Jatuh air mata Cesc Fabregas membasahi rumput Stadion Stamford Bridge. Lima menit sebelum Chelsea dan Nottingham Forest menyudahi laga babak ketiga Piala FA, Fabregas yang tampil sebagai kapten ditarik keluar. Kemungkinan besar itu terakhir kalinya publik sepakbola Inggris melihat Fabregas berseragam tim Premier League.
AS Monaco jadi tujuan perjalanan. Cesc Fabregas siap bantu rekan lama Thierry Henry menyelamatkan tim dari ancaman degradasi. Keduanya dulu bersua di Arsenal. Fabregas remaja sebagai junior dan Henry genggam status legenda. Sejak musim 2004/2005 sampai tiga musim berselang mereka bekerja sama di lapangan. Hampir-hampir hubungan bersifat telepati perkara Fabregas beri asis dan Henry yang menyelesaikan.
Kelak keduanya pergi dari London Utara menuju Barcelona. Henry lebih dulu, bermimpi penuhi ambisi juara Liga Champions. Cesc Fabregas baru pada 2011, seiring narasi pulang ke rumah dan laku konyol Pepe Reina memakaikan kaus Barcelona saat parade juara Piala Dunia. Dalam peran lain, kini keduanya kembali bekerja sama.
Usai tangis Fabregas dan kepastian bergabung dengan Monaco, perlukah mengedepankan pertanyaan soal masa lampau? Layakkah Fabregas meninggalkan Inggris menyandang status legenda?
Merah-Biru Karier Cesc Fabregas
Berusia 16 tahun, 177 hari. Catatan Fabregas jadi pemain termuda Arsenal yang tampil dalam sebuah laga. Hingga kini.
Pengalaman sepakbola sebagai pemain inti mulai Fabregas cecap musim 2004/2005. Dia terlibat sebagai pemula dalam laga Community Shield 2004, gantikan kapten Patrick Vieira. Seorang pemuda dari Spanyol, apa yang dia lakukan? Kemudian Arsenal menang 3-1 dari MU, sebuah perkenalan bagus.
Vieira pindah ke Juventus semusim berselang. Nomor empatnya berpindah tangan jadi milik Fabregas. Ekspektasi tinggi, tapi tidak pernah dikhianati sang pemuda.
Putar balik saat The Gunners melangkah terjauh di Liga Champions musim 2005/2006. Pada babak gugur, mereka bersua tim kuat, Real Madrid dan Juventus. Di sana Fabregas jadi jenderal lapangan tengah, berkat visi bermain tinggi, operan tajam, dilengkapi kemampuan merebut bola dan rangsekan ke depan penuh determinasi. Meski berbadan sedang, dominasi di lini tengahnya mirip Vieira bahkan dengan fitur kemampuan mengoper penuh pikat.
Mengingat duelnya versus Juventus yang diperkuat Vieira mirip dengan cara mengingat aksi Jack Wilshere melawan duo Xavi-Iniesta milik Barcelona musim 2010/2011. Pertandingan yang jadi menara gading dalam karier awal mereka. Memberi pernyataan sikap lewat kualitas mumpuni yang sangat dapat diandalkan sebagai jantung permainan. Fabulous Fabregas, judul atraktif banyak pemberitaan tentangnya.
Datang sebagai pemain ‘curian’ dari akademi Barcelona, karier moncer Fabregas di London Utara selalu berselimut kisah pulang ke Stadion Camp Nou. Menyajikan lakon episodik tentang saga transfer segera berseragam Blaugrana. Setiap tampil rancak, setiap itu pula isu Fabregas pindah mengemuka. Setiap bursa transfer dibuka, saat itu juga kabar kepindahan Fabregas semakin nyata.
Cesc Fabregas memimpin Arsenal tanpa gelar. Ban kapten dari lengan William Gallas yang penuh intrik berpindah kepadanya. Jenderal nomor empat, penentu nasib Arsenal yang sekadar mentok mengunci posisi keempat. Suka atau tidak, Fabregas dengan ketampanan Mediterania kerap kali menjadi alasan gadis-gadis mendukung The Gunners kala itu.
Sejumlah 48 gol, 86 asis, dan 466 ciptaan peluang Fabregas sumbang. Namun narasi soal La Masia, foto dalam skuat junior bersama Gerard Pique dan Lionel Messi, calon pengganti Xavi-Iniesta, hasrat bergelimang gelar, dan berasal usul asli Catalan kadung memperkuat. Selalu tinggal waktu menyoalnya berpindah. Musim 2011/2012, Fabregas berseragam biru-merah.
Berada di tim berisi Lionel Messi dengan rekan-rekan generasi emas Spanyol membuat hidunya lebih tampak mudah. Jika acuannya gelar, Cesc Fabregas pasti sumringah. Semua gelar domestik dia cicipi setidaknya sekali. Kejuaraan tingkat Eropa juga, meski Liga Champions justru tidak sekalipun mampir. Problemnya justru pengaruhnya di lapangan luruh.
