Mungkin semua sepakat ketika menyebut cara mencetak gol paling mudah dalam sepakbola adalah melalui tendangan penalti. Melakukan tendangan penalti memang tidak serumit dalam melakukan skema serangan terbuka. Di mana dalam skema tersebut, strategi dalam bertahan dan menyerang saling beradu untuk menghasilkan gol. Sementara itu, hanya ada dua pemain yang berhadapan dalam tendangan penalti: sang eksekutor dan penjaga gawang.
Tentu sang eksekutor perlu kemampuan yang bagus dalam teknik mencetak gol. Akan tetapi rasanya lebih sederhana ketimbang mencetak gol lewat permainan terbuka. Ketegangan akan lebih intens saat keduanya berhadapan. Tanggung jawab besar ada di kedua pihak. Mentalitas kedua pemain dibuktikan di tendangan 12 pas ini. Apalagi jika situasi memasuki adu tendangan penalti, rasa lelah bermain 2 x 45 menit ditambah ekstra time selama 30 menit. Tenaga yang terkuras otomatis memengaruhi konsentrasi untuk mengeksekusi penalti, belum lagi tekanan yang begitu besar.
Namun benarkah mengeksekusi penalti hanya sebatas adu dua kekuatan mental dan sedikit teknik? Penalti tidak semudah itu, baik bagi sang eksekutor maupun sang penjaga gawang. Sulit bagi keduanya dalam menghadapi tendangan penalti. Meskipun beberapa ahli sport-science menyebut kalau beban 80% ada di penendang. Namun sebenarnya penjaga gawang pun punya tekanannya sendiri untuk menghentikan penalti.
Mengeksekusi Penalti, Cara dan Strategi
Membahas statistik tendangan penalti tidak akan lepas dari sang Professor Penalti, Ignacio Palacios-Huerta. Pria asli Basque yang menjadi dosen di London School of Economics ini sudah mempelajari tendangan penalti secara intens sejak 2003. Menurutnya eksekutor penalti selalu punya polanya masing-masing dan itu bisa dipelajari.
Mari mengambil studi kasus di Piala Dunia 2018 lalu. 28 penalti dieksekusi di Piala Dunia lalu, angka ini tidak termasuk adu tendangan penalti. Data yang ditunjukkan Palacios-Huerta dari 28 tendangan penalti selama turnamen berlangsung menjukkan secara statistik penjaga gawang memeliki kecenderungan untuk melompat ke arah kanan penjaga gawang (13 kali).
Statistik lain menjukkan eksekutor penalti cenderung melakukan eksekusi ke arah kiri penjaga gawang (15 kali). Namun meskipun demikian, penjaga gawang mampu membaca arah bola 10 kali dari 28 tendangan. Dari 10 tendangan yang berhasil dibaca, 7 tendangan sukses digagalkan oleh penjaga gawang. Dengan kata lain ada satu tendangan penalti gagal tiap 4 kali hukuman penalti dijatuhkan.
Angka ini cukup mengejutkan, karena jumlah gol di Piala Dunia 2018 cukup banyak yakni 169 gol. Namun jumlah penalti yang gagal juga cukup besar. Apa yang menyebabkan hal ini? Bahkan pemain sekaliber Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo pun gagal mengeksekusi penalti, Messi menghadapi Islandia dan Ronaldo ketika menghadapi Iran.
“Ini memberikan gambaran yang jauh lebih baik, dan berbeda,” kata Palacios-Huerta.
“Penjaga gawang pada dasarnya memilih sisi dengan frekuensi yang sama dengan penendang, dan mereka cukup bagus dari perspektif ini. Dalam hal menebak sisi yang benar, kiper telah melakukannya dengan 10 dari 28 tendangan yang dilakukan, yang sedikit di bawah tingkat harapan 48-50% penyelamatan.” ucap Palacios-Huerta di the42.com
Menurutnya faktor utama kegagalan eksekutor penalti adalah melakukan eksekusi tidak seperti biasa yang dilakukan sang penendang. Messi yang berkaki kidal biasanya melakukan tendangan ke kanan gawang alias menyilang. Melawan Islandia, Messi memilih menendang ke arah kiri gawang. Tendangannya gagal dan bisa diantisipasi.
