Ultras Monaco 1994: Garis Keras di Tanah Para Jutawan

Foto: ASM.com

Sejak ditunjuk sebagai manajer AS Monaco menggantikan Leonardo Jardim, Thierry Henry belum pernah sekalipun meraih kemenangan. Terakhir, mereka dibantai empat gol tanpa balas oleh Paris Saint-Germain (PSG) sebelum jeda internasional. Itu merupakan kekalahan kelima anak-anak asuh Henry dari tujuh pertandingan.

Namun, tak perlu menunggu hasil melawan PSG untuk melihat kekecewaan para suporter AS Monaco. Sepekan sebelumnya, mereka tandang ke Stade Auguste-Delaune II, kandang Stade de Reims. Reims menang 1-0 dalam pertandingan tersebut sekalipun sempat kalah dalam jumlah pemain selama 21 menit.

Merespons kekalahan tim kesayangan mereka, suporter AS Monaco berdiri dari tempat duduk mereka. Pindah ke pembatas antara tribun dan lapangan, memportes penampilan serta keadaan Les Monegasques. Sebuah suar juga dilempar ke lapangan. Situasi yang mencekam dibuat oleh suporter AS Monaco, lebih tepatnya para ultras.

Namun, pertanyaan kemudian muncul. Siapakah para ultras di negara yang notabene tanah bagi para jutawan? Jika kita membicarakan soal Hooligan, Ultras, atau kelompok suporter garis keras lainnya di Eropa. Komunitas tersebut biasanya dibentuk oleh kaum buruh atau pekerja.

Foto: ASMonaco.com

Tapi ini Monaco, negara yang dikenal sebagai tempat orang-orang kaya. Negara kecil terkecil kedua di dunia setelah Vatikan yang tak meminta pajak kepada warga mereka. Tidak ada pajak dari pendapatan ataupun properti.

Padahal harga tanah di Monaco merupakan yang termahal di dunia. Paling tidak menurut Geography Now pada awal November 2018, tanah di Monaco memiliki label sekitar 658,3 juta Rupiah per meter persegi. Tapi tidak ada pajak properti. Satu-satunya pajak yang diterapkan adalah dari produk dan jasa sekitar 20%. Masih lebih kecil daripada pajak tempat hiburan malam di Indonesia.

Andaikan berpatok pada pendapatan per kapita negara, laporan dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut Monaco masih ada di bawah Indonesia ataupun negara-negara lain pada 2016. Namun jika melihat rata-rata gaji yang didapat, Monaco jelas lebih tinggi dengan 4.300 Euro alias 71 juta per bulan. Sementara kota lain di Eropa seperti London, Paris, atau Roma, tidak ada yang mencapai 3.000 Euro per bulan.

Foto: Twitter / @ULTRASMONACO94

Ultras bukan Hooligan

Dengan latar yang mapan, kenapa AS Monaco masih memiliki suporter garis keras? Semua bisa dijawab dengan sederhana sebenarnya. Meski dalam pemahamannya, suporter garis keras lebih sering lahir lewat kelas pekerja atau buruh, itu ciri khas dari Inggris. Tak dapat menggambarkan negara-negara lain.

Dalam buku Ramon Spaaij, “Understanding Football Holliganism: A Comparision of Six Western European Football Clubs“, para buruh biasanya membentuk komunitas holigan, bukan ultras. Gaya tersebut hanya populer di Inggris dan Belanda. Sementara Italia, Jerman, Spanyol, dan Prancis, lebih ke arah Ultras.

Awalnya, Eric Dunning menyebut Hoolligan dan Ultras sebagai sesuatu yang sama. Namun Spaaij menggunakan temuan Rodriguez Diaz untuk menjelaskan perbedaan Ultras dengan Hooligan dari status sosial mereka. Saat Hooligan dibentuk oleh kelas pekerja, Ultras lebih dikenal sebagai kelompok orang berada. Mayoritas anggota mereka bahkan pelajar.

Melihat hal tersebut, tidak aneh jika pada akhirnya AS Monaco juga memiliki kelompok garis keras sekalipun mereka bukan buruh. Lagipula, mayoritas warga Monaco bukanlah asli dari daratan tersebut. Hanya 22% warga Monaco yang Monegasques atau penduduk asli. Sisanya adalah keturunan Prancis, Italia, Jerman, Belgia, dan lain-lain. Bahkan tiga bahasa utama di Monaco adalah Prancis, Italia, dan Inggris.

Secara demografik, ada alasan mengapa AS Monaco memiliki kelompok suporter garis keras. Tapi siapakah mereka?

Foto: Ultrasmonaco1994.com

Ultras AS Monaco

Hanya dengan mengetik tiga kata di atas dalam kolom pencarian google atau yahoo, MSN, apapun yang kalian gunakan. Situs resmi dari Ultras Monaco 1994 (UM94) akan muncul. Seperti namanya, kelompok suporter ini dibentuk pada 1994.

Melalui situs resmi tersebut, mereka bercerita bagaimana UM94 dibentuk oleh seorang pemuda di tengah musim 1993/1994. Mereka juga mengatakan bahwa UM94 lahir karena pemuda tersebut merasa kehilangan arah setelah Sconvolts dibubarkan pada 1993.

