UEFA Nations League menjadi gudang kejutan. Kosovo dan Gibraltar mencatat kemenangan kompetitif mereka. Belanda tiba-tiba menggeser Prancis dari tahta grup 1 hingga akhirnya lolos ke fase semi-final. Tapi beberapa hal bisa ditebak. Salah satunya adalah performa tim nasional Jerman.
Tim nasional Jerman tergabung di Grup 1 Liga A pada UEFA Nations League musim ini. Mereka bahkan awalnya ada di puncak perigkat UEFA saat pembagia grup degan nilai koefisien paling tinggi (40.747). Namun pembagian grup tersebut sudah dilakukan dari 2017, sebelum Piala Dunia di Rusia.
Saat Piala Dunia 2018, penurunan performa timnas Jerman mulai terlihat. Mereka gagal melaju ke fase gugur setelah kalah dari Meksiko dan Korea Selatan. Hanya menang lawan Swedia di menit akhir. Performa anak-anak asuh Joachim Low sudah menurun. Bukan lagi tim yang menjuarai Piala Duia 2014 meski mayoritas pemainnya sama.
Ada beberapa argumen yang bisa diangkat dalam melihat kasus ini. Misalnya motivasi pemain yang sudah tak sama dengan empat tahun lalu. Pasalnya menyandang status jawara dunia sudah merupakan puncak prestasi di level internasional.
Jerman memang menjadi juara Piala Konfederasi, namun pemain-pemain yang dipanggil Joachim Low untuk turnamen tersebut bukanlah mereka yang menang lawan Argentina di 2014. Bahkan media menyebutnya sebagai ‘tim cadangan Jerman’.
Tepat sebelum Piala Dunia 2018, Asosiasi Sepak Bola Jerman (DFB) memberi perpanjangan kontrak kepada Low. Ia resmi menangani Der Panzer hingga 2022. Merasakan kegagalan di Piala Dunia 2018 dan kini UEFA Nations League, masa depan Low mulai terancam. Melihat situs GOAL, penulis di sana bahkan terpecah. Ada yang mengatakan Low harus bertahan. Ada juga yang mengatakan Low harus pergi.
Melihat kondisi saat ini, sudah jelas rasanya di mana DFB harus bersikap. Mereka perlu belajar dari Arsenal. Sadarkan diri dan lihatlah bahwa Der Panzer sudah terkena ‘sidrom Wenger’. Ini bukan terminologi resmi. Sekadar perumpaan yang menggambarkan kondisi sebuah tim ketika mereka sudah terlalu lama ada di kendali satu orang.
Sepakbola seperti judi
Sepakbola memang dekat dengan judi. Jika tidak, istilah ‘settingan’, ‘permainan mafia’, dan ‘pengaturan skor’, pasti asing di telinga. Sejatinya, judi dasarnya adalah sebuah aksi pertaruhan. Terkadang tanpa otak. Bahkan ada satu ungkapan yang sangat sulit untuk bisa dilakukan meski sering kali diteriakan: “Berhentilah saat ada di atas”.
Semua tahu ungkapan tersebut dan semakin dipopulerkan oleh Kevin Spacey di film ’21’. Tapi nyatanya judi sering melemahkan logika dan lebih berpaku pada keinginan hati. Pada dunia sepakbola, hal ini dilakukan oleh Joachim Low, DFB, Arsene Wenger, dan Arsenal.
Low sudah merasakan asam-garam sepak bola bersama tim nasional. Dia mungkin belum bisa mengantarkan timnas Jerman meraih semua piala. Namun ia sudah mendapat hadiah terbesar di dunia sepakbola internasional, Piala Dunia.
Begitu juga dengan Arsene Wenger. Usai memenangkan piala emas bersama Arsenal, ia sudah menemukan klimaksnya, sekalipun belum ada Piala Liga Champions di almari the Gunners. Bertahan satu hingga dua tahun setelah itu mugkin masuk akal. Biarlah waktu-waktu itu digunakan untuk membuat fondasi baru bagi penerusnya. Tapi jika terlalu lama, yang ada hanya penurunan. Penurunan yang mencemari warisan mereka.
Kalian mungkin bisa mengatakan bahwa Sir Alex Ferguson bertahan lama di Manchester United dan selalu memberi prestasi. Sekalipun sudah meraih treble, Ferguson masih bisa memberi prestasi bagi the Red Devils. Judi melebihi batas memang tidak selalu berakhir miris. Hanya saja, sarannya adalah: “Berhentilah saat ada di atas”. Lagipula, Fergie punya ambisi berbeda. Ia datang bukan untuk memberi piala. Namun, menjatuhkan Liverpool dari takhta klub dengan gelar Liga Premier terbanyak.
Perjudian DFB dengan Joachim Low sudah gagal. Saatnya mereka berhenti dan mulai cari cara baru untuk kembali menjadi tim nasional Jerman yang selama ini dikenal dunia. Butuh waktu, tapi lebih baik mulai dari sekarang sebelum terlambat. Terlalu nyaman dengan Low sama saja menunggu bom waktu meledak. Masalahnya, Joachim Low telah terkena Sidrom Wenger.
