19 gelar Super Lig, menjadi semi-finalis UEFA Europa League 2012/2013, dan tidak pernah keluar dari lima teratas Super Lig sejak 1988/1999, Fenerbahce tengah dalam masalah besar. Hingga pekan ke-19 Super Lig 2018/2019, mereka duduk di peringkat ke-14 hanya dua strip dari zona merah. Selisih antara Fenerbahce dengan Rizespor yang menduduki peringakat ke-16 juga hanya dua poin.
Diisi pemain-pemain tenar di setiap lininya bukan jaminan untuk mempertahankan status mereka sebagai kesebelasan elit di Turki. Padahal ada nama-nama seperti Carlos Kameni di bawah mistar, Martin Skrtel sebagai komando lini belakang, Andre Ayew selaku kreator tim, dan juru gedor sekelas Roberto Soldado diasuh Ersun Yanal. Namun hingga saat ini mereka hanya mencetak 20 gol dan kebobolan 27 kali di liga.
Secara kasat mata, Fenerbahce seperti menjadi korban pergeseran kekuatan di Istanbul dan sepakbola Turki secara umum. Dalam tiga musim terakhir Istanbul Basaksehir yang baru pertama kali promosi ke Super Lig pada 2006/2007 selalu mengisi empat besar liga.
Pada 2017/2018, Emre Belozoglu dan kawan-kawan bahkan menduduki posisi runner-up liga dan menembus final Piala Turki. Basaksehir mungkin belum meraih piala, namun mereka perlahan menjelma menjadi kekuatan baru di sepakbola Turki.
Kesebelasan yang disebut sebagai klub kesayangan Presiden Turki Reccep Erdogan itu bahkan sedang memuncaki klasemen Super Lig 2018/2019. Mengandalkan Robinho dan Edin Visca, Basaksehir unggul enam poin dari pesaing terdekat mereka Galatasaray menjelang pekan ke-20.
Saat ada kekuatan baru yang muncul, tentu ada yang harus dikorbankan. Berbagai liga populer di Eropa sudah merasakan hal ini. Paris Saint-Germain menggesser Marseille, atau Manchester City menggeser Arsenal. Kini bisa dikatakan Basaksehir melakukan hal serupa ke Fenerbahce.
Tapi masalah Fenerbahce bukan hanya soal persaingan di liga. Bukan semata-mata urusan di atas lapangan. Mereka terpuruk karena kondisi balik layar yang kurang sehat.
Intervensi Pemerintah Kota
Fenerbahce sebenarnya bukan satu-satunya kesebelasan yang tengah mengalami masa sulit di Turki. Berbagai kesebelasan lain juga merasakan hal yang sama. Gaziantepspor misalnya, mereka merupakan salah satu wakil Turki di kompetisi UEFA Cup pada awal millenium.
Gaziantepspor bahkan pernah ditangani oleh mantan pemain Tim Nasional Italia, Walter Zenga. Namun prestasi mereka terus menurun, diterpa krisis ekonomi, dan akhirnya berada di divisi tiga Turki setelah dua kali terdegradasi secara beruntun.
Menurut laporan Tifo Football, animo sepakbola yang begitu tinggi dari masyarakat Turki membuat setiap kesebelasan memiliki koneksi dengan pemerintah kota mereka. Ketika sebuah kesebelasan tidak mencapai target atau ekspektasi, pemerintah kota berani untuk melakukan intervensi dengan harapan mengangkat prestasi.
Cara yang mereka lakukan adalah meminta setiap klub, terutama peserta Super Lig untuk menghamburkan uang di bursa transfer. Mereka lebih memilih untuk memboyong pemain-pemain uzur dibanding memberi kesempatan ke talenta muda. Tuntutan ini membuat klub memiliki kondisi ekonomi yang buruk.
Namun hal itu tidak terlalu diperhatikan oleh pemerintah kota. Beberapa di antara mereka sering menggunakan klub sebagai alat kampanye. Menjelang pemilihan umum, janji untuk membawa prestasi ke sepakbola daerah masing-masing adalah hal yang lumrah di Turki.
Kondisinya tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Stadion baru untuk Persija Jakarta, atau kompleks olahraga di Medan adalah beberapa janji yang diucapkan pemimpin daerah DKI dan Sumatera Utara saat kampanye. Hal serupa juga kurang lebih dilakukan di Turki.
Financial Fair Play dan Utang
Kondisi untuk Fenerbahce semakin buruk karena pada awal musim 2018/2019, pihak klub memiliki utang sebesar 621 juta Euro. Mereka terkena sanksi dari perturan Financial Fair Play (FFP) UEFA. Asosiasi Sepakbola Eropa tersebut meminta Fenerbahce untuk membuat keuntungan sebesar 60 juta Euro pada 2019 untuk mengamankan finansial klub.
Alhasil, Fenerbahce yang biasanya mengeluarkan 30 juta Euro pada bursa transfer hanya dapat menghabiskan sekitar 17 juta Euro pada 2018/19. Mereka dipaksa memaksimalkan para pemain pinjaman. Andre Ayew dan Yasine Benzia datang saat bursa musim panas sebagai pinjaman. Sementara di musim dingin 2019, Victor Moses dipinjam dari Chelsea.
