Lolos dari tragedi kemanusiaan sebesar Holocaust merupakan sebuah pencapaian yang jelas harus disyukuri. Tapi itu jelas tidak cukup bagi pria asal Austria-Hungaria yang selain lolos dari Holocaust juga mencatatkan tinta emas dikancah persepakbolaan Eropa. Ia juga menciptakan kutukan selama 100 tahun bagi kesebelasan yang dilatihnya. Sosok di atas dirangkum menjadi satu nama yang tidak asing, Béla Guttmann.
Béla Guttmann merupakan sosok yang bisa dianggap eksentrik. Ia tidak segan-segan merombak susunan tim utama tanpa kompromi. Semua dilakukan untuk mencapai hasil yang terbaik sesuai yang ia inginkan. Tidak jarang, tingkah eksentriknya ini, justru memberikan banyak kecaman, termasuk mengutuk Benfica yang saat itu enggan menaikkan gajinya.
Dua Benua, Lusinan Klub
Béla Guttmann merupakan Yahudi kelahiran Budapest yang saat itu masih merupakan bagian dari Austria-Hungaria pada 1899. Dengan kata lain, Guttmann telah melewati dua perang dunia selama hidupnya. Melewati dua perang besar ditambah sempat masuk dalam kamp milik Nazi jelas berpengaruh bukan hanya dari segi karier, tapi juga mental.
Lolosnya Guttmann dari Holocaust sendiri menciptakan banyak cerita di mana semuanya masih simpang siur. Yang paling terkenal adalah Guttmann bersama adiknya kabur ke Swiss ketika Jerman masuk ke wilayah Austria.
Cerita ini kemudian dibantah David Bolchover, penulis kelahiran Inggris, yang menulis biografi Guttmann, Greatest Comeback: From Genocide to Football Glory. Buku yang masuk dalam nominasi William Hill Book of The Year 2017 lalu, menceritakan bagaimana Guttmann tidak pernah ke Swiss seperti cerita selama ini. Ia tetap bertahan di Hungaria sembari bersembunyi di atap sebelum tertangkap dan dimasukkan ke kamp. Guttmann lolos setelah melompat dari jendela dapur kamp tersebut.
Setelah lolos dari cengkraman dan ancaman Holocaust, Guttmann melatih kesebelasan Hungaria, Vasas SC. Ketika itu ekonomi Hungaria belum stabil pasca Perang Dunia yang membuatnya memilih hengkang ke Rumania. Saat itu ia melatih Ciocanul di mana gaji yang diterima Guttmann adalah berupa bahan pokok makanan seperti kentang dan sayur mayur. Ia mengundurkan diri setelah mendapatkan intervensi dari pemilik klub saat itu dalam menyusun formasi.
Guttmann kemudian melanjutkan karier kepelatihan ke Italia, Argentina hingga Siprus. Watak keras Guttmann seringkali membuat konfrontasi dengan para dewan atau pemilik klub. Pada 1953, Guttmann menangani AC Milan yang saat itu diperkuat beberapa legenda seperti Gunnar Nordahl, Nils Liedholm, dan Juan Alberto Schiaffino.
Guttmann membawa Milan memuncaki klasemen Serie A hingga November. Di mana lagi-lagi ia berkonfrontasi dengan dewan klub, dan membuatnya dipecat AC Milan. Dampaknya, Guttmann membuat sebuah klausul bagi siapapun yang ingin mengontraknya. Klausulnya berbunyi “apabila tim yang ditangani berada di posisi puncak klasemen liga, maka Guttmann tidak bisa dipecat”.
Tercatat Guttman menangani total 23 klub. Dua di antaranya ia tangani selama dua kali yakni Porto dan Benfica. Dari 23 klub tersebut empat di antaranya dilatih Guttmann sebelum Perang Dunia Kedua. Meskipun catatan gelar juaranya terhitung minim dengan total 9 gelar. Namun secara permainan Guttmann menciptakan kontinuitas yang menjadi dasar sepakbola modern saat ini.
