“Mau jadi apa, London tanpa Chelsea? Mau jadi apa, Italia tanpa Juve? Mau jadi apa, Spanyol tanpa Barca!? Apa kata dunia tanpa Arema!”
Lantunan tersebut sering kali dikumandangkan para Aremania saat menemani tim kesayangan mereka bertanding. Sebenarnya, lagu itu digunakan banyak klub di Indonesia, kita hanya perlu mengubah nama tim di bagian akhirnya saja.
Hal yang sama juga bisa dilakukan untuk menelaah tim nasional Indonesia di Piala AFF 2018. Pelatih tim Garuda, Bima Sakti sudah mengumumkan pemain-pemain pilihannya pada 30 Oktober 2018. Namun tak satupun berasal dari pemuncak klasemen sementara, PSM Makassar. Bedasarkan lirik di atas, bayangkan jika tim nasional Italia tanpa satupun pemain Juventus, atau Spanyol tidak memanggil para penggawa Barcelona. Aneh bukan?
Robert Rene Alberts yang menangani tim Juku Eja bahkan terbingung-bingung dengan keputusan Bima Sakti. “Ada apa dengan sepak bola Indonesia? Lihat negara-negara lain, Inggris, Spanyol, Italia, Jerman, tim nasional pasti ada pemain dari pemuncak klasemen liga,” katanya dikutip bola.com.
Tapi sebelum berpikir negatif tentang keputusan Bima Sakti, mantan asisten Luis Milla itu sudah menjelaskan pilihannya. “Ini adalah kombinasi dari tim Asian Games dan pemain-pemain yang ikut dalam uji coba melawan Mauritius, Hongkong, dan Myanmar,” kata Bima di situs resmi PSSI.
Sayangnya, tidak satupun pemain PSM Makassar dipanggil pada laga-laga tersebut. Sebaliknya, Barito Putera yang berada di papan tengah Liga 1 mengirim tiga nama. Hansamu Yama Pranata, Rizki Pora, dan Gavin Kwan Adsit, merupakan langganan tim nasional di era Luis Milla. Ketiganya masih dipercaya oleh Bima Sakti untuk AFF 2018.
Bek Arema FC, Bagas Adi Nugroho bahkan terkejut namanya masuk ke daftar pemain Bima Sakti. “Saya benar-benar terkejut. Apalagi jarang main untuk klub, tidak menyangka dapat dipanggil,” akunya ke Bola.net.
Sama seperti para pemain Barito Putera, Bagas merupakan salah satu pemain andalan Milla. Bahkan sempat menjadi kapten untuk tim nasional U-23. Bima Sakti saat ini hanya melanjutkan apa yang telah dibentuk Milla. Hingga pada akhirnya, ia memilih 23 pemain ‘titipan’ Luis Milla Aspas!
Garis akhir era Milla
21 Januari 2017, Luis Milla ditunjuk PSSI sebagai pengganti Alfred Riedl di tim nasional Indonesia. Bukan hanya menangani tim senior, ia juga mengurus U-23 yang disiapkan untuk SEA Games. Total, 17 laga dari dua turnamen dan enam uji coba Indonesia main dengan sistem yang diterapkan Luis Milla.
Meski pada akhirnya Milla meninggalkan Indonesia tanpa memberikan satupun piala, gaya yang ia terapkan menyihir berbagai kalangan. Bahkan PSSI sampai didesak para suporter tim nasional Indonesia untuk mempertahankan jasa Milla meski gagal mencapai target di Asian Games 2018.
PSSI sudah berusaha untuk mempertahankan Milla. Namun pelatih asal Spanyol itu tidak kunjung kembali dari liburannya. Hingga pada akhirnya jasa dia harus dilepas oleh pihak Asosiasi Sepakbola Indonesia. Milla merasa puas dengan kinerjanya selama di Indonesia. Dirinya hanya kecewa dengan manajemen yang menaungi tim nasional.
“Proyek satu setengah tahun telah berakhir. Saya merasa sudah melakukan pekerjaan yang baik. Meski 10 bulan terakhir manajemen sangat buruk, para pemimpin kurang profesional, dan terjadi pelanggaran kontrak, Indonesia akan selalu jadi rumah kedua saya,” tulis Milla di akun Instagram miliknya.
Kini, Bima yang merupakan tangan kanan Milla selama di Indonesia hanya membawa tim pilihan pelatih asal Spanyol tersebut ke garis akhir. Direktur Teknis Indonesia, Danurwindo, bahkan mengakui bahwa penunjukan Bima sebagai pelatih kepala untuk AFF 2018 didasari oleh kedekatannya dengan Milla.
“Bima memang sebuah pertaruhan. Tapi untuk saat ini, hanya Bima yang memahami gaya main dan metodologi Luis Milla,” kata salah satu otak di balik filosofi sepakbola Indonesia, ‘Indonesian Way‘ itu kepada bola.com.
