pencetak gol yang produktif, pemilik nomor sembilan di ibukota Italia. Meski kariernya memang selalu berada di bawah bayang-bayang kedua rekannya itu selama delapan musim, tetapi perannya bagi tim, juga kesetiaannya tentu tidak bisa dianggap sebelah mata.
Montella Berjuang dari Bawah
Lahir pada 18 Juni 1974 di Pomigliano d’Arco, Naples, Montella tumbuh di tim junior USD San Nicola sebelum dikontrak Empoli pada usia 12 tahun. Setelah hampir lima tahun menimba ilmu di akademi, dia menjalani debut tim pertamanya di Serie C1, divisi tiga Liga Italia dalam usia 17 tahun bersama pelatih Luciano Spaletti, yang kemudian menanganinya lagi di Sampdoria dan Roma di masa depan.
Karier Montella benar-benar berjalan dari bawah. Setelah satu musim penuh dengan 17 gol dalam 30 penampilan bersama Gli Azzurri di Serie C1 1994/1995, dia direkrut tim Serie B, Genoa untuk musim berikutnya. 28 gol dari total 40 pertandingan di semua ajang saat itu jadi catatan, hingga sukses juara Piala Anglo-Italia yang mempertemukan wakil Italia dari Serie B dengan peserta First Division Inggris.
Satu musim yang mengesankan, termasuk satu golnya di final Piala Anglo-Italia, membawa Montella naik kasta ke Serie A, dan menjalani debut di level tertinggi bersama Sampdoria pada 8 September 1996. Ketika itu, dia masih 22 tahun, dan tiga tahun kemudian, 58 golnya dalam 96 pertandingan di Serie A mengantarkan sang penyerang ke ibu kota, sebulan setelah debut di timnas pada 5 Juni 1999.
Gol Krusial
Pelatih Zdenek Zeman yang menginginkan Montella saat itu, hingga I Giallorossi rela mengeluarkan hampir 26 juta Euro, lebih enam kali lipat dari jumlah yang dihabiskan Sampdoria saat membawanya dari Genoa. Tetapi, bersamaan dengan itu, pelatih Republik Ceko tersebut malah digantikan Fabio Capello, allenatore yang dikenal tak suka striker yang pendek, sedangkan Montella hanya 1,72 meter.
Tapi, dia memberikannya 21 gol di semua ajang, hanya kalah dari 24 gol milik Rodolfo Volk di musim perdananya pada 1928/1929, debutan terbaik dalam sejarah klub. Namun, musim berikutnya Capello merekrut Batistuta, yang akhirnya membawa mereka pada sukses besar. Tapi, meski lebih sering jadi pengganti, Montella tetaplah salah satu protagonis utama dalam Scudetto ketiga Roma musim itu.
Montella mencetak gol-gol krusial musim itu; gol kemenangan lawan Atalanta, Brescia, Inter Milan dan Reggina, serta penyeimbang kontra AC Milan dan gol ke gawang Juventus saat injury time pekan 29. Tapi yang paling penting, ketika dia mencetak satu gol dan satu assist yang mengantarkan Roma menang 3-1 atas Parma untuk menjamin mahkota Serie A dengan selisih dua poin dari I Bianconeri.
Tak salah jika Montella bersikeras tetap memakai nomor sembilan miliknya, sementara Batistuta harus mengalah dengan nomor 18. Pada akhirnya, Capello juga mengakui kemampuan sang pemain dengan menggambarkannya sebagai “pemain hebat di area penalti.” Dua bulan kemudian, Montella juga berperan membantu Roma memenangkan Piala Super Italia 2011 dengan mencetak satu gol.
Montella Si Serba Bisa
Montella dikenal punya kaki kiri yang cepat, pekerja keras, cerdas dan oportunis di lapangan. Dia juga digambarkan sebagai pemain serba bisa, dengan passing dan dribbling yang sangat baik. Meski posisi aslinya sebagai striker tengah, tapi mampu pula bermain lebih kreatif sebagai second striker. Namun, terlepas dari kemampuannya itu, terkadang dia juga sering dikritik Capello sebagai pemain egois.
Setelah kurangnya kesempatan sebagai starter, ada rasa frustasi yang diungkap Montella. “Saya akan memiliki ekspektasi lebih baik dengan pelatih lain,” katanya pada Maret 2002.
Kondisinya makin sulit setelah bercerai, yang berlanjut dengan tahun-tahun penuh cedera. Tapi, dia masih turut membantu tim dalam perjalanan juara Coppa Italia 2006/2007, sebelum dikirim ke Fulham pada Januari 2007.
Musim berikutnya, dia dipinjamkan lagi, kali ini ke Sampdoria. Tapi, pada 2008, Montella dipulangkan untuk main semusim lagi sebelum pensiun dalam kenangan manis ibu kota.
“Ada Batistuta, Montella, pemain yang membuat sejarah sepak bola. Mereka harus diingat karena menyenangkan menonton mereka dan saya cukup beruntung bermain bersama mereka juga,” kenang Totti di situs resmi klub.
Hanya dua tahun kemudian, Aeroplanino kembali ke lapangan Stadion Olimpico; ingin terbang lagi. Tetapi, Montella datang sebagai caretaker menggantikan pelatih Claudio Ranieri dalam sisa musim 2010/2011 itu. Sejak itu, karier kepelatihannya dimulai; menangani Catania, Fiorentina, Sampdoria, AC Milan, serta Sevilla di Spanyol sampai ke klub Turki, Adana Demirspor hingga musim panas 2023.