Sekitar dua dekade lalu, Manchester United seakan tidak terhentikan. Mereka menguasai sepak bola Inggris dengan sangat luar biasa. Beberapa penantang memang sempat berupaya menghentikan dominasi United. Tetapi itupun tidak lama, United selalu berhasil kembali ke tampuk kekuasaan. Namun dalam beberapa tahun terakhir semua berjalan agak berbeda.
Berbicara soal United menjadi kekuatan dominan di sepakbola Inggris tentu tidak lepas dari sosok Sir Alex Ferguson. Bagaimana manajer asal Skotlandia ini tidak hanya membangun sebuah tim, tetapi lebih jauh lagi, ia membangun sebuah klub. Sir Alex membangun United dari puing-puing klub yang gagal move on dari Sir Matt Busby, menjadi sebuah klub yang justru kemudian identik dengan namanya sendiri.
Ada standar tinggi yang hadir ketika Sir Alex menangani United. Dan semua, terutama para penggemar tentu sadar betul akan hal tersebut. Bagaimana klub dijalankan dengan manajemen terbaik, dan tim di lapangan pun tampil dengan kualitas kelas satu. Ada banyak hal yang bisa dibanggakan. Seluruh elemen klub mabuk dalam kejayaan.
Di tengah kondisi ‘mabuk’ tersebut. Seluruh elemen klub, terutama para penggemar, memilki standar atau patokan tersendiri terkait sebuah keadaan. Dan yang menjadi pembanding tentu adalah klub lain yang ada di kancah sepak bola Inggris. Bertahun-tahun lalu, United menjadi sebuah klub dengan situasi yang ideal ketimbang klub lain.
Tetapi semuanya sudah berubah. United bukan lagi klub yang sama seperti berdekade lalu. Beberapa penggemar memang sadar bahwa United berada di situasi sulit. United bukan klub yang sama seperti dalam ingatan mereka. Yang menjadi pelik, tidak semua menyadari bahwa United berubah menjadi segala sesuatu yang mereka olok-olok di masa di sebelumnya.
Menjadi Seperti Arsenal
Dengan Class of ’92 dan evolusi seorang Cristiano Ronaldo, para fans United selalu menganggap bahwa produksi dan pengembangan bakat klub kesayangan mereka jauh lebih baik ketimbang Arsenal. Yang seperti diketahui cukup dikenal sebagai klub yang juga mengembangkan bakat para pemain belia. Yang selalu dibanggakan adalah bagaimana para pemain binaan United bisa menghasilkan (profitable) bukan saja dari segi keuntungan finansial tetapi juga dari segi prestasi, dengan kata lain, alumnus akademi United ikut berkontribusi terhadap raihan gelar juara yang dicapai klub.
Hal tersebut memang terjadi bertahun-tahun lalu. Dari era Class of 92, berlanjut ke generasi Wes Brown dan John O’Shea, terus terjadi hingga generasi Tom Cleverley dan Danny Welbeck. Tetapi setelahnya, para pemain belia binaan United pun tidak semua berhasil menetas dengan baik. Beberapa bahkan mesti bernasib tragis dan mesti dilego ke klub lain. Padahal awalnya mereka dianggap akan menjadi tulang punggung tim di masa mendatang.
Contoh besarnya adalah, ada begitu banyak kemiripan antara kasus yang dialami oleh Carlos Vela dengan yang terjadi kepada Adnan Januzaj. Atau antara Jack Wilshere dengan Tom Cleverley. Dan kasus-kasus lain yang dengan situasi yang hampir serupa.
Menjadi Seperti Chelsea dan Manchester City
Sebuah kausalitas terkait memaksimalkan produk akademi. Dalam dua dekade, United bisa merajai sepakbola Inggris, tanpa melakukan transfer yang gila-gilaan. Maka ketika Chelsea dan Manchester City diakuisisi dan hadir sebagai klub dengan kekuatan finansial yang luar biasa. Lalu kemudian menumpuk para pemain bintang. Para penggemar United selalu membanggakan bahwa klub mereka menghargai proses, dan tidak melakukan segala sesuatunya dengan instan (dengan membeli pemain jadi/bintang).
Tetapi melihat fenomena yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Di mana United juga mengeluarkan dana besar, bahkan terhitung gila, salah satunya untuk memulangkan Paul Pogba. Secara tidak langsung, United justru berada di jajaran yang sama dengan Chelsea dan City yang mereka olok-olok bertahun-tahun lalu. Well, meskipun memang ada beberapa pembenaran terkait situasi United saat ini yang. Salah satunya adalah terkait harga pasar pemain yang terus melonjak.
Menjadi Seperti Liverpool
Tidak perlu berlama-lama, ada dua poin utama terkait hal ini. Yaitu bagaimana Beberapa penggemar United selalu saja mengungkit-ngungkit sejarah dan hal yang telah lalu, serta terus berbicara soal musim depan. Apabila para penggemar Liverpool selalu membicarakan kejayaan mereka di tahun 1970 hingga 1980an. Sementara kini, rasanya semua penggemar United sangat merindukan era kejayaan bersama Sir Alex yang legendaris itu.
Para penggemar United mungkin tidak secara eksplisit mengungkapkan “Next Year Will Be Ours”. Tetapi setiap kali tim tampil buruk, perkataan ini tentu akan terbesit di benak mereka.
***
Bagi United sebagai klub, yang mesti dilakukan selanjutnya tentu adalah mengubah segala sesuatnya ke arah yang lebih baik. Retorikal dan klise memang. Tapi memangnya mau bagaimana lagi. Dulu United adalah yang terdepan, kini sedang agak di belakang, dan mesti mengejar klub-klub lain yang juga sedang berpacu.
Bagi para penggemar, yang mesti dilakukan yang sesuai dengan naluri alamiahnya. Mendukung United dalam situasi seperti apapun. Selain juga menjadi uji terkait loyalitas dan konsistensi sebagai penggemar sepak bola. Juga bukankah para penggemar berjanji kepada Sir Alex untuk mendukung dan setia di belakang para manajer baru seperti menduku dan setia di belakang Sir Alex ketika ia berkuasa?