Lindungi Bundesliga
Setelah gagal di Piala Eropa 2000, DFB sadar bahwa Bundesliga kekurangan pemain lokal. Hal itu kemudian membuat mereka memperbaiki sektor akar rumput dan memproduksi pemain-pemain seperti Mesut Ozil. Hasilnya, pada 2009 jumlah pemain asing 1.Bundesliga hanya 49%. Sementara tahun lalu, pemain asing di 1.Bundesliga 54%. Musim ini masih di sisi mayoritas dengan 52%.
Buka Trasfermarkt, dan lihat perbedaan klasemen 1.Bundesliga 1997-2000. Bagaimana tim yang menjadi juara pada musim-musim tersebut tergeser jika tanpa pemain asing mereka. Bandingkan dengan 2012-2014, di mana pergeseran yang terjadi tidak terlalu parah. Saat ini mungkin ada penurunan 2% dari musim lalu. Namun melihat kesuksesan Jadon Sancho dan Reiss Nelson, 1.Bundesliga kembali gurih bagi pemain asing.
Kita mungkin berada pada era yang salah jika mengharapkan pemain lokal jadi andalan utama klub. Melihat pemain-pemain asing adalah daya jual tersendiri bagi liga dan klub. Namun, DFB sudah pernah melakukan transformasi yang menghasilkan kesuksesan. Tapi sekarang saat yang tepat untuk melakukannya lagi. Kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan Low jika Thilio Kehrer yang hanya mendapat 585 dari 1.170 menit yang tersedia masih bisa masuk ke tim nasional.
Kehrer masuk timnas meski jarang mendapat kesempatan bersama Paris Saint-Germain (PSG). Joshua Kimmich dipaksa bermain di tengah meski kini sudah terbiasa menempati sisi kanan lapangan. Low, terlebih lagi timnas Jerman butuh asupan pemain yang lebih kompeten.
UEFA Nations League bukan uji coba
Jika sudah membaca tulisan yang berjudul ‘Melihat Keadilan di Eropa melalui UEFA Nations League’, tentu telah muncul pandangan bahwa UEFA Nations League merupakan turnamen serius. Ada pertaruhan kompetitif dan prestisius di situ. Republik Irlandia bahkan tak lagi menggunakan jasa Martin O’Neill dan Roy Keane setelah terdegradasi dari Liga B.
Martin O’Neill hanya menang satu kali sepanjang 2018. Rekornya sama seperti Low di UEFA Nations League. 2 imbang dan dua kali kalah. Dia dipecat. Aneh rasanya jika Jerman yang punya kebanggaan lebih tinggi terhadap dunia sepak bola mereka bertahan dengan Low.
Low sendiri mengakui bahwa timnas Jerman tidak memiliki kepercayaan diri tinggi saat ini. “Setelah kebobolan, Anda bisa lihat kami tidak punya kepercayaan diri karena hasil yang diterima akhir-akhir ini,” katanya ke Sky Sports usai ditekuk Belanda 0-3 (13/10).
Membangkitkan kepercayaan diri adalah tugas pelatih dan suporter. Tengok Sunderland yang selalu menggebu-gebu usai ganti manajer. Atau Birmingham City yang berhasil lolos dari degradasi setelah mendapat pesan khusus dari suporter mereka di ruang ganti. Para suporter Jerman baru saja terpecah akibat kasus Ozil. Pelatih mereka, Joachim Low juga mulai delusional.
Ballack dan berbagai alasan Low
Low saat ini sudah berada di bawah bayang-bayang diriya sediri. Seperti sebuah adegan di film olahraga saat pelatih yang selama ini menuntut penampila sempurna dari anak-anak asuhnya mulai lembek dan mengatakan: “Kalian sudah melakukan yang terbaik. Apapun hasilnya, kalian tetaplah pemenang”.
Ia mulai memberi toleransi kepada pemain Jerman. Setelah dibantai Belanda bulan lalu, dirinya masih mengatakan permainan Jerman ‘OK’. Padahal kalah 3-0 dengan 21 tembakan tak ada satupun yang berhasil masuk ke gawang. Masih mempertahanka Neuer untuk jaga gawang Jerman ketika pemanggilannya ke Piala Dunia saja sudah membuat banyak orang menjadi Dwayne ‘The Rock’ Johnson dan mengangkat alis mereka. Kalah dari Prancis? Low salahkan hadiah penalti untuk Les Blues. Alasan demi alasan muncul.
Bulan lalu Ballack sudah mengatakan bahwa Low sebaikya mundur saat ia masih ada di atas. “Sebagai orang luar saya tentu berharap dia keluar saat masih tinggi. Ketika Anda berada di satu tim terlalu lama, terkadang hal yang dilakukan sudah tidak lagi memberi dampak serupa,” kata mantan kapten Jerman ke Deutsche Welle.
Respon Low kemudian justru mengkonfirmasi ucapan Ballack tersebut. “Saya sudah ada di sini sejak 2006. Saya sudah merasakan tekanan yang besar di 2006, 2010, 2014, untuk apa khawatir? Saya tidak tertarik merespon Ballack,” katanya.
Itu adalah poin dari semua ini, Tuan Low. Anda sudah terlalu lama ada di satu tempat dan merasakan semuanya. Apa yang terjadi berikutnya tak lagi mempengaruhi dirinya Anda. Anda merasa invicible bagaikan Wenger. Sekalipun sudah kalah enam kali dalam setahun, rekor terburuk timnas Jerman sepanjang sejarah!
Selamatkan diri Anda, mundur.