Beberapa waktu ke belakang, publik sepakbola Bandung disajikan sebuah debat yang menarik. Debat ini terjadi antara Oh In-kyun dan Viking Frontline, salah satu kelompok suporter di Bandung.
Usai ajang Go-Jek Liga 1 2018, In-kyun memastikan diri tidak akan lagi memperkuat Persib Bandung musim depan. Alih-alih pamit dengan damai, sosok asal Korea Selatan itu malah melempar bara api lewat unggahan di akun Instagram miliknya. Dalam unggahan berbentuk Story tersebut, In-kyun mengungkapkan unek-unek yang ia miliki.
Memang wajar ia mengeluarkan unek-unek, karena pada dasarnya manusia adalah tempat berkeluh kesah. Namun, menjadi masalah ketika unek-unek ini ia alamatkan kepada satu pihak. Dalam kasus In-kyun ini, ia mengalamatkan unek-uneknya kepada Viking Frontline, salah satu kelompok suporter di Bandung. Sontak, perdebatan pun hadir. Frontline menyebut In-kyun sebagai sosok yang cengeng.
Semakin unik ketika debat ini menunjukkan bahwa baik itu In-kyun maupun Frontline saling tidak mau mengalah. In-kyun merasa benar, pun juga Frontline. Alhasil, In-kyun menjadi bahan olok-olok. Ia disebut tidak loyal. Ia disebut hanya mencintai Persib karena kontrak. Ditambah lagi penampilannya selama musim 2018 yang tak luput dari kritikan Frontline.
Tapi, dalam kasus ini, memang Frontline-lah pihak yang benar. In-kyun, seharusnya bisa menerima itu.
Suporter yang Hadir Sebagai Penyeimbang
Suporter, jika dirunut secara bahasa, berasal dari kata Bahasa Inggris “support”, mendukung. Dukungan itu, secara kelas kata, memang merupakan kata benda. Tapi, kata benda itu secara praktiknya berubah jadi kata sifat, karena sifat dari dukungan itu relatif.
Dukungan tidak hanya berarti yel-yel, nyanyian, atau sorakan dari tribun semata. Kritik, dalam tingkatan tertentu, juga merupakan sebentuk dukungan. Meski memiliki kesan negatif, kritik bisa berarti dukungan untuk mendorong orang yang dikritik jadi lebih baik. Khusus di Bandung, itulah yang acap dilakukan Frontline. Salah satunya pernah mereka alamatkan kepada Kim Kurniawan.
Apiknya, Kim tidak selembek In-kyun. Kritikan itu ia jawab dengan manis. Pelan-pelan, ia memperbaiki diri, dan mulai tampil apik bersama Persib. Meski jarang mendapatkan tempat di posisi inti, Kim mulai mendapatkan sorak dari bobotoh karena keberaniannya menjawab kritik. Ya, Persib besar karena cacian memang benar adanya, karena ketika dicaci, orang yang dicaci akan terus memacu diri jadi lebih baik. Setidaknya, mungkin itu yang Adjat Sudradjat pikirkan.
Tapi, budaya kritik suporter kepada timnya ini sudah berlangsung, bahkan sejak 1930-an silam. Dalam catatan di beberapa koran macam Sipatahoenan, Kompas, dan Tempo, kerap ada reportase yang muncul saat suporter mengkritik timnya sendiri saat tim bermain buruk. Suporter PSMS, PSM, Persija, Persebaya, bahkan Persis Solo pernah melakukan itu.
Sumpah serapah dan omongan pedas tepat langsung di muka adalah sesuatu yang kerap dialamatkan kepada suporter di masa lampau. Ronald Pieters dan Mat Halil, dua pemain Persebaya, bahkan pernah mengungkapkan bahwa jika dulu Persebaya kalah, mereka tidak berani keluar stadion. Cacian pasti akan mereka dapat. Tapi dari situ, Pieters dan Halil jadi punya motivasi untuk terus jadi lebih baik.
Di sini, apa yang dilakukan Frontline dan para suporter di masa lampau (bahkan beberapa suporter masa kini) menjadi cermin bahwa suporter adalah sosok penyeimbang. Kala pemain mulai sedikit menyeleweng, mereka hadir sebagai pengingat. Kehadiran mereka di klub tidak semata untuk menyenangkan pemain, tapi juga untuk mengingatkan pemain ketika mereka salah.
Saat sekarang mulai banyak suporter yang gagal menjalankan fungsi sebagai penyeimbang, menarik melihat aksi dari Frontline yang tidak ragu mengkritik In-kyun. Sayang, In-kyun terlalu lembek untuk menjawab kritik itu.
Meluaskan Kritik ke Luar
Jika kelak kritik secara internal kepada klub yang didukung sudah berjalan secara konsisten, tak ada salahnya jika para suporter merambah kritik yang lebih luas: kritik ke manajemen klub dan kritik ke federasi. Saat ada yang salah, suporter tanpa ragu bisa mengkritik mereka semua.
Toh, sudah banyak kejadian ketika suporter mengkritik manajemen klub dan federasi. Ada kejadian ketika suporter Persija mengkritik manajemen yang tidak becus mengurus tim. Ada juga kritik besar para suporter Persib kepada manajemen saat Persib tampil suram di ajang Liga 1 2017. Jangan lupakan pula Bonek yang getol mengkritik manajemen Persebaya saat ada langkah aneh yang mereka ambil.
Ini merupakan sebentuk cara suporter meluaskan kritik ke luar. Bahkan, aksi #EdyOut yang sempat ramai di media sosial itu juga merupakan sebentuk kritik dari para suporter Indonesia bagi Edy Rahmayadi, karena Timnas Indonesia yang tak kunjung membaik penampilannya di turnamen internasional. Kritik terhadap PSSI juga sering terlontar kala para suporter menyaksikan Timnas berlaga. Lewat spanduk-spanduk yang dipasang di tribune, kritik itu disampaikan.
Meluaskan kritik ke luar ini merupakan sebentuk kesadaran suporter terhadap isu-isu yang ada di sekitar mereka. Selain kritik terhadap pemain yang memang harus selalu dilakukan, kritik ke luar macam ke manajemen atau ke federasi adalah hal yang juga perlu dilakukan. Karena di situlah, peran suporter sebagai penyeimbang juga dilakukan.
***
Suporter, seperti kata Takeshi Tatsumi, karakter di manga “Giant Killing”, adalah orang yang bisa bersuara sebebas-bebasnya. Mereka adalah pihak yang memiliki hak untuk bersuara dengan lantang, tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Hak ini sangat istimewa, karena belum tentu dimiliki elemen-elemen lain dalam sebuah klub.
Maka, tak ada salahnya bagi para suporter untuk menggunakan hak ini sebaik-baiknya, salah satunya adalah untuk menyuarakan kritik. Jika ada sesuatu yang dinilai salah di klub atau federasu, kritiklah. Jika melihat pemain ada yang tampil tidak maksimal, kritiklah. Mengkritik, pada akhirnya juga bisa menjadi sebuah tanda cinta yang paripurna. Mengingatkan, bahwa jangan sampai ada sesuatu yang salah yang dilakukan klub.
Jangan sampai hanya karena trofi dan kemenangan, kita dibutakan oleh kekurangan yang ada di dalam klub itu sendiri.