Faktor kedua adalah kemampuan penjaga gawang membaca gestur tubuh sang penendang. Kegagalan Ronaldo menghadapi Iran menjadi contohnya. meskipun melakukan kebiasannya dengan menendang ke arah kanan gawang, gesturnya yang membuka badan bisa ditebak bahwa ia tidak akan melakukan sepakan menyilang. Inilah yang dibaca penjaga gawang Iran dan menggagalkan eksekusi penalti pemain Juventus ini.
Teknik Menendang Penalti Kegagalan John Terry
Lalu bagaimana dengan adu penalti? Menurut Palacios-Huerta, mengeksekusi penalti lebih dulu akan memperbesar kemungkinan sebuah tim untuk keluar sebagai pemenang prosentasenya pun cukup besar 96%.
Itulah yang diambil oleh Rio Ferdinand di Final Liga Champions 2008 silam. Menghadapi adu tos-tosan, Ferdinand memenangkan tos koin yang memberinya hak memilih giliran untuk menendang pertama atau kedua. Ferdinand yang awalnya tidak yakin memutuskan mengambil giliran pertama bagi United.
Chelsea sebenarnya lebih siap menghadapi adu tendangan penalti. Bermain di Luzhniki Stadium, rumah bagi sang pemilik Roman Abramovich, Arvam Grant sudah bekerjasama dengan Palacios-Huerta guna mengantisipasi kemungkinan menghadapi penalti sebelum final.
Palacios-Huerta memberitahu semua trik dan mempelajari kekurangan Edwin van der Sar di bawah mistar gawang United kala menghadapi penalti. Langkah ini bukan tanpa alasan. Di ajang Community Shield, Van Der Sar mempermalukan Chelsea dengan menepis semua tendangan penalti Chelsea di babak adu penalti. Arvam Grant tidak ingin mengulangi kejadian buruk di Community Shield dan kemudian mempersiapkan semuanya.
Palacios-Huerta menyuruh semua eksekutor untuk tidak melakukan tendangan secara menyilang dan menendang kearah kanan, 4 penendang Chelsea (Ballack, Beletti, Lampard, Terry) menuruti apa yang dikatakan Palacios-Huerta, hanya Ashley Cole yang melakukan tendangan menyilang dan nyaris saja terbaca. Namun pengecualian bagi Ashley Cole adalah ia memang seorang kidal.
Semua berjalan lancar ditambah kegagalan Ronaldo, meskipun Cech bukan penjaga gawang yang baik dalam menghadapi penalti. Namun keputusannya untuk tidak bergerak ketika Ronaldo berhenti menjadi kunci. Chelsea di atas angin, dan penendang kelima,yakni John Terry memang melakukan apa yang disuruh oleh Palacios-Huerta, namun gagal.
Mengapa Terry gagal? Banyak pihak menyalahkan rumput Luzhniki yang licin sehingga pijakan Terry tidak seimbang dan membuatnya terpeleset. Kenyataannya ada di buku Totally Frank, biografi milik Lampard, di mana di buku tersebut, menjelaskan bagaimana buruknya Terry dalam mengeksekusi penalti.
“Dia sangat sulit mengeksekusi bola. Menghadapi Portugal ia sedikit goyah dan nyaris terpleset namun menjadi gol. Begitulah Terry, keseimbangannya buruk. Di Chelsea, ia kerap terpeleset saat latihan penalti, kadang masuk kadang juga tidak.”
Dan Anelka yang menjadi eksekutor terkahir gagal setelah menendang ke arah kiri, satu-satunya penendang Chelsea yang mengarahkan bolanya ke arah kiri. Pembelaan bagi Anelka adalah, Van Der Sar memainkan mind games dengan menunjuk ke arah kanan di mana semua pemain Chelsea mengarahkan tendangannya. Seolah Van Der Sar sudah membaca, Anelka secara logis akan melakukan sepakan ke kiri, dan Van Der Sar untuk pertama kalinya mengabaikan arahan Ferdinand di babak adu penalti tersebut. Sisanya semua merupakan sejarah.
Penalti, bukan lagi soal mental dan teknik. Namun persiapan dan latihan khusus untuk mengeksekusi penalti jelas dibutuhkan. Dengan banyaknya alat melakukan analisis bagi penjaga gawang untuk menerka arah tendangan, maka penalti pun tidak lagi mudah dilakukan.
Latihan dan mengasah teknik mengeksekusi penalti dengan benar adalah kewajiban. Jika masih ada yang meragukan sulitnya menguasai teknik tendangan penalti, maka silahkan bergabung dengan John Terry untuk meratapi kegagalan mengeksekusi penalti.