Memercayai sebuah mitos, terutama dalam sepakbola, memang terkadang harus diamini. Bukan berarti ini tidak percaya pada takdir Tuhan, tapi lebih kepada fenomena yang telah terjadi dan menganalisis kemungkinan tersebut terulang di masa depan. Misalnya, mitos kutukan Benfica yang takkan juara di level Eropa selama 100 tahun setelah disumpahi oleh pelatihnya sendiri, Bela Guttman. Faktanya, sejak Guttman melantunkan sumpah serapah tersebut, Benfica memang selalu kesulitan di level Eropa. El Pupas
Jika umpatan dan ucapan Guttman adalah sebuah emosi, maka ucapan Vicente Calderon (mantan presiden Atletico Madrid) yang satu ini adalah sebuah ungkapan frustrasi. Calderon berujar bahwa Atleti adalah ‘tim yang selalu sial’ (El Pupas), pasca kandasnya harapan mereka di final Liga Champions Eropa tahun 1974 lalu.
Tanpa disadari, ungkapan dari El Pupas (yang selalu sial) ini akhirnya seperti warisan tersendiri. Atleti memang tak selalu sial, mereka masih memenangkan beberapa gelar prestis seperti La Liga ataupun Copa del Rey. Namun jika terjadi sesuatu yang tak menyenangkan, sudah pasti ungkapan El Pupas tersebut akan muncul dengan sendirinya. Contoh paling hakiki seperti saat Atleti gagal dua kali di final pada 2014 dan 2016 lalu oleh tetangganya Real Madrid, di ajang final LIga Champions Eropa.
Kisah El Pupas (yang selalu sial) ini selalu diceritakan turun temurun dan selalu saja mengambil contoh dari kegagalan mereka di final Liga Champions. Namun tak ada yang sadar bahwa salah satu bakat terbesar yang pernah Atleti lahirkan, Fernando Torres, pun akan mengalami sindrom El Pupas ini.
Fernando Torres? El Pupas? Selalu sial? Apanya yang sial?
Fernando Torres dan El Pupas
Pria yang baru saja berulang tahun yang ke-34 pada 20 Maret lalu ini adalah pemain yang komplet, baik secara permainan maupun prestasi. Ia pernah masuk tiga besar Balon d’Or, pernah menjadi juara Piala Dunia, juara Piala Eropa dua kali, juara Liga Champions Eropa, juara Europa League. Belum lagi ia begitu dicintai oleh publik Atleti (dan erm, juga publik Anfield). Cukup komplet, bukan? Sekali lagi, mananya yang sial?
Disadari atau tidak, Torres yang kini telah malang melintang di Spanyol, Inggris, dan Italia, ini sepanjang kariernya tak pernah sekalipun memenangkan trofi liga kompetisi tertinggi di negara-negara tersebut. Memang pernah sekali ia memenangkan liga, tapi itu di Divisi Segunda saat awal-awal debutnya di Atletico dulu. Saat itu, ia masih muda dan mengemban tugas sebagai juru gedor Atleti untuk mengembalikan klub masa kecilnya tersebut ke Primera La Liga. Tak mengherankan Torres begitu dipuja karena usahanya yang besar itu.
“Saya merasa bahwa ketika saya masih sangat muda, saya telah mencapai semua yang pernah saya impikan dalam hidup, dan saya tidak mempercayainya,” katanya kepada laman Marca. “Ketika saya masih kecil, saya berpikir bahwa ketika saya tiba di sana [ke tim pertama] bahwa saya telah mencapai segalanya, tetapi saya salah: pagi itu saya baru saja mengambil langkah pertama,” lanjutnya.
Ketidakberuntungan (baca: kesialan) Torres dalam merengkuh gelar liga di berbagai negara ini juga adalah fakta kecil bahwa ia tampak dihinggapi oleh virus El Pupas. Belum lagi, fakta lainnya adalah bahwa Torres belum pernah sama sekali memberikan trofi bergengsi (juara Divisi segunda, tidak dihitung bergengsi, meski cukup penting) untuk Atleti. Ia boleh dikenang dan dipuja oleh para Atleticos, tapi ia tampak tak lengkap jika ia tak mengakhiri karier hebatnya bersama Los Cholconeros dengan trofi yang bergengsi.
Virus yang Berlanjut di Atleti?
Kesempatan terdekat adalah saat dirinya menjadi starter di final Liga Champions Eropa pada 2016 lalu. Bahkan ia sendiri sempat membuka jalan untuk Atleti bangkit saat dirinya dijatuhkan di kotak penalti. Sayang, Antoine Griezmann gagal mengeksekusinya. Meski beberapa saat kemudian Yannick Carrasco berhasil menjadi penyeimbang, kekalahan adu penalti setelah 120 menit bermain dengan skor 1-1, tak mampu dihindarkan. Torres kehilangan momen terbaiknya saat itu.
Atleti di bawah asuhan Diego Simeone memang berbahaya dan bisa dibilang cukup berprestasi. Namun mereka merengkuh liga terakhir kali pada 2014 lalu dan sampai saat ini tak pernah lagi mendekat di posisi tersebut. Musim ini mereka begitu dekat untuk mengkudeta Barcelona, namun magis Lionel Messi dkk. menghalanginya. Belum lagi mereka tersungkur sedari fase grup Liga Champions Eropa dan fase knock-ot Copa del Rey oleh Sevilla. Mungkin satu-satunya harapan tinggal di ajang Europa League saja.
Masalahnya, kontrak Torres akan berkahir di penghujung musim, belum ada tanda-tanda ia akan diperpanjang kedepannya. Bahkan, saat Cholo –sapaan akrab Simeone ditanya apkah ia akan memperjuangkan perpanjangan kontrak Torres di Atleti, ia dengan spontan menjawab ‘tidak’ tanpa memberi penjelasan lanjutan apapun.
“Masa depan saya selalu (hari) Sabtu depan,” ungkap Torres saat diwawancara oleh laman AS. “Saya tahu setiap pertandingan yang saya mainkan bisa menjadi pertandingan terakhir saya dengan Atletico. Mungkin tidak, tapi itulah yang saya rasakan. Saya memainkan setiap pertandingan seolah-olah itu adalah yang terakhir,” lanjutnya.
Demi Memupus El Pupas
Persaingannya melawan penyerang seperti Diego Costa yang baru kembali, kemudian Griezmann, dan Kevin Gameiro membuat tempatnya di lini depan semakin sempit. Musim lalu, ia mendapatkan menit bermain sebanyak 1417 menit dengan capaian delapan gol di La Liga.
Sedangkan musim ini, catatan tersebut menurun drastis dengan hanya mencatatkan 483 menit dengan capaian dua gol di ajang yang sama. Meski begitu, ia masih merajut mimpinya dan membantu Atleti di Europa League dengan tampil 98 menit (98 menit) dengan capaian dua gol.
Pada akhirnya, tak ada yang menyangkal kecintaan Torres kepada Atleti. Ia sendiri berkali-kali menyebut Atleti adalah rumahnya sendiri. Namun meski ia tumbuh besar di sana, kami berharap virus El Pupas yang tampak sebagai ‘warisan buruk’ turun-temurun ini tak dipelihara oleh Torres.
Ia harus memenangkan gelar prestise (Europa League) di kesempatan terakhirnya. Karena jika ia berakhir nir gelar prestis untuk Atleti, maka virus El Pupas (si Sial) itu benar adanya. Bukan hanya menjangkiti keberuntungan klub, namun juga menjangkiti produk terbaik akademi mereka selama dua dekade terakhir ini.