Liverpool menelan kekalahan kedua mereka di Liga Champions 2018/2019 setelah menyerah 0-2 dari klub asal Serbia, Crvena Zvezda atau yang sering kali disebut Red Star Belgrade. Datang dengan modal delapan pertandingan tanpa kekalahan tidak membuat anak-anak asuh Jurgen Klopp berkuasa di Serbia. Faktanya, juara European Cup 1990/1991 menarik kembali mereka ke tanah.
Menurut Klopp, Crvena zvezda berhasil mengeksploitasi kelemahan Liverpool. Manajer asal Jerman itu tidak menjelaskan apa kelemahan tersebut tapi ini menjadi peringatan bagi Mo Salah dan kawan-kawan. “Ada beberapa hal yang tidak berjalan dengan baik. Kami pulang dengan sebuah pekerjaan rumah,” buka Klopp.
“Kami harus bersiap untuk Fulham karena kini ada sebuah pikiran di kepala mereka bahwa Liverpool memiliki kelemahan. Pada akhir pekan, kami tak boleh memperlihatkan lagi hal itu,” katanya. Gelandang veteran, James Milner juga mengakui bahwa Liverpool tidak main sesuai standar mereka.
“Kami sudah bermain buruk sejak awal. Hal itu terlihat lewat dua gol lawan. Pada babak kedua, sebenarnya kondisi mulai membaik. Akan tetapi, kami gagal untuk memanfaatkan peluang yang ada,” jelas Milner kepada Liverpool Echo.
Kini banyak yang bertanya-tanya, apa alasan Liverpool kalah? Liverpool Echo menyebut bahwa Milner membuat kesalahan yang berkontribusi kepada gol Crvena Zvezda. Faktor kelelahan setelah menghadapi partai besar melawan Arsenal juga dianggap berpengaruh dalam performa tim. Apapun alasannya, paling tidak Liverpool mendapat apa yang mereka inginkan, ‘bermain dan fokus pada sepak bola’.
Hal itu diutarakan Klopp saat konfrensi pers sebelum pertandingan. Mantan manajer Mainz ditanya mengenai keputusannya meninggalkan Xherdan Shaqiri dari daftar skuat melawan Crvena zvezda. Ia kemudian mengakui bahwa hal itu dilakukan karena alasan politik.
“Kami bertandang ke salah satu klub terbesar di Eropa. Pihak klub menyadari bahwa kisah Shaqiri bisa memberikan cerita tersendiri. Tapi kami pergi untuk bermain sepakbola dan akan fokus kepada hal tersebut,” tutur Klopp seperti dikutip Mirror.
Shaqiri, Albania, dan Serbia
Shaqiri merupakan keturunan Albania dan Kosovo, dua negara yang memiliki hubungan politik kurang baik dengan Serbia. Shaqiri sendiri mengakui bahwa dirinya merupakan sosok yang mencintai Albania. Bahkan ketika Piala Dunia 2018 di Rusia, ia melakukan selebrasi dengan gestur elang pada pertandingan melawan Serbia.
Beruntung hal itu terjadi di Rusia, bukan Serbia. Empat tahun lalu ketika kualifikasi Piala Eropa 2016, Serbia menjamu Albania di Kota Belgrade. Lalu pada tengah pertandingan, sebuah spanduk dengan gambar Albania raya diterbangkan sebagai sikap politik kubu nasionalis dari tim Shqiponjat -julukan tim nasional Albania-.
Walaupun penyerang Serbia, Aleksandr Mitrovic, sudah berusaha meredam tensi dengan menurunkan spanduk tersebut, kerusuhan tetap terjadi di pertandingan. Suporter masuk ke lapangan, benda-benda asing berterbangan, aksi saling tuduh pun dimulai.
Akhirnya, pertandingan dibatalkan. Serbia harus bermain tanpa penonton di dua laga kandang mereka, membayar denda sebesar 100.000 Euro, dan kehilangan tiga poin. UEFA memotong poin dari Serbia, namun tetap memberi tiga poin dari hasil pertandingan kontra Albania.
Pertimbangannya adalah keunggulan 3-0 yang dimiliki Serbia sebelum partai terhenti dan pertandingan tersebut tidak dilanjutkan karena keputusan dari pihak Albania yang enggan kembali bermain. Keputusan itu kemudian diputar oleh Pengadilan Abritasi Olahraga (CAS) memutuskan bahwa Serbia adalah pihak yang bersalah dalam insiden ini karena tidak bisa menjaga keamanan pertandingan.
Menurut laporan Washington Post, sebelum laga dimulai para pendukung Serbia sempat membakar bendera aliansi 29 negara Amerika Utara dan Eropa, termasuk Albania. Serta meneriakkan, “Ubij, ubij, Siptara!,” yang berarti “Bunuh orang-orang Albania!”.
