Kata Bill Shankly, “Beberapa orang meyakini sepakbola adalah masalah hidup dan mati, namun saya yakin, sepakbola lebih dari hidup dan mati.”
Pernyataan ini memang menimbulkan perdebatan bagi para penikmat sepakbola. Akan tetapi, buat mereka yang terlanjur mencampurkan sepakbola dengan banyak unsur seperti identitas kelas, ras, hingga politik, pernyataan Shankly adalah benar adanya.
Hal ini tercermin dari adanya derby yang secara jelas memperlihatkan perbedaan macam Partizan melawan Red Star di Serbia, Rangers melawan Celtic di Skotlandia, atau Inter Milan menghadapi AC Milan. Di Yunani, derby panas juga terlahir antara Olympiacos menghadapi Panathinaikos dengan tajuk Derby of Eternal Enemies.
Pertandingan yang selalu berujung bentrok, kerusuhan, lemparan ke dalam lapangan, dan tidak jarang korban jiwa berjatuhan. Bahkan The Telegraph pernah merangkum 20 derby terpanas sepakbola dari penjuru dunia. Pertandingan antara Olympiacos menghadapi Panathinaikos menempati urutan kedelapan sebagai derby terpanas, mengalahkan Liverpool vs Manchester United, atau Derby Milan.
Berawal dari Perbedaan Kasta yang Berujung di Peti Mati
Perseteruan kedua kesebelasan dimulai sejak seabad silam. Panathiniakos didirikan setelah Olimpiade 1896 di Athena. Beberapa klub olahraga Yunani menghapuskan sepakbola dari olahraga di bawah naungan klub. Ini membuat Giorgos Kalafatis merasa gerah dan mendirikan Panathinaikos pada 1908 di Athena, ibukota Yunani. Panathinaikos sendiri memiliki arti “terbaik untuk Athena”.
17 tahun setelahnya, Olympiacos didirikan di Piraeus, kota pelabuhan di pinggir selatan Yunani. Yang juga masih bagian dari Athena. Didirikan oleh sebuah keluarga yang berpengaruh di Piraeus, Keluarga Adrianopolous, yang dikenal karena menjadi penyumbang untuk Olimpiade Yunani tahun 1896. Keluarga Adrianopoulus kemudian mendirikan klub olahraga dengan nama “Piraikos Podosfairikos Omilos FC” sebelum merger dengan klub lokal, “Piraeus Fans Club FC” dan menjadi Olympiacos pada tahun 1926.
Jauh sebelum kedua klub berdiri.,Piraeus selalu dianggap sebagai kota penuh aib bagi warga Athena sejak abad kelima. Pireaus sebagai kota pelabuhan dianggap warga Athena sebagai kota penuh perzinaan antara para pelaut dari seluruh Eropa dan Amerika dengan warga Piraeus. Sedangkan bagi warga Piraeus, mereka menatap dengan iri ke Athena sebagai kota kaum borjuis.
Jarak Athena dan Piraeus hanya 10 kilometer. Athena punya identitas sebagai kota bagi kelas atas, di mana filsuf, pemikir, dan pusat pemerintahan, berada di sana, juga sebagai pusat peradaban Eropa. Sementara Piraeus adalah kota pelabuhan yang dipenuhi para pekerja kasar, buruh, dan warga pelabuhan. Kekerasan dan kriminalitas juga menjadi sering menjadi label Piraeus.
Perbedaan inilah yang juga turut larut dalam pertandingan Panathinaikos menghadapi Olympiacos. Warga Piraeus sangat mendukung Olympiacos. Ditambah kelas pekerja dari penjuru Yunani juga turut mendukung Olympiacos. Mereka menganggap Panathinaikos sebagai klub perwakilan kaum atas Yunani harus diberikan pelajaran. Sedangkan bagi Panathinaikos mereka menjaga gengsi mereka sebagai klub kelas atas Yunani.
Persaingan memanas sejak tahun 1930, di mana pertandingan antara Olympiacos menghadapi Panathinaikos dalam rangka final kejuaraan nasional dilaksanakan di kandang Olympiacos.
Ribuan suporter Panathinaikos hadir dengan membawa peti mati dengan lambang Olympiacos. Dan memang Panathinaikos menang telak 8-2 atas tuan rumah. Suporter Panathinaikos kemudian mengejek suporter tuan rumah, bentrokan tak terhindarkan. Semenjak itulah pertemuan keduanya tidak pernah lepas dari bentrokan. Bahkan seringkali berujung hilangnya nyawa.
Dominasi Olympiacos dan Mereka yang Berkhianat
Olympiacos sejauh ini menjadi raja di persepakbolaan Yunani dengan total 79 gelar domestik berbanding 44 gelar milik Panathinaikos. Ironisnya pada musim 1954 hingga 1959, suporter Panathinaikos dibuat geram ketika Olympiacos mengangkat gelar juara di kandang Panathinaikos, Apostolos Nikolaidis Stadium. Memang pada saat itu kandang Olympiacos, Georgios Karaiskakis Stadium, direnovasi sehingga memaksa Olympiacos menumpang di kandang Panathinaikos.
Tidak hanya suporter, pemain-pemain pun juga menjadi korban dari rivalitas ini. Penjaga gawang Yunani, Antonios Nikopolidis, merupakan korban dari rivalitas ini. Ia memperkuat Panathinaikos sejak 1989 dan turut membantu meruntuhkan dominasi Olympiacos sejak musim 1989-1990 hingga 2003-2004.
Nikopolidis kemudian pindah ke Olympiacos pada 2004. Ketika itu Panathinaikos mengalami kesulitan finansial yang memaksa Nikopolodis hengkang. Nikopolodis kemudian membantu Olympiacos meraih gelar juara liga pada 2005. Nikopolodis dianggap judas bahkan kalimat bahwa Nikopolodis “menurunkan kasta dirinya” selalu diucapkan suporter Panathinaikos ketika Nikopolodis berada di bawah gawang, baik bersama Olympiacos atau Tim Nasional Yunani.
Namun, pembelotan Nikopolidis dari Panathinaikos ke Olympiakos hanya bagian kecil dari pecahnya rivalitas kedua kubu. Laporan suap dan pengaturan pertandingan pada tahun 2011 adalah puncaknya.
Tuduhan, yang dikenal sebagai Koriopolis, terungkap pada tahun 2011 dan banyak individu termasuk agen, pejabat, pensiunan wasit, dan ketua dan pemilik Olympiakos, Evangelos Marinakis, dilaporkan terlibat.
Sepanjang investigasi, Marinakis menyangkal semua tuduhan tuduhan dan mempertahankan argumennya. Investigasi atas tuduhan tersebut berlangsung selama empat tahun, hingga April 2015 ketika Marinakis dibebaskan dari semua tuduhan oleh jaksa. Ini membuat pihak Panathinaikos geram karena apabila terbukti, Panathinaikos berhak menjadi juara dan Olympiacos harus turun divisi.
Rivalitas ini kemudian melebar di olahraga lainnya seperti Polo Air, Basket, dan beberapa cabang atletik. Tentu saja apabila kedua klub bertemu, flare, lemparan benda asing, atau kerusuhan, akan terus berlanjut. Karena keduanya masih membawa perbedaan kelas mereka ketika mendukung klub kesayangannya. Toh mengutip kata-kata Aristoteles, bahwa kejahatan terbesar terjadi bukan karena keinginan tapi adanya ras muak. Sebuah kata yang menggambarkan perseteruan kedua klub secara tepat.