Basaksehir yang memuncaki klasemen sementara Super Lig 2018/19 sebenarnya juga tidak mengeluarkan banyak uang. Mereka hanya per 29 Januari 2019, Basaksehir hanya menghabiskan lima juta Euro di bursa transfer. Namun, Basaksehir memang bukan klub yang sering menghamburkan uang.
Mereka lebih memilih untuk mengontrak pemain-pemain bebas agen untuk memperkuat kesebelasannya. Demba Ba, Gokhan Inler, Gael Clichy, hingga Emmanuel Adebayor adalah pemain-pemain yang mendarat di Basaksehir secara gratis dalam tiga musim terakhir.
Sementara bagi Fenerbahce, mengubah kebiasaan akan membutuhkan waktu. Begitu juga dengan dua kesebelasan utama lainnya, Galatasaray dan Besiktas. Presiden Fenerbahce Ali Koc bahkan mengakui bahwa target dari UEFA meminta keuntungan 60 juta Euro mustahil untuk dicapai.
Dengan kondisi seperti ini, Fenerbahce harus memutar otak dan mereka pun mulai beri kesempatan ke pemain-pemain muda. Baris Alici (21), Ferdi Kadioglu (19), dan Eljif Elmas (18) sering mendapatkan jam terbang ketika Phillip Cocu pertama datang.
Namun seiring berjalannya waktu dan kondisi yang darurat, hanya Eljif Elmas yang masih bisa mempertahankan tempatnya. Ferdi Kadioglu hanya 10 kali masuk ke daftar pemain dan sekali merumput. Sementara Baris Alici menjadi rotasi dengan 25 kali masuk daftar pemain dan merumput di 15 pertandingan.
Tidak Ada yang Instan
Sejak tuntutan UEFA terkait finansial klub, pihak Fenerbahce sudah berusaha mengubah pendekatan mereka dalam perekrutan pemain. Ali Koc lebih fokus mengelontorkan uang pada departemen pencarian bakat dan koneksi dibanding berbelanja. Tapi melihat kondisi Fenerbahce, Ali Koc panik.
“Jika kita membuat skenario terburuk di awal musim, ini [Terancam degradasi] juga tidak akan muncul di kepala,” kata Koc.
Cocu yang memiliki pengalaman bersama PSV Eindhoven ditunjuk sebagai kepala pelatih. Tapi setelah baru empat bulan, mantan gelandang FC Barcelona itu didepak. Erwin Koeman ditunjuk sebagai pengganti sementara. Sama seperti Cocu, Koeman punya pengalaman di divisi tertinggi Belanda, Eredivisie, yang dikenal hebat mengembangkan talenta muda.
Namun Koeman hanya sementara menangani Fenerbahce. Kendali kini dipercayakan ke mantan pelatih tim nasional Turki, Kazim Ersun Yanal. 4 pertandingan sudah dijalani Yanal (Pekan 16-19) dan sejauh ini ia berhasil mengangkat posisi Fenerbahce.
Yanal belum terkalahkan dengan tiga hasil imbang dan satu kemenangan. Akan tetapi, sosok kehaliran Izmir, 17 Desember 1961 itu sebenarnya juga bukan nakhoda yang Koc inginkan. Menurut Arda Isik dari Daily Sabah, salah satu alasan Cocu dipecat adalah gaya permainannya yang tidak sesuai dengan Koc.
Ali Koc ingin Fenerbahce bermain secara pragmatis, oportunis, dan tidak meninggalkan lini belakang. Sementara Cocu ingin main bedasarkan penguasaan bola dan membentuk tim yang ofensif. Yanal juga dikenal sebagai pelatih dengan filosofi menyerang. Bahkan disebut taktik bunuh diri karena terlalu eksplosif.
Dengan segala keterbatasan yang dimiliki Fenerbahce dan tuntutan Koc, para nakhoda tentu membutuhkan waktu untuk membangun tim.
Salah satu alasan mengapa tim rival mereka, Galatasaray, masih bisa bersaing di papan atas adalah skuat yang tidak terlalu banyak mengalami perubahan. Sementara Fenerbahce kehilangan pemain seperti Giuliano yang berkontribusi untuk 19 gol dari 30 pertandingan Super Lig musim lalu.
Masih da harapan untuk Fenerbahce bertahan di Super Lig. Namun, hingga akhir musim 2018/19, kiprah mereka akan terus menjadi perbincangan. “Tidak ada yang membahas perebutan gelar juara. Semua membicarakan Fenerbahce dan peluang mereka untuk lolos dari degradasi,” kata pengamat sepakbola Turki, Bagis Erten.
“Tapi masalahnya bukan di atas lapangan. Coba saja Pep Guardiola atau Jurgen Klopp latih Fenerbahce, saya ragu kondisi mereka akan mengalami perubahan,” lanjutnya.