Sconvolts merupakan kelompok ultras pertama yang dimiliki oleh klub. Kelompok ultras tersebut memiliki logo seekor ular kobra, namun juga dibagi lagi menjadi beberapa grup seperti Bulldogs, Vikings, dan South Boys.

Popularitas dari Sconvolts kemudian menjadi awal dari bubarnya kelompok itu. Pasalnya, mereka mulai menggangu suporter-suporter lain yang tak memiliki ikatan pada Sconvolts. Pada 1993, sebuah insiden terjadi di Nantes dan membuat Sconvolts dibubarkan. Roh dari kelompok ultras pertama AS Monaco yang lahir sejak 1986 kini dijaga oleh UM94.

Foto: Ultrasmonaco1994.com

Wajib Tandang

Sconvolts atau UM94 bukan satu-satunya kelompok Ultras yang mengiringi AS Monaco. 1994, kelompok ultras lainnya, Inferni Biancorossi juga lahir. Mereka memiliki hubungan yang dekat dengan UM94. Namun, untuk menjadi anggota Inferni Biacorossi butuh sebuah perjuangan yang lebih besar.

Setiap anggotanya diwajibkan untuk ikut ke pertandingan tandang dan menjaga nilai-nilai Ultras mereka. Seiring waktu berjalan, hal ini tidak bisa dipertahankan. Meski banyak dari para pendiri Inferni Biancorossi yang setia menjalani syarat tersebut. Tapi mereka hanya hidup hingga 2010.

Mengingat hubungan yang dekat dengan UM94, terkadang anggota Inferni Biancorossi masih ikut menjaga klub kesayangan mereka bersama saudaranya tersebut. Sebenarnya ada juga kelompok suporter AS Monaco yang bermarkas di Paris, mereka disebut Heracles. Tapi masa hidup Heracles hanya enam tahun dari 2003-2009.

Foto: DiscoveryFootball.com

Monaco sebagai identitas

UM94 merupakan kumpulan warga Monaco yang mencintai klub mereka karena tahu Les Monegasques bukan sekedar tim sepak bola tapi juga representasi negara. Itu mengapa mereka setia dan memiliki ekspektasi tinggi kepada klub. Permainan yang diperlihatkan oleh anak-anak asuh Thierry Henry adalah bagaimana Monaco dipandang oleh dunia.

Ketika kondisinya seperti saat ini, kalah dari Reims, Strasbourg, PSG, dan Club Brugge, wajar jika amarah keluar dari mereka. Enam pertandingan tanpa kemenangan di semua kompetisi dan berada pada zona merah Ligue 1 bukanlah sesuatu yang menyenangkan.

Suar di pertandingan melawan Reims bukan satu-satunya tingkah buruk pendukung Monaco. Mereka juga pernah mengutuk Kylian Mbappe saat pemain muda sensasional tersebut dirumorkan hengkang. Tapi pihak UM94 tahu tidak ada yang pemain yang lebih besar dari klub.

“Kami mengecam sikap Mbappe dan pemberitaan ini. Kami ingin mengingatkan Mbappe bahwa tidak ada sosok yang lebih besar dari klub. Kami akan terus berusaha jadi yang terbaik di Prancis, dengan ataupun tanpa Mbappe,” tulis mereka.

Foto: Vavel.com / Offside

Melawan pandangan umum

Sebenarnya tidak perlu sebuah aksi yang merusak pertandingan untuk menyadari kehadiran mereka. Dalam sejarahnya, UM94 dikenal sebagai kelompok suporter yang damai. UM94 satu-satunya tempat bagi mantan anggota ultras Monaco yang lain untuk bisa meluapkan gairah mereka kepada klub.

Mereka juga dikenal memiliki pandangan untuk menolak segala bentuk radikalisme dalam tubuh ultras. Berusaha berdiri secara idependen untuk terus mencintai AS Monaco tanpa syarat. Itu semua ditulis di situs resmi UM94.

Contoh positif dari UM94 terjadi di Liga Champions tahun lalu saat bertemu Machester City. Saat itu AS Monaco menang 3-1 di kandang dan kemudian lolos ke delapan besar setelah unggul gol tandang dalam laga beragregat 6-6.

AS Monaco sering kali disebut sebagai klub instan tanpa atmosfer karena setelah kembali dari Ligue 2, nama-nama tenar seperti James Rodriguez dan Falcao datang ke Stade-Louis II. Tapi saat pertemuan kedua lawan Manchester City di Monaco, mereka memperlihatkan bentuk aslinya.

“Kami sering menjadi bahan tertawaan, mereka bilang tidak ada atmosfer di sini. Tapi kami berhenti merespon media yang mengatakan hal itu tentang suporter AS Monaco,” ungkap Jean-Paul Chaude (52), salah satu pendiri Sconvolts kepada Telegram.

Monaco mungkin negara kaya dengan gaji puluhan juta per bulan, tapi bukan berarti warganya memandang sepak bola sebagai sebuah hiburan belaka. AS Monaco mungkin membutuhkan uang untuk kembali bangkit dan kembali dipandang, tapi mereka bukan klub instan. Monaco selalu memiliki pendukung garis keras dari era Glen Hoddle dan Mark Hateley tinggal di Stade Louis II.