Milomir Seslija dan Arema adalah dua sejoli yang selalu menemukan jalan untuk bertemu, tak terkecuali di Liga 1 musim 2019 ini.
Setelah sempat berpisah selama dua tahun lamanya, Milo, sapaan akrab Milomir, memutuskan kembali ke Malang. Pada 9 Januari 2018, Milo meresmikan kepulangannya ke Kota Apel, sembari membawa sejumput harapan akan kebangkitan. Arema ingin kembali ke papan atas setelah dalam ajang Liga 1 2017 dan 2018 selalu berkutat di papan tengah.
“Saya sangat senang bisa bergabung kembali bersama Arema. Saya sudah tau sedikit banyak komposisi tim dari musim lalu. Saya yakin tahun ini bisa membawa Arema lebih baik dengan bekerja bersama-sama dan dukungan penuh dari Aremania,” ujar Milo.
Kenapa harapan begitu besar diusung oleh Aremania dan manajemen Arema terhadap Milo? Apa pula yang menyebabkan ikatan antara Milo dan Arema ini begitu kuat? Untuk menjawabnya, mari kita layangkan ingatan ke tahun 2016. Masa ketika hubungan Milo dan Arema tengah manis-manisnya.
***
Ajang Indonesia Soccer Championship 2016 di depan mata. Arema, satu dari 18 kontestan yang sudah ditentukan akan jadi bagian dari ajang ISC A (level tertinggi ISC selain B) 2016, masih bingung menentukan siapa yang akan menjadi nakhoda tim. Hasil buruk di dua turnamen, yakni Piala Presiden 2015 dan Piala Jenderal Sudirman 2015, mencerminkan bahwa para pelatih yang ada belum bisa memaksimalkan kekuatan skuat.
Kepergian Gustavo Lopez yang kala itu memutuskan membela klub di luar Indonesia membuat Arema gamang. Bagaimana tidak, pada 2014 silam, Lopez merupakan sosok kunci yang membuat serangan Arema bertaji. Tanpa adanya Lopez di ajang ISC A 2016 nanti, Arema bisa apa?
Milo hadir di Arema saat kekhawatiran itu menyeruak. Tanpa banyak omong, ia langsung melakukan pembenahan. Milo sadar ia tak bisa mengandalkan sosok yang sudah pergi. Toh, sekarang ia memiliki pemain-pemain berkualitas macam Cristian Gonzales, Esteban Vizcarra, Srdan Lopicic, serta Raphael Maitimo di dalam skuatnya.
Milo juga sudah kenal betul dengan atmosfer kota Malang. Tiga bulan berada di sana pada 2011 silam membuatnya tahu apa yang bisa ia lakukan untuk membuat Aremania senang. Diangkat jadi pelatih pada Februari 2016, ia menyulap Arema kembali menjadi menakutkan.
Dalam ajang Bali Island Cup 2016, Arema dengan apik menundukkan Persib Bandung di partai penentuan dan keluar sebagai juara. Kegemilangan juga mereka ulangi saat mampu keluar jadi juara Piala Bhayangkara 2016, lagi-lagi mengalahkan Persib di partai final. Berbekal dua hasil apik di turnamen ini, Arema melenggang ke ajang ISC dengan percaya diri.
Total 11 pekan awal ISC A 2016 merupakan masa yang indah bagi Arema. Sejauh 11 pekan tersebut, mereka sukses duduk di peringkat pertama, dengan raihan 26 poin, memasukkan 17 gol, dan hanya kemasukan tiga gol. Pertahanan kuat jadi ciri khas Arema selama 11 pekan tersebut, dengan duet Goran Gancev dan Hamka Hamzah menjadi duet andalan Arema kala itu.
Namun, bukan itu saja yang menjadi kunci dari apiknya Arema pada 2016. Lini serang mereka juga patut mendapat pujian. Di bawah Milo, Arema mampu menghilangkan ketergantungan akan sosok Lopez. Arema di bawah Milo menyerang dengan spartan, mengandalkan permutasi posisi di lini depan.
Saat menyerang, Arema mengandalkan sekira empat sampai lima pemain, dan di dalamnya mesti ada nama Lopicic, Gonzales, Vizcarra, dan Dendi Santoso. Menggantikan Lopez yang kerap jadi distributor bola, skema serangan Arema mengandalkan pergerakan dari keempat pemain tersebut, kebanyakan di area sepertiga akhir.
Di sisi kanan, Lopicic dan Dendi kerap saling bertukar posisi ketika menyerang, berkombinasi dengan Gonzales tentunya, untuk menagacaukan pertahanan lawan. Sementara itu, di sisi kiri, Vizcarra kerap dibantu Johan Alfarizi yang rajin membantu serangan. Juan Revi berperan sebagai pelapis bek.
Peran yang tak kalah apik juga dijalani oleh Maitimo dan Gonzales. Di lini tengah, Maitimo menjalankan peran “box-to-box”, membuatnya kerap terlibat dalam serangan dan pertahanan Arema. Militansi dari Maitimo ini yang membuat lini tengah Arema acap terasa penuh, padahal hanya berisi tiga gelandang saja.
Sedangkan Gonzales, di bawah Milo, ia berkembang menjadi penahan dan pemantul bola yang baik. Partai final Piala Bhayangkara 2016 serta beberapa partai di ajang ISC A 2016 mencerminkan bahwa tubuh gempal tak menjadikan Gonzales malas bergerak, Ia malah aktif menarik perhatian para bek, membukakan ruang bagi Lopicic, Dendi, Vizcarra, bahkan Maitimo.
Intinya, Milo membuat Arema menjadi tim yang mampu bermain sebagai satu unit. Gaya main inilah yang sukses membawa mereka bersaing di papan atas, dan hanya kebobolan 22 gol saja sepanjang satu musim (kebobolan terkecil di antara kontestan ISC 2016 lain). Namun, di akhir musim, mereka gagal juara. Kenapa itu bisa terjadi?
Pada putaran kedua ISC A 2016, Arema harus sempat kehilangan Lopicic karena ia menderita cedera. Ketiadaan Lopicic inilah yang membuat Arema limbung. Ahmad Nufiandani sebenarnya bisa menggantikan peran Lopicic. Sayang, ia juga menderita cedera sehingga sisi kanan Arsma kembali lowong.
Ketiadaan pengganti sepadan Lopicic inilah yang membuat serangan Arema kacau. Hasil imbang lebih banyak mereka dapat, sehingga di akhir musim, mereka kalah dari Persipura yang menjadi juara. Meski begitu, Milo tetap dicintai, walau akhirnya ia memutuskan hengkang dari Arema.
***
Sekarang, Milo telah kembali. Kenangan 2016 tentu ingin diulang para Aremania, apalagi mereka juga sudah menjalin kerja sama dengan apparel baru untuk 2019 mendatang. Semangat baru benar-benar diusung oleh tim yang bermarkas di Stadion Kanjuruhan ini.
Milo pun mengaku sudah mengenal kualitas para pemain di skuatnya, karena ia mengikuti Arema sejak kompetisi 2018 silam. Namun, apakah Milo bisa dengan segera mengintegrasikan keinginan dan gaya mainnya kepada skuat baru ini? Akankah kecemerlangan 2016 bisa terulang?