Setelah mendapatkan medali perunggu di SEA Games 2017 dan menembus 16 besar Asian Games 2018, Piala AFF adalah panggung pembuktian Luis Milla. Meski tidak lagi bersama tim nasional Indonesia, lewat pemain-pemain favorit dan mantan asistennya, 8 November hingga 15 Desember mendatang adalah sebuah persembahan untuk pria 52 tahun itu.
‘Indonesian Way’ !
Saat Luis Milla ditunjuk sebagai pelatih tim nasional Indonesia, banyak yang berharap gaya permainan Evan Dimas dan kawan-kawan menjadi seperti Spanyol. Hal itu juga terlihat di atas lapangan. Luis Milla mengandalkan transisi yang cepat untuk menyerang dan meminta para pemain Indonesia untuk berani menekan lawan saat kehilangan bola.
Namun sebenarnya, Luis Milla hanya mematuhi keinginan PSSI yang sudah memiliki gaya permainan dan arah tertentu untuk tim nasional Indonesia. Filosofi ‘Indonesian Way‘ bukan sekedar bola-bola pendek, dan keberanian untuk menekan lawan. Variasi serangan menjadi kunci ‘Indonesian Way‘.
Ini mengapa pemain-pemain seperti Ricky Fajrin, Saddil Ramdani, dan Stefano Lilipaly menjadi langganan tim nasional. Terlepas dari posisi utama mereka, tiga nama itu bisa mengisi berbagai pos dan tetap main dengan mental yang sama. ‘Indonesian Way‘ tidak takut memainkan bola-bola panjang atau daerah. Agresivitas dan mobilisasi pemainlah yang menjadi dasar utamanya.
Wakil Ketua Umum PSSI, Joko Driyono, memang mengakui Spanyol sebagai kiblat pilihan untuk ‘Indonesian Way’. “Jika diperhatikan, kandidat pelatih tim nasional mengerucut ke asing. Eropa atau Amerika Latin, akhirnya yang dipilih Eropa. Belanda, Jerman, Eropa Timur ataupun Spanyol. Dikaitkan dengan tipikal permainan, akhirnya disahkan Spanyol,” jelas Joko ke Pandit Football.
Luis Milla yang juga berasal dari Spanyol membuat oper-operan para pemain tim nasional menjadi perhatian khusus di setiap laganya. Tapi ingat juga bahwa mobilitas pemain mulai populer lewat ‘Total Football‘ milik Belanda. Trend untuk menekan lawan saat kehilangan bola juga mulai diidolakan sejak Jurgen Klopp berhasil membawa Borussia Dortmund juara 1.Bundesliga, Jerman.
Milla sebagai standar
Mungkin saat Milla mengasuh tim Garuda, aroma Spanyol terasa kental. Joko Driyono juga sudah mengakui bahwa Negeri Matodor menjadi kiblat permainan Indonesia. Tapi dalam penerapannya, ‘Indonesian Way‘ racikan PSSI adalah gabungan dari Belanda, Jerman, dan Spanyol. Bahkan keberanian duel fisik para pemain bisa dikatakan sebagai pengaruh Eropa Timur. Tapi, Indonesia juga pada dasarnya bermain keras sejak dulu. Hanya saja, sekarang terlihat lebih rapi.
Sejatinya, filosofi tak akan berubah meski pelatih datang dan pergi. Sialnya untuk penerus Luis Milla, mantan pelatih Real Zaragoza itu akan terus membayangi andai penampilan tim nasional menurun. Masalahnya, Milla sudah memberikan standard baru dalam tim nasional Indonesia.
Bima Sakti yang paling dekat dengan Milla juga kemungkinan besar tidak akan terus di tim nasional senior dan U-23. Dia sudah ditugaskan untuk sebagai pelatih Indonesia U-15 oleh PSSI. Target Olimpiade 2024 telah menunggunya setelah AFF 2018.
Sejauh ini, nama Pelatih Bhayangkara FC, Simon McMenemy, disebut menjadi favorit. Pelatih asal Skotlandia itu juga tak keberatan jika dipercaya menangani tim Garuda, asalkan PSSI menunjuknya setelah Liga 1 2018 berakhir .
“Saya sudah dengar rumor itu. Banyak juga yang menanyakan. Tapi saat ini fokus saya adalah mempertahankan gelar bersama Bhayangkara,” tutur McMenemy seperti dikutip Kompas. Namun, siapapun yang ditunjuk PSSI untuk menangani tim nasional Indonesia nantinya, dia harus bisa menerapkan filosofi ‘Indonesian Way‘ lebih baik dari Milla.
Hanya saja untuk AFF 2018, harus diakui bahwa Indonesia tidak lebih dari tim titipan Milla.