Menjadi manajer atau pelatih sepakbola mungkin menjadi impian banyak orang. Gaji berlimpah, dapat sorotan media pula. Tugasnya pun terkesan mudah: cuma pilih-pilih pemain, pasang formasi, duduk manis di bench. Namun, menjadi pelatih ternyata tak semenyenangkan itu.
Hal ini yang dirasakan Carlos Carvalhal yang pernah menangani Sheffield Wednesday dan Swansea City. Kepada BBC, ia menceritakan kehidupan yang dialaminya sebagai seorang manajer.
Intervensi Manajemen
Tentu jarang kita mendengar ada pelatih kesebelasan top yang diintervensi oleh manajemen dalam soal taktik maupun susunan pemain. Hal ini memang tidak ditemui Carvalhal di Premier League, melainkan di Divisi Tiga Portugal, Leixoes.
Bersama Leixoes ia sempat membuat kejutan dengan lolos ke final Piala Taca de Portugal. Ia berhasil mengalahkan kesebelasan Divisi Dua, Portimonense di perempat final, dan kesebelasan Divisi Pertama, Braga di semifinal. Namun, mereka kalah dari Sporting Lisbon 0-1 di final.
Meskipun sukses dengan skuat dan strateginya, di musim selanjutnya, pemilik klub justru mendikte Carvalhal untuk menurunkan pemain tertentu. Tentu, permintaan pemilik ini ditolak mentah-mentah oleh Carvalhal. Tahu apa yang dikatakan si pemilik? Dia bilang, “Lakukan apa yang kau mau, tapi kalau kalah, kamu tahu apa yang akan terjadi.”
Setelah pertandingan yang ia menangkan, di depan para pemain Carvalhal memberi si pemilik armband lalu berkata, “Kini kalian punya manajer baru. Anda (pemilik) ingin menjadi manajer tim ini, maka aku akan keluar.”
Carvalhal pun memutuskan berhenti dari klub. Menurutnya, kalau pemilik sudah masuk ke ruang ganti dan memilih satu pemain untuk dimainkan, ia tak bisa lagi menjadi manajer. Karena setiap keputusan harus dibuat oleh manajer.
Pemain pun menjadi pilar penting buat karier seorang manajer. Carvalhal mengalami bahwa di setiap kesebelasan yang ia ampu, di pekan-pekan awal, para pemain besar di klub seperti menjadi tantangan buatnya. Namun, kalau berhasil memenangkan hati para pemain ini, kesuksesan akan mudah untuk diraih.
“Kalau Anda kehilangan mereka, Anda selesai. Mungkin dalam waktu minggu atau bulan, dan Anda akan keluar.”
Menghadapi Media
Carvalhal dikenal oleh media Inggris sebagai pelatih yang senang beranalogi. Salah satu yang terkenal adalah ketika ia menangani Sheffield Wednesday. Kejadian pada 26 September 2017 itu bermula ketika ada wartawan yang bertanya soal kualitas timnya. Belum pertanyaan itu rampung diucapkan, dengan berapi-api Carvalhal merogoh sakunya dan mengeluarkan uang 20 paun.
“Kamu tahu ini apa?” tanya Carvalhah.
“Uang 20 paun,”
“Ya, ini uang 20 paun.”
Carvalhal lalu memukul dan meremas uang tersebut dengan tangannya. Setelah terlihat remuk, Carvalhal kembali bertanya, “Anda tahu nilai uang ini berapa?”
“Masih 20 paun,” kata si wartawan.
“Ya, masih 20 paun.”
Carvalhal, kemudian kembali memukul uang tersebut dengan memukulnya di atas meja. “Masih 20 paun kan? Ini adalah jawaban yang sama (soal kualitas tim).”
Analogi tersebut dipaparkan untuk menjawab bagaimana kualitas tim ketika dikalahkan lawan. Menurut Carvalhal, sama seperti uang, dihancurkan seperti apapun, nilai dan kualitas tim akan tetap sama.
“Penting bagi para pemain dan penggemar untuk mendengar pesan. Namun, apa yang lebih penting adalah saya bukanlah manajer yang sebentar, tapi untuk sepanjang waktu. Saya menjelaskan ke para pemain bahwa terkadang apa yang saya katakan di ruang ganti dan konferensi pers akan berbeda.”
Ini juga yang membuat Carvalhal tak begitu setuju dengan hairdryer treatment. Pasalnya, kondisi psikologis seseorang itu berbeda.
“Apa yang menggerakkan pemain? Beberapa termotivasi karena kebanggaan, beberapa karena uang, beberapa karena ketakutan, Anda mesti mengerti kepribadian mereka. Saat percakapan pertama kali dengan setiap pemain, setelah dua atau tiga menit, saya mengerti banyak soal kepribadian mereka. Ini insting.”
Musuh Pelatih
Carvalhal menilai kalau saat ini pelatih juga punya musuh baru bernama media sosial. Para penggemar di Twitter atau Facebook bisa membuat opini yang menjadikannya sebagai lawan yang kuat buat manajer saat ini.
“Para pemain kini lebih egois, mereka hidup di dunia pribadi. Sepakbola juga merusak pemain dengan cara ini. Media sosial adalah musuh besar buat manajer. Saya mengalaminya di Swansea,” tutur Carvalhal.
Kala itu, ada pemainnya yang cedera lutut. Dia berlatih di rumah dua hari sebelum pertandingan dengan personal trainer. Menurutnya, ini tak bagus karena PT tak terkoneksi dengan apa yang dibutuhkan pelatih. Selain itu, siapa yang akan bertanggung jawab kalau mereka berlatih dengan PT lalu cedera?