“Seandainya kalian memiliki uang jutaan Euro di dalam rekening tabungan, kira-kira klub dari manakah yang kalian beli?”
Begitu kiranya pertanyaan singkat saya kepada teman-teman sesama penyuka sepakbola pada obrolan di sebuah warung kopi. Sebagian besar dari mereka menjawab liga kelas wahid seperti Premier League, La Liga, maupun klub di Liga Indonesia.
“Kalau saya sih, beli klub di Belgia saja kayaknya,” ujar saya kepada mereka.
Jawaban yang seketika membuat mereka mengernyitkan dahi.
Faktanya, kini orang-orang yang kaya betulan berlomba-lomba untuk menanamkan uangnya di Liga Belgia, tepatnya di divisi dua Liga Belgia, Belgian First Divison B.
Enam dari delapan klub yang berlaga di divisi dua Liga Belgia kini dimiliki oleh pengusaha asal Asia, Eropa, Amerika, dan Afrika. Mereka di antaranya Tubize yang diakuisisi Sportizen Group Korea Selatan, Leuven yang dimiliki oleh King Power Group yang juga memiliki klub Leicester City, Lierse yanng dimiliki pengusaha Mesir, Xiu Li Hawken (China, Roeselare), Dmitri Rybolovlev (Rusia, Cercle Brugge) yang juga pemilik AS Monaco and Jurgen Baatzsch (Jerman, Royal Union St.-Gilloise).
Sementara di divisi pertama Jupiler League, Aspire Academy dari Qatar mengakuisisi KAS Eupen. Pemilik Cardiff City asal Malaysia, Vincent Tan, membeli K.V. Kortrijk dan terakhir Royal Excel Mouscron yang diakuisisi Latimer group dari Malta.
Reputasi Belgia Sebagai Penghasil Pemain Muda Berbakat
Sudah bukan rahasia bahwa Belgia memiliki reputasi sebagai penghasil bibit-bibit berbakat kelas wahid. Usai kegagalan mereka di Piala Eropa 2000, Belgia yang tampil hancur-hancuran sebagai tuan rumah langsung berbenah salah satunya di sektor pembinaan usia dini. Hasilnya di luar dugaan. Belgia berlari pesat sebagai salah satu negara yang sepakbolanya paling menjanjikan.
Kini hampir seluruh pemain timnas Belgia bermain di klub-klub top Eropa, begitupun dengan klub-klubnya yang seakan tak habis menetaskan pemain berbakat, dengan harga terjangkau tentunya.
Harga Klub Terjangkau
Relatif murahnya harga klub-klub di Belgia dapat dikatakan sebagai pemikat utama bagi para investor. Di antara negara-negara yang berada di bagian barat dan barat-tengah, Belgia menawarkan harga yang miring jauh dari harga klub di negara tetangganya seperti Belanda atau Prancis. Seperti contoh, sebuah perusahaan asal Malta mengakuisi Royal Mouscron FC yang berlaga di kasta pertama Belgia hanya perlu merogoh kocek 8,5 juta Euro (sekitar 140 milyar Rupiah) pada 2015 silam.
Pemilik klub Lierse asal Mesir, Maged Samy, pun pernah mengungkapkan hal yang sama. Maged yang semula hendak membeli salah satu klub Eredivisie Belanda, mendadak belok stir untuk mengakuisisi Lierse yang berlaga di kasta kedua Belgia dengan alasan yang sama: murah.
Kemudahan Mendaftarkan Pemain Asing
Di tengah era globalisasi yang membuat nasionalisme menjadi bias, nampaknya belum berlaku di dunia sepakbola. Melalui pemilik asingnya, klub-klub Belgia ini menjadi ‘rumah’ bagi berbagai pemain muda yang diproyeksikan menjadi tulang punggung bagi kesebelasan negeri asal.
Hal ini juga diamini oleh Pierre Francois, yang menjabat sebagai CEO Liga Sepakbola Profesional Belgia. Menurutnya, inilah salah satu kelebihan kompetisi Belgia yakni sebuah klub hanya perlu membayar uang sebesar 80 hingga 90 ribu Euro saja untuk mendaftarkan pemain non Uni-Eropa. Sebagai perbandingan, di Belanda biayanya mencapai 300 ribu Euro.