Andai tetap di Arsenal, dia sosok nomor satu. Hidup-matinya serangan Arsenal di lapangan ada di kendali performanya. Kalah-menangnya Arsenal, perlu menengok kontribusinya. Di Barcelona, dia mesti antre setelah Messi, Xavi, Iniesta, Puyol, Pique, bahkan Busquets menyoal signifikansi presensi. Acuannya jelas, Messi, Pique, dan Busquets masih jadi andalan di Barcelona sampai sekarang, sementara tiga nama lain berpisah dengan penghormatan tinggi akibat usia tidak bisa dibohongi.
Sementara Cesc Fabregas justru jumpai antiklimaks. Selain pengaruhnya tidak lebih besar seperti di Arsenal, apa yang digadang-gadang hanya sebatas bayangan. Dia pergi lebih cepat ketimbang dua orang yang diharapkan dia gantikan, Xavi dan Iniesta. Hanya ada satu trofi La Liga dan tidak ada satupun trofi Liga Champions dia miliki. Padahal pada periode 2010-an Barcelona dominan di kedua ajang. Cesc Fabregas mestinya layak mendapatkan lebih daripada itu. Terlebih jika menengok kehebohan berlarut-larut yang menggiringnya pulang ke kandang.
Tepat sebelum laga pembuka Piala Dunia 2014, Brasil versus Kroasia, Fabregas curi pemberitaan. Sinarnya yang tertutupi ‘planet-planet besar’ Barca mendadak menyeruak lagi setelah kenakan berseragam Chelsea. Dia cari hidup baru di tanah yang lama. Kembali ke sepak bola Inggris yang dia tinggalkan.
Tidak ada gosip panjang lebar, cenderung mendadak, dan terealisasi dalam senyap. Cara jitu meredam rasa benci pendukung Arsenal, nyaris tidak seperti saat Nasri dan Adebayor berseragam Manchester City atau Robin van Persie pindah ke Manchester United.
Waktunya di Barcelona menunjukkan di mana posisi Fabregas dalam percaturan sepak bola. Beri perspektif seberapa bagus kualitas diri sebagai aktor lapangan hijau. Pengaruhi keputusan Arsenal tidak mengacuhkannya sekalipun ingin gabung kembali.
“Setelah waktu di Barcelona habis, saya mencari opsi terbaik. Arsenal opsi pertama, karena mereka punya klausal untuk memutuskan merekrut lagi. Namun Arsene Wenger bilang tempat di tim telah diisi Mesut Ozil dan sangat sulit menempatkan kami berdua di tim,” kisah Fabregas kepada The Guardian.
Hidup terus melaju. Dia teryakini Jose Mourinho untuk gabung Chelsea, lalu tetap terjaga kualitasnya di era Antonio Conte. Fabregas meraih dua trofi Premier League (2014-15 dan 2016-17), serta satu Piala FA dan Piala Liga. Jika acuannya trofi, jelas Fabregas bersama Chelsea jauh lebih sukses ketimbang bersama Arsenal. Performanya juga disokong dengan koleksi asis capai dua digit yang membantu The Blues juara liga. Pemberian asis, fitur utama Fabregas sebagai pesepak bola.
Namun lagi-lagi, saat bicara Chelsea pada era tersebut, apakah nama Fabregas yang teringat pertama kali? Chelsea saat itu dibangun untuk mendukung Eden Hazard, bahkan sampai sekarang.Sosok antagonis Diego Costa dan perpisahan John Terry lebih mudah terkemukakan di kepala. Fabregas menjadi role player, bermain untuk tim kalau berbicara dalam konotasi positif. Risikonya, dia beri sorotan sinar terang untuk orang lain kalau berbicara konotasi negatif.
Perlahan dia lebih sering huni bangku cadangan. Perlahan dia mudah terlupakan, karena sebatas beri asis atau gol penambah keunggulan. Dia sempat lukai Arsenal dengan gol dan asis yang disajikan saat berjumpa, tapi rasanya mudah menguap begitu saja. Apalagi pada laga penentuan semacam final Piala FA 2017 dan Community Shield 2017, Arsenal pimpinan Ozil keluar sebagai pemenang.
Amorfati Fabregas
Fabregas bukan sosok sentral di timnas Spanyol, Barcelona, dan Chelsea. Justru saat itulah dia bergelimang gelar. Fabregas justru jadi tokoh utama dalam tahun-tahun Arsenal tanpa gelar. Namun di sanalah, dia terkenang berkat pengaruh, kendali, dan kehadirannya selalu signifikan. Lantas bagaimana Fabregas nanti diingat setelah pensiun? Dia legenda klub apa?
Tangis Fabregas pada laga terakhirnya di Stamford Bridge adalah tangis seorang pesepak bola profesional. Ada kecamuk dalam dadanya tentang hari-hari di Chelsea. Klub yang tampaknya sama sekali tidak terbayangkan dia singgahi saat masih berusia 16 tahun merumput di Stadion Highbury. Tidak tertahankan emosinya setelah mampu berlaku persistensi sepanjang karier.