Resmi, Albania menang 3-0. Putusan itu membantu the Eagles untuk lolos ke Piala Eropa 2016 secara otomatis. Duduk di atas Denmark, serta Serbia, dan Untuk pertama kalinya, Albania lolos ke turnamen internasional.
Dengan kondisi seperti itu, entah apa yang akan terjadi jika Liverpool membawa Xherdan Shaqiri ke pertandingan melawan Crvena zvezda. Beruntung sebagai klub, mereka peka dan memilih untuk fokus ke sepak bola.
Shaqiri bisa mengubah pertandingan ?
Satu hal yang terbayang ketika melihat Liverpool kalah dari Crvena zvezda. Andai Shaqiri dibawa dan main pada pertandingan itu, mungkin dia bisa menyelamatkan the Reds dari kekalahan. Mungkin menang bahkan!
Dengan hubungan batin yang kuat dengan Albania, tampil di hadapan publik Serbia tentu akan menjadi sebuah motivasi untuk Shaqiri. Motivasi tersebut bisa diaplikasikan ke dalam permainannya dan membantu Liverpool mengubah kenyataan.
Shaqiri bisa saja memainkan peran Emmanuel Adebayor saat Manchester City bertemu Arsenal pada 2009. Tapi ada satu perbedaan besar antara perayaan gol Adebayor ke suporter Arsenal dengan kondisi Liverpool dini hari tadi. Adebayor main di kandang sendiri, bukan datang sebagai tamu.
Lagipula, semua hanya perandaian. Tidak ada yang tahu pasti apakah Shaqiri bisa berperan dan mengubah pertandingan jadi lebih baik untuk Liverpool. Tak akan da yang tahu pasti apakah Shaqiri benar-benar termotivasi jika bermain di depan publik Serbia, atau merasa tertekan? Tidak ada yang tahu. Satu yang pasti, jika Shaqiri bermain, fokus tidak akan bisa sepenuhnya diarahkan ke sepakbola.
Andai Shaqiri bermain lalu Liverpool menang, akan ada saja pemberitaan soal hubungan Shaqiri, Albania, dan Serbia. Shaqiri bermain lalu Liverpool kalah? Sorotan yang sama juga bisa terjadi hanya dengan nada berbeda. Begitu juga jika seri. Bahkan Shaqiri tidak ikut bermain sekalipun, tulisan ini lahir!
Murni sepakbola
Setidaknya, kini kita tahu bahwa Crvena zvezda menang dari Liverpool karena mereka lebih baik dalam faktor sepakbola. Setidaknya pada pertandingan dini hari tadi. Bukan karena suporter mereka mengincar Shaqiri. Bukan karena hubungan politik Albania dan Serbia. Murni sepakbola.
Oleh karena itulah keputusan Jurgen Klopp dan Liverpool yang tidak membawa Shaqiri patut diapresiasi. Intrik adalah sesuatu yang bagus, membuat pertandingan jadi lebih menarik dan berwarna. Tapi terkadang kita harus tahu lebih baik dan sadar bahwa ada yang lebih penting daripada kemenangan, tiga poin, dan sebuah cerita menarik. Fakta bahwa hal kecil bisa memberikan pengaruh yang besar bahkan tak terbayangkan harganya.
Hal seperti ini juga pernah dilakukan oleh Arsenal ketika mereka bertemu klub Azerbaijan, Qarabag di Liga Europa musim ini. Mereka tidak membawa Henrikh Mkhitaryan untuk ikut bertandang karena alasan yang sama dengan Shaqiri. Tapi keputusan tersebut digunakan manajer tim berjuluk Atlilar, Gurban Gurbanov sebagai momentum untuk menjatuhkan Arsenal.
“Arsenal berusaha melindungi pemain mereka dan kami menghargai keputusan itu. Bisa saja mereka takut melihat Mkhitaryan tertekan bermain dihadapan 60.000 pendukung Azerbaijan. Padahal jika datang, dia juga bukan atlet Armenia pertama yang tampil di negara ini,” kata Gurbanov.
UEFA sampai harus memisahkan Azerbaijan dan Armenia di fase kualifikasi Piala Eropa karena sejarah negara mereka. Tapi, mereka membiarkan Serbia dan Albania satu grup karena menganggap kedua negara tersebut tidak memiliki hubungan langsung terkait Perang Kosovo. Padahal pihak yang berperang puluhan tahun lalu adalah tentara separatis Albania melawan Republik Federal Yugoslavia alias Serbia dan Montenegro.
Minimnya kepekaan UEFA itu akhirnya berujung drama. Drama yang menarik andai tetap berkaitan tapi tidak mengganggu sepak bola seperti El Clasico ataupun Hamburg Derby misalnya. Intrik cerita yang sudah mengakar sehingga tiap laga tensi panas itu terasa namun pertandingan tetap berjalan nikmat. Semoga seiring berjalannya waktu, cerita-cerita seperti ini hanya menjadi latar dan biar lapangan yang berbicara.