Setiap manusia dilahirkan untuk mampu bersaing. Pun dengan pesepakbola. Lantas, bagaimana dengan kiper cadangan? Mengapa mereka justru secara reguler cuma menghangatkan bangku cadangan?
Tiap posisi di sepakbola selalu memiliki persaingan. Pemain dengan kualitas yang kurang, akan kesulitan mendapatkan tempat di tim utama. Namun, apabila ada pemain dengan kualitas yang sama, maka yang dipilih adalah pemain yang sesuai dengan skema, fleksibilitas, dan selera pelatih.
Namun, posisi penjaga gawang adalah pengecualian. Umumnya, hampir tidak ada perbedaan kualitas yang begitu jomplang. Malah, bisa dibilang kalau pos ini adalah pos dengan persaingan paling berat. Pasalnya, selain diperlukan konsistensi dalam permainan, pengalaman bertanding juga berpengaruh. Sialnya, kiper cadangan justru jarang mendapatkan pengalaman bertanding.
Satu Musim, Satu Kiper
Amat lazim bagi sebuah kesebelasan untuk hanya memainkan satu kiper dalam satu musim. Manchester United misalnya, memiliki penjaga gawang utama yakni David De Gea. Pelapisnya, Sergio Romero, tidak kalah mentereng. Ia adalah penjaga gawang utama Tim Nasiona Argentina sejak 2010 lalu.
Tidak jauh berbeda, Manchester City memiliki Ederson sebagai penjaga gawang utama. Sejauh ini performanya cukup apik, tapi Claudio Bravo selalu mengintai posisi utama di sektor penjaga gawang City. Kiper Tim Nasional Chile ini, juga memiliki kualitas yang tidak kalah dari Ederson.
“Penjaga gawang cadangan adalah posisi yang sulit. Anda akan merasa bersalah karena tidak banyak berkontribusi. Semua pemain ingin menjadi pilihan utama. Saya yakin tidak ada penjaga gawang cadangan yang menikmati hidupnya. Mereka selalu hidup dalam frustrasi dan tekanan dalam diri mereka,” ucap Richard Lee dikutip BBC.
Lee sendiri menghabiskan 14 tahun karirnya di sepakbola dengan mayoritas menjadi cadangan. Hanya tiga musim Lee menjadi pilihan utama. Ross Turnbull, mantan penjaga gawang Chelsea, nyaris selama karirnya tidak pernah menjadi pilihan utama.
“Tidak ada yang menginginkan posisi sebagai cadangan, tapi Anda harus selalu siap dengan kondisi apapun. Tidak boleh ada kelengahan, karena kesempatan untuk Anda sangat amat terbatas,” ungkap pemilik 7 penampilan dalam 4 musim berseragam The Blues di BBC.
Peran yang Bertambah
Penjaga gawang kini bukan hanya dianggap sebagai benteng, tapi juga sebagai sosok yang memulai serangan. City yang memilih mendatangkan Ederson misalnya, menginginkan penjaga gawang yang lebih berfungsi ketika membangun serangan dan terlibat dalam skema permainan. Bravo sebenarnya mampu menjawab itu musim lalu. Namun, inkonsistensi yang ditampilkan membuat Pep Guardiola memilih membeli penjaga gawang baru.
Di sisi lain penjaga gawang cadangan akan selalu di bawah bayang-bayang penjaga gawang utama. Bayern Munich misalnya. Cederanya Neuer memberikan kesempatan bagi Sven Ulreich. Permainan Ulreich sangat baik. Solid di bawah gawang dan tidak tergantikan. Ulreich bahkan dipertimbangkan secara serius menjadi salah satu penjaga gawang yang akan dipanggil memperkuat Jerman di Piala Dunia nanti. Namun, Ulreich memilih realistis akan posisinya.
“Tentu saya tersanjung dengan akan pandangan tersebut,” ungkapnya dikutip dari The Guardian. “Tapi tentu saja saya realistis. Posisi saya di sini (Bayern Munich), hanya sebatas deputi dari Neuer, dan ia tetap nomor satu di Jerman.”
Nama Carlo Nash memang tidak terlalu familiar. Sepanjang kariernya, ia selalu menjadi pelapis di tiap klub yang ia bela. Pada 2014 lalu ia memutuskan pensiun setelah tiga musim bermain bagi Stoke City dan Norwich tanpa mencatatkan satupun penampilan kompetitif. Ketika di Norwich pada 2013 lalu, ia mendapat anugrah Player of The Season oleh para suporter yang kecewa dengan performa klubnya yang buruk. Nash menyatakan ini justru memalukan bagi karirnya.
“Saya tahu bahwa saya tidak pernah menjadi pilihan utama. Bahkan di sini saya hanya menjadi bahan olokan, tapi rasanya tidak ada yang lebih buruk dari penghargaan ini,” ungkap Nash di BBC, 2013 lalu.
Salah satu contoh kasus betapa menjadi deputi penjaga gawang seolah menjadi sosok yang tidak diperlukan di klub. Namun, tidak semua penjaga gawang cadangan bernasib buruk.
Rotasi Penjaga Gawang
Nuno Espirito Santo misalnya, kini bisa dikatakan sukses melatih klub-klub Eropa. Rekam jejaknya dari Valencia, Porto, dan yang terbaru membawa Wolverhampton Wanders bersaing untuk promosi ke Premier League. Sosok Nuno memulai semuanya dari penjaga gawang cadangan bagi sejumlah klub.
“Saya di bangku cadangan, mengamati, menganalisis semuanya dari bangku cadangan,” seperti dikutip dari The Guardian 2017 lalu. “Saya mengalam fase frustrasi, tapi kemudian saya menginginkan lebih berkontribusi, saya memang selalu menjadi sosok pengganti, tapi kenyataannya sulit kala itu.”
Kini penjaga gawang cadangan tidak lagi dianggap sebelah mata. Beberapa klub bahkan memiliki paling tidak dua penjaga gawang dengan kualitas yang sama. Gunanya? Meningkatkan kualitas dan persaingan.
Beberapa klub bahkan menggunakan kebijakan penjaga gawang berbeda. Manchester United misalnya memainkan De Gea di Premier League dan Liga Champions, sementara untuk FA dan Piala Liga, Romero diberikan kesempatan. Atau seperti Juventus yang mulai memainkan Szczęsny dengan Buffon secara bergantian. Selain menjaga kebugaran, rotasi penjaga gawang juga berfungsi menjaga persaingan. Lalu masihkah klub menaifkan para kiper cadangan?