Sejauh ini karier Fabregas menyoal urusan hati yang tidak rasional dan sikap profesional penuh perhitungan akal. Dia tinggalkan akademi La Masia untuk cari kesempatan main di negeri orang. Ganjil baginya yang cetak 30 gol di skuat junior Blaugrana, tapi tetap kesulitan main.
Dia berbangga hati diandalkan Arsenal. Melempar pizza ke kepala Sir Alex Ferguson dan memimpin Arsenal banter era. Seandainya sabar dengan kondisi yang terjadi, mungkin sampai saat ini Arsenal masih miliknya. Masih terasa signifkansinya. Konsisten di lapangan dengan sedikit ‘kisah-kisah’ di luar lapangan bisa menjadikannya bintang terang. Namun hati memilih pulang ke Barcelona. Berjalan baik, tapi tetap tidak utuh sesuai rencana.
Profesionalismenya menuntun langkah ke Stamford Bridge. Duduk di bangku cadangan sebagai ‘warga kelas dua’ tanpa banyak protes, terap tercitrakan sebagai eks pemain Arsenal, dan tidak ada cerita-cerita lain yang patut terkenang. Selain dicekik Fernandinho. Selain pastinya tidak bisa mengelak menit bermainnya semakin minim dan tidak terhindar dari kebijakan lebih dari 30 tahun mesti minggat.
Karier Fabregas selamanya menyoal kepulangan/reka ulang. Pulang ke Barcelona, kembali ke Premier League, dan bekerja sama lagi dengan Henry. Selain itu, karier Fabregas juga tentang ajakan membaca ulang definisi kesuksesan di sepak bola.
Apakah sepak bola selamanya tentang gelar? Apakah signifikansi pengaruh yang menuntun ke arah kekultusan tidak lebih penting daripada itu? Bagaimana menempatkan Fabregas di antara nama-nama seperti Messi, Xavi, Iniesta, Hazard, atau bahkan Marcos Senna?
Kesuksesan yang mereka raih sama. Kontribusi Fabregas tercatat dalam lembar statistik, tapi apakah iya Fabregas dari konteks cerita punya porsi yang setara? Sulit mengatakan ya, karena pada usia 31 tahun dia pergi ke Prancis, bermain untuk tim besar yang berjuang keluar di zona degradasi.
Bukan berada di Arsenal yang seutuhnya mengandalkannya sejak muda. Bukan berseragam Barcelona yang selalu terkait dengannya. Bukan bermain rutin di setiap menit Chelsea yang dia rasakan kejayaan. Mengapa tidak begitu selagi dia terlihat masih mampu?
Angka statistik berupa 111 asis (nomor dua di Premier League), serta kesuksesan kolektifnya jelas paramater seorang legenda. Mudahnya, Cesc Fabregas memang legenda Premier League. Namun, entah berada di urutan berapa dalam daftar legenda Arsenal dan Chelsea. Masuk dalam 10 besar? Berat. Dalam 50 besar atau malah ratusan? Sangat disayangkan, karena dia bisa lebih tinggi daripada itu.
Mudahnya, Cesc Fabregas memang legenda timnas Spanyol dan Barcelona. Namun jelas setelah nama-nama beken yang disebut di atas, bahkan masih ada David Villa, David Silva, Iker Casillas, Sergio Ramos, Fernando Torres, atau para legenda lain sebelum tim tahun 2008. Masuk dalam 10 besar? Berat. Dalam 50 besar atau malah ratusan? Sangat disayangkan, karena dia bisa lebih tinggi daripada itu.
Cesc Fabregas beri sisi lain wajah profesionalisme. Dia utamakan prestasi ketimbang reputasi diri. Dia kedepankan makna sepak bola sebagai permainan koletif, bukan tentang kiprah individualistik. Dia tidak underrated, sulit juga menganggap overrated, tapi angka-angkanya sama sekali tidak biasa saja. Tidak berada di puncak sorotan, bukan juga pemain kacangan. Dia berada di tengah-tengah, tapi jelas keliru menganggapnya sosok medioker. Fabregas menyalami ambiguitas.
Ironis meyakini Fabregas perlahan cenderung terlupakan dalam karier yang belum purna. Memang banyak ‘andai’ dalam karier Fabregas menyoal memaksimalkan segala sumber daya yang dia punya. Andai dia selamanya berada di Arsenal. Andai dia tidak bermain dalam era yang sama dengan Messi, Xavi-Iniesta. Andai Chelsea secara penuh mengandalkannya dan tiada kebijakan ketat soal usia.
Sebagai individu, Fabregas layak mendapat kehormatan paling tinggi. Sekaligus tentu saja karier penuh trofi. Semoga ini bukan ilusi atas bakat mumpuni. Toh statistik individual dan kolektif jadi bukti.
Dalam amor fati, Fabregas mendedikasikan diri. Hingga waktu baginya menyepak bola benar-benar berhenti. Oh Fabregas, jangan menangis lagi.
Sumber: The Guardian/BBC/Premier League