Selain itu, kompetisi di Belgia sangat ramah bagi pemain asing. Bayangkan saja, dari total slot 25 pemain, hanya 8 di antaranya yang wajib didaftarkan sebagai pemain homegrown. Dan yang paling memikat para pesepakbola datang ke Belgia adalah kemudahan untuk mendapatkan paspor Uni Eropa. Menurut undang-undang yang berlaku disana, individu yang berkarier di bidang olahraga, seni, maupun ilmu pengetahuan, boleh mengajukan naturalisasi setelah 3 tahun menetap di sana.
Hal ini menjadi satu dari banyak alasan mengapa terutamanya klub-klub asal Inggris yang mewajibkan work permit atau paspor Uni Eropa banyak menjalin kerjasama dengan klub lokal di Belgia dan menghadirkan fenomena feeder club. Mereka diantaranya: Royal Antwerp (Manchester United), KRC Genk (Liverpool), Lierse SK (Sunderland), White Star Waluwe (Sheffield United), KFC Germinal (Charlton), Cercel Brugge (Blackburn), juga Arsenal dan Manchester City yang pernah bekerjasama dengan Beveren dan KV Mechelen.
Tren pembelian klub di Belgia ini turut mendorong agen sepakbola terkenal seperti Pini Zahavi (yang juga bekerjasama dengan Chelsea dan pernah membeli Portsmouth) untuk mengakusisi klub Royal Mouscron. Nantinya, agen seperti Zahavi akan mendapat keuntungan dengan menjual pemain-pemain hasil binaan klub ke klub-klub yang lebih besar di Eropa.
Reality Show Turut Mendongkrak Popularitas Klub
Pendekatan yang menarik dilakukan oleh pemilik klub AFC Tubize asal Korea Selatan, Shim Chan-koo. Shim yang memiliki idealisme untuk membawa pemain muda Korsel, Jepang, dan Tiongkok lebih banyak berlaga di Eropa lantas membeli sebuah klub di Belgia yang menurutnya ‘ramah’ talenta muda asing.
Idenya bermula saat mereka mulai mengakuisi AFC Tubize. Ia dan rekannya berpikir keras bagaimana cara yang efektif untuk mendongkrak popularitas Tubize di Korea Selatan. Seperti yang kita tahu, Korea Selatan adalah salah satu negara yang produktif membuat reality show. Dan ini juga mereka lakukan untuk mempromosikan klubnya. Mereka membuat sebuah pencarian bakat pesepakbola Korea Selatan yang ditayangkan di stasiun televisi KBS.
Hasilnya bisa dibilang sukses. Selain klub yang menjadi terkenal, Tubize kini menjadi kota terpopuler kedua setelah Brussel dan dampaknya akan banyak talenta Korea Selatan yang terpacu bermain di Eropa melalui AFC Tubize. Ketika saya mengecek laman resmi Tubize, mereka bahkan menggunakan domain .co.kr yang merupakan domain resmi Korea Selatan.
Tak selamanya berbuah manis
Mungkin Anda sempat mendengar kalau salah satu grup konglomerasi asal Indonesia, PT Bakrie membeli salah satu klub Belgia, CS Vise di 2011. Saat itu, Aga Bakrie yang bertindak sebagai salah satu pemilik menyatakan kalau alasan pengakuisisian klub yang didirikan 1924 terbebut adalah fasilitas dan kemudahan untuk membawa pemain muda luar Belgia untuk mengembangkan potensinya di Eropa. Tercatat nama seperti Alfin Tuasalamony, Yandi Sofyan, Syamsir Alam, dan Ruben Wuarbanaran. Namun hasil buruk di kancah dometik dan masalah finansial membuat Bakrie melepas kepemilikannya 3 tahun kemudian sebelum akhirnya Vise diambil alih pengusaha lain dan dinyatakan bangkrut.
Belgia sebagai negara yang iklim sepakbolanya unggul di bidang infrastruktur memiliki kelemahan dalam hal finansial, salah satu penyebabnya adalah tingkat pemasukan dari penonton. Fenomena ini membuat beberapa klubnya bangkrut atau akhirnya melakukan merger dengan tim lain. Sebuah hal yang mungkin menuntut para investor ini untuk bisa menghasilkan profit, dalam hal ini sukses untuk memproduksi dan menjual pemain-pemainnya. Karena bagaimanapun, bisnis sepakbola adalah bisnis yang menuntut pelakunya untuk banyak mengeluarkan uang.
Seperti yang pernah dikatakan Sir John Madejski, pemilik klub Inggris, Reading: “Pemilik klub sepakbola yang ideal adalah mereka yang berani merogoh kantung yang dalam, gesit, dan tak mudah putus asa”.
Jadi, apakah Anda juga tertarik membeli klub di Belgia?