Kutukan Benfica dan Fondasi Sepakbola Modern
Bersama Benfica, merupakan pencapaian fenomenal Guttmann yang mungkin sudah banyak diceritakan. Pertama-tama ketika kedatangan Guttmann ke Benfica pun sudah menimbulkan polemik. Ia didatangkan dari FC Porto yang notabanenya adalah pesaing terdekat selain Sporting Lisbon.
Pada 1960 ia juga membuat petinggi Benfica menghernyitkan dahi setelah merombak total skuat. 20 pemain ia persilahkan mencari klub baru. Dan secara tidak sengaja di sebuah tempat cukur rambut, ia bertemu dengan José Carlos Bauer, manajer asal Brazil yang baru saja menemukan bakat dari Africa. Ia membujuk Guttmann mendatangkan talenta asal Mozambique tersebut ke klubnya. Guttmann kemudian mendatangkan pemain tersebut meskipun mendapatkan tentangan dari Dewan Klub. Namun pemain tersebut berjasa membawa Benfica berjaya di era 1960-an, Eusebio adalah nama pemain tersebut.
Guttmann menangani Benfica dan langsung berprestasi di musim pertama. Gelar liga dipersembahkan Guttmann untuk Benfica. Setahun setelahnya, gelar European Cup dan gelar liga dipersembahkan Guttmann. Bahkan secara berturut-turut gelar Piala Champions dipersembahkan Guttmann yakni pada musim 1960/1961 dan 1961/1962.
Kesuksesan tersebut membuat Guttmann meminta untuk menaikkan gajinya. Benfica saat itu kebertaan dengan permintaan tersebut. Sifat keras kepala Guttmann kembali memunculkan masalah. Pada akhir musim 1962, ia mengundurkan diri sambil menyumpah bahwa tidak ada manajer yang mampu menyaingi prestasinya. Bahkan ia mengutuk Benfica tidak akan menjadi juara Eropa selama 100 tahun. Kutukan yang konon masih melekat di Benfica hingga hari ini.
Setelahnya, Guttmann berkelana ke Penarol, Tim Nasional Austria, dan sempat kembali ke Benfica. Konon petinggi Benfica sangat takut setelah Guttmann membaca kutukan tersebut, dan mencoba berdamai dengan Guttmann dan mengangkat kembali ke kursi manajer. Sayang Guttmann gagal mengulang prestasi dan berpindah-pindah klub sebelum pensiun bersama Porto pada 1973.
Peninggalan terbesar Guttmann bukanlah kutukannya untuk Benfica. Namun bagaimana resepnya untuk mengelola sebuah tim. Ia berujar bahwa tim inti yang lebih dari tiga tahun harus mengalami perubahan atau perombakan untuk bisa terus bersaing secara kompetitif. Ia menekankan fase transisi yang penting bagi sebuah klub.
Inilah yang dianut manajer-manajer kesebelasan saat ini. Ferguson misalnya, selalu melakukan perombakan setiap tiga tahun untuk menjaga “kesegaran” tim. Pun dengan Pep Guardiola yang selalu memunculkan bakat-bakat muda yang siap berkembang dalam tempo tiga tahun sekali. Inilah peninggalan terbesar Guttmann untuk sepakbola. Meskipun kutukannya ke Benfica jelas merupakan salah satu yang tidak akan terlupakan.
Guttmann meninggal pada 28 agustus 1982 atau sembilan tahun setelah memutuskan pensiun. Sosoknya abadi dikenang. Di stadion Benfica sendiri terdapat patung yang menggambarkan Guttmann sedang memegang dua Piala Champions. Selain itu, Eusebio selalu mengunjungi makam Guttmann setiap tanggal ulang tahun Guttmann, hingga Eusebio sendiri meninggal